Ilmuan-Ilmuan Muslim yang Dikenang Dunia Karena Kegigihannya dalam Belajar dan Berkarya

Ilmuan-Ilmuan Muslim yang Dikenang Dunia Karena Kegigihannya dalam Belajar dan Berkarya

Sejarah membuktikan bahwa umat Islam pernah berada di puncak peradaban dunia lewat ilmu pengetahuan dan sikap keterbukaan terhadap perbedaan, alih-alih perang atau jalur kekerasan.

Ilmuan-Ilmuan Muslim yang Dikenang Dunia Karena Kegigihannya dalam Belajar dan Berkarya

“Dari abad kegelapan hingga akhir abad keempat belas, ilmu pengetahuan Arab (Islam) barangkali adalah sains yang paling maju di dunia, yang jauh melampaui peradaban Barat dan Cina saat itu”

Pernyataan Toby E. Huff yang ia tuangkan dalam bukunya the Rise of Early Modern Science di atas saya kira tidaklah berlebihan mengingat Islam dan komunitas Muslim, sebagaimana terekam dalam catatan sejarah, pernah memimpin peradaban umat manusia. Tidak hanya dalam perkara politik dan ekonomi, tetapi yang jauh lebih fundamental adalah perkembangan ilmu pengetahuan.

Setiap kali kita membuka lembaran buku-buku daras tentang Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) di bangku sekolah, kita seringkali lebih banyak disuguhkan kisah tentang raja-raja, baik dari kalangan Bani Umayah maupun Bani Abbasiyah, serta agenda ekspansi dan penaklukan daerahnya. Thus, kita lebih banyak menyerap political stories ketimbang intellectual stories.

Tulisan singkat ini mencoba menggali kembali (recall) sebagian sisi gemilang dati tradisi intelektual yang berkembang dan terus bergerak di kalangan cendekiawan Muslim abad pertengahan. Sebagai basis normatif yang melandasi aktivitas keilmuan di kalangan cendekiawan Muslim, dapat kita temukan sejumlah ayat Kitab Suci yang memberikan privilege terhadap ilmu dan mereka yang memilikinya, di antaranya:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (al-Mujadalah: 11).

Lalu,

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui” (al-Zumar: 9).

Selain karena dorongan Kitab Suci di atas, para pesohor intelektual Muslim memang memiliki kepribadian yang khas. Kita ambil contoh al-Ghazali, tokoh yang oleh sebagian sarjana Barat dipandang sebagai figur paling berpengaruh kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad karena luasnya pengaruh warisan intelektual yang ia tinggalkan, khususnya bagi Sunni. Konon, sang penulis Ihya Ulum al-Din ini memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang begitu tinggi.

Dalam autobiografi al-Ghazali yang tertuang dalam al-Munqidz min al-Dhalal, dikisahkan bahwa ia senantiasa penasaran dengan ilmu sekelompok orang yang ia temui. Ia bertutur, “tidaklah aku bertemu kelompok Bathiniyah kecuali aku suka menggali sisi kebatinannya, tidak juga bertemu mazhab Zhahiriyah kecuali aku ingin mengetahui puncak kezahirannya.

Lalu, ia melanjutkan, “tidak pula berjumpa dengan sekelompok filsuf kecuali aku ingin sekali memahami inti filsafatnya, dan tidak pula berjumpa dengan ahli kalam kecuali aku berijtihad mengetahui tujuan kalam dan dialektikanya.

Rasa ingin tahu dengan demikian ibarat ‘bahan bakar’ yang menggerakkan kemudi aktivitas pengetahuan. Kemudian, kuriositas ini diejawantahkan dalam keseriusan membaca dan berdiskusi. Kali ini kita ambil contoh sang filsuf dan ahli kedokteran, Ibn Sina, yang di Barat dikenal dengan nama Aviccena.

Dikisahkan dalam ‘Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Athibba’ bahwa Ibn Sina pernah membaca buku Metafisika [Ma Ba’da al-Thabi’ah] karya Aristoteles. Karena tak kunjung paham, ia pun harus mengulangnya sebanyak empat puluh kali, sampai-sampai hafal isi bukunya meski tetap belum paham juga. Suatu hari saat ke pasar, ia membeli buku karya al-Farabi yang mengulas buku metafisika tersebut. Sesampainya di rumah, ia bergegas membacanya dan dengan sebab itu ia pun bisa memahami buku metafisika yang ia baca sebelumnya. Alangkah senangnya, keesokan harinya ia bersedekah kepada faqir miskin.

Cerita Ibn Sina yang membaca buku sampai berulang kali tersebut menunjukkan keseriusan dalam membaca dan menelaah serta kegemaran kepada sumber pengetahuan. Kecintaan pada buku bisa ditemukan juga dalam pribadi al-Jahiz, seorang sastrawan besar Arab yang konon wafatnya karena tertimpa buku-bukunya yang jatuh dari rak. Bayangkan berapa banyak ia mengoleksi buku di perpustakaan pribadinya!

Karakter intelektual Muslim yang ketiga dan tidak kalah pentingnya adalah sikap terbuka dan mampu menyambut ilmu pengetahuan dari mana pun datangnya. Ia tidak membatasi ilmu hanya diperoleh dari kelompok/organisasinya sendiri secara eksklusif. Ia mampu melampaui itu semua. Baginya, tidak ada sekat-sekat yang membentengi ilmu pengetahuan.

Dalam konteks ini, patutlah kita sebutkan contoh dari kepribadian al-Kindi, sosok yang dikenal sebagai the first Arab philosopher, sang filsuf Arab pertama. Al-Kindi memegang teguh prinsip bahwa pengetahuan atau kebenaran dapat datang dari mana saja meski dari kelompok yang berbeda. Kali ini, menarik untuk kita perhatikan ungkapannya yang sudah sangat populer:

ينبغي لنا أن لا نستحي من استحسان الحق ، واقتناء الحق من أين أتى ، وإن أتى من الأجناس القاصية عنا ، والأمم المباينة ، فإنه لا شئ أولى بطالب الحق من الحق

“sudah seharusnya kita tidak malu menerima kebenaran dari mana pun ia berasal, meskipun datang dari golongan manusia yang jauh dan umat yang berbeda dari kita. Karena, tidak ada sesuatu yang lebih utama bagi para pencari kebenaran selain kebenaran itu sendiri.”

Prinsip al-Kindi ini layak dilantangkan kembali mengingat saat ini tendensi untuk menutup diri cenderung menguat di sebagian kelompok Muslim. Mereka atau justru termasuk kita juga, hanya ingin mengonsumsi pengetahuan dan kebenaran dari kelompok sendiri, enggan mendengar dari yang berbeda. Pengetahuan dibatasi, kebenaran dipersempit, seakan kelompoknya lah satu-satunya pemegang pengetahuan yang sah di muka bumi. Alangkah indah ketika Ali ibn Abi Thalib bertutur, “hikmah adalah milik umat Islam yang tercecer di mana-mana.” Karena itu, diperlukan sikap rendah hati untuk belajar dari yang lain dan memungut pengetahuan yang tercecer di mana-mana.