Andaikan Kita Benar-benar Shalat Lima Puluh Waktu Sehari

Andaikan Kita Benar-benar Shalat Lima Puluh Waktu Sehari

Andaikan Kita Benar-benar Shalat Lima Puluh Waktu Sehari

Sudah sangat masyhur cerita mengenai bagaimana proses Nabi Muhammad menerima perintah shalat lima puluh waktu ketika Isra Miraj. Biar penulis ingatkan kembali, dalam riwayat Bukhari dari Malik bin Sha’sha’ah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda,

Kemudian diwajibkan padaku shalat lima puluh kali setiap hari. Aku kembali, dan lewat di hadapan Musa. Musa bertanya, ‘Apa yang telah diperintahkan padamu?’ Kujawab, ‘Aku diperintahkan shalat lima puluh kali setiap hari’. Musa berkata, “Sungguh ummatmu tak akan sanggup melaksanakan lima puluh kali shalat dalam sehari. Dan aku -demi Allah-, telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelummu, aku telah berusaha keras membenahi Bani Israil dengan sungguh-sungguh. Kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu’. Aku pun kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat. Lalu aku kembali bertemu Musa. Musa bertanya seperti pertanyaan sebelumnya. Lalu aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat.

Aku kembali bertemu Musa. Ia berkata sebagaimana perkataan sebelumnya. Aku kembali dan Allah memberiku keringanan dengan mengurangi sepuluh shalat. Aku kembali bertemu Musa. Musa berkata sebagaimana yang dikatakan sebelunya. Aku pun kembali, dan aku di perintah dengan sepuluh kali shalat setiap hari. Aku kembali dan Musa kembali berkata seperti sebelumnya. Aku pun kembali, dan akhirnya aku diperintahkan dengan lima kali shalat dalam sehari.

Aku kembali kepada Musa dan dia berkata, ‘Apa yang diperintahkan kepadamu?’ Kujawab, ‘Aku diperintahkan dengan lima kali shalat dalam sehari’. Musa berkata, “Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melaksanakan lima kali shalat dalam sehari. Sungguh aku telah mencoba menerapkannya kepada manusia sebelum kamu. Aku juga telah berusaha keras membenahi Bani Isra’il dengan sungguh-sungguh. Kembalilah kepada Rabbmu dan mintalah keringanan untuk umatmu’. Beliau berkata, ‘Aku telah banyak memohon (keringanan) kepada Rabbku hingga aku malu. Tetapi aku telah ridha dan menerimanya’. Ketika aku telah selesai, terdengar suara orang yang berseru, ‘Sungguh Aku telah memberikan keputusan dan Aku telah mewajibkan. Aku telah ringankan untuk hamba-hamba-Ku’.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab Fadhail ash-Shahabah, 3674).

Di luar pertanyaan mengapa Allah memilih shalat dan bukan ibadah lain untuk langsung disyariatkan di sisi-Nya dan mengapa Allah memilih Musa untuk berdialog dan memberikan saran dalam masalah shalat ini. Pertanyaannya yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengapa shalat pada awalnya diwajibkan lima puluh waktu kemudian menjadi hanya lima waktu? Tidak langsung dijadikan lima waktu saja sejak awal?

Jika dikalkulasi, seandainya Nabi Saw tidak menawar jumlah shalat, sehari terdapat 24 jam, setiap jam berjumlah 60 menit, kemudian 24 jam dikalikan 60, hasilnya satu hari terdapat 1440 menit, kemudian 1440 menit dibagi 50 kali jumlah shalat, alhasil setiap 28 menit kita akan menjalankan shalat.

Pertama, Allah memang hendak mentahbiskan diri-Nya sebagai Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang. Allah mengetahui bahwa fisik kita mampu untuk melakukan shalat lima puluh kali sehari semalam. Kalau dihitung-dihitung, lima puluh waktu itu memakan waktu sepuluh kali lipat dari yang sekarang kita kerjakan.

Bahkan jika kita shalat lima puluh kali sehari semalam, sebenarnya malah tidak melenceng dari tujuan penciptaan manusia yaitu agar supaya beribadah kepada-Nya. Kita justru akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, bahkan juga bisa menjauhkan kita dari dosa dan maksiat yang tentu tidak disukai Allah. Dalam al-Qur’an, pesan ini tersurat sebagai berikut,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”(QS. az-Zariyat: 56)

Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah kurangi 90% dari total keseluruhan. Hingga tersisa 10% saja. Tapi balasannya tetap Dia berikan 100%. Tidak ada pengurangan sedikit pun. Dengan ini, kita benar-benar sadar bahwa Allah adalah ar-Rahman dan ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang).

Di sisi lain, Allah maha mengetahui kemampuan setiap hambanya. Mungkin kita mampu melaksanakan shalat lima puluh kali sehari semalam, namun bagaimana dengan orang yang sudah tua, orang sakit, dan orang yang sekiranya payah dalam memenuhi perintah tersebut. Setiap orang mempunyai kekuatan yang berbeda-beda seperi halnya kemampuan manusia dalam mengkhatamkan al Qur’an, ada yang mampu khatam dalam setiap tiga hari, lima hari, seminggu, setengah bulan, sebulan atau mungkin lebih dari itu.

Kedua, Allah ingin menunjukkan bahwa “ibadah” bukan hanya melulu tentang ritual shalat. Bayangkan setiap setengah jam kita melakukan shalat, kita tidak akan mempunyai waktu banyak untuk hablu minannas dan membuat relasi yang baik di bumi. Maka Allah sediakan beragam sekali macam ibadah di luar shalat, yaitu ibadah sosial yang ganjarannya tidak kalah menggiurkan dengan shalat. Melalui banyak firman-Nya yang lain dan sabda-sabda rasul-Nya, Muhammad Saw.

Kita akan mampu menyeimbangkan hubungan kita ke langit dengan yang ada di bumi. Meskipun jelas proporsi ibadah vertikal memiliki porsi yang lebih unggul. Allah memberi kesempatan kepada kita untuk berbuat baik kepada orang tua, sanak kerabat, tetangga, membantu kaum dhuafa, berolahraga, menjaga kesehatan jasmani rohani, dan bekerja secara maksimal. Kesemuanya merupakan ibadah tentu jika diniatkan ikhlas kepada Allah.

Sebagai bahan instropeksi, kita juga harus sadari bahwa kita memang diberi kemampuan fisik untuk mengerjakan lima puluh kali shalat sehari semalam. Kemudian dikurangi hingga jadi lima kali. Apabila kita masih tidak mengerjakan yang lima itu, padahal memiliki kemampuan mengerjakan lima puluh, tentulah kita seorang yang sangat keterlaluan.

Baca juga: Filosofi Shalat

Adapun perihal mengapa perlu dilakukan berkali-kali untuk mengurangi jumlah shalat, menurut Ibnu Hajar, adalah bahwa bolehnya naskh (penghapusan hukum) sebelum hukum tersebut dilaksanakan.

Diceritakan juga bahwa Nabi Muhammad sampai merasa malu karena terus-terusan bernegosiasi dengan Allah. Begitulah, saking luasnya rahmat dan belas kasih-Nya, sampai Allah terus menawarkan rahmat-Nya sampai Nabi Muhammad sendiri menjadi malu dan merasa cukup. Keluasan rahmat dan kasih sayang itu telah direncanakan Allah melalui episode dialog Musa-Muhammad.

Jadi, pengurangan jumlah shalat merupakan bentuk kasih sayang yang luar biasa. Bersamaan dengan itu pula, pengurangan ini juga sekaligus sebagai peringatan yang tegas dan hikmah yang luar biasa dari Allah.

Wallahu a‘lam bisshawab