Filsafat Shalat (Bagian Satu)

Filsafat Shalat (Bagian Satu)

Banyak orang yang bertanya-tanya, apa sih filosofi gerakan-gerakan sholat, kok ada seperti yang gayanya kayak yoga?

Filsafat Shalat (Bagian Satu)
Masyarakat menunaikan sholat jumat di masjid Agung Banten

Secara istilah/syar’i, shalat adalah perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir, dan diakhiri dengan salam, pada kebiasaannya.

Dikatakan pada kebiasaannya, karena terkadang ada shalat hanya berucap tanpa perbuatan, seperti shalat jenazah, shalatnya orang yang terikat, dan shalatnya orang sakit yang hanya mampu mengerjakan rukun shalat di hatinya.

Juga ada shalat yang ada geraknya tapi tak ada ucapannya, seperti shalatnya orang bisu. Dan ada shalat tanpa gerakan dan ucapan, seperti shalatnya orang bisu yang terikat.

Mujaddid abad IX hijriah, Imam Jalaluddin Suyuthi, menulis tanya jawab perihal shalat dalam kitabnya al-Kanz al-Madfun wa al-Fulk al-Masyhun. Berikut intisarinya.

Mengapa shalat itu bentuknya ada yang dua rakaat – dua rakaat, tiga-tiga, dan empat-empat rakaatnya? Itu karena Allah menciptakan sayap malaikat, masing-masing di kiri dan kanannya, sejumlah dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat; dengannya mereka membawa shalat yang kita kerjakan ke hadirat Allah SWT, dan memohonkan ampun.

Shalat diwajibkan kepada kita di lima waktu, itu karena Ka’bah dibangun atas lima jabal (gunung), yaitu: Tursina, Turzita, Judi, Hira, dan jabal Abi Qubais.

Dilihat dari sisi fosturnya, shalat mempunyai empat rukun fi’li, yaitu berdiri, duduk, rukuk, dan sujud. Itu karena Allah menghendaki terucapnya tasbih (subhanallah), hamdalah (Alhamdulillah), tahlil (wa la ilaha illallah), dan Allahu Akbar (Allah maha besar). Kesemuanya ini dzikirnya para makhluk di alam semesta. Allah SWT berfirman: وَإِن مِّن شَىْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِۦ وَلَٰكِن لَّا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka” (al-Isra: 44). Demikianlah Allah mensyariatkan empa rukun tersebut.

Mengapa shalat itu dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam? Karena takbir itu satu, dan salam itu dua. Maka, jika engkau mentauhidkan, kau akan sampai. Namun jika menduakannya, tentu akan terputus. Ini menandakan keutamaan tauhid atas menduakan.

Mengapa rukuk hanya sekali, sementara sujud dua kali? Berkata Ibnu Muhajiri, diriwayatkan bahwasanya Jibril pernah mengimami Nabi Muhammad SAW, maka Jibril memanjangkan sujudnya. Nabi mengira bahwa Jibril telah mengangkat kepala, maka Rasul pun mengangkat. Ternyata Jibril belum mengangkat kepala, maka Rasul kembali sujud. Sehingga sujudnya dua kali.

Dikatakan juga bahwa sujud pertama adalah sujud yang sewajarnya bagi seorang hamba (makhluk), yang kedua untuk diberikan rezeki, karena Allah adalah ar-Khaliq ar-Razzaq, yang maha mencipta dan maha pemberi rezeki. Ada juga pendapat yang mengatakan, ketika Nabi Adam sujud, maka Allah mengampuninya, kemudian Adam sujud kembali sebagai ungkapan syukur karena taubatnya diterima.

Disebutkan juga bahwa pada malam Mi’raj, para malaikat mengangkat kepalanya dari sujud, dan mengucapkan salam atas kehadiran Nabi, lalu mereka kembali sujud. Dengan demikian sujud menjadi dua kali. Alasan lainnya adalah karena sujud merupakan ketaatan yang paling dicintai Allah SWT, sehingga diulangi hingga dua kali.

Mengapa shalat jenazah tidak ada rukuk dan sujud? Karena mayit diletakkan di hadapan orang yang shalat, jika ada rukuk dan sujud, niscaya orang yang kurang cocok dengan Islam akan mengatakan bahwa orang Islam menyembah mayat.

Hikmah disyariatkannya mengangkat tangan dan menyaringkan bacaan takbir pada setiap perpindahan rukun adalah agar yang buta bisa tahu perpindahan rukun dengan mendengar takbir, dan yang tuli bisa mengetahui dengan melihat tangan yang diangkat. Dikatakan juga, jika seorang kafir penyembah berhala ingin beribadah, maka ia menaruh berhalanya di ketiak. Maka ketika disyariatkan mengangkat tangan, maka hal ini membebaskan dari sikap mereka yang membawa berhala itu. Selain itu, mengangkat takbir juga mengisyaratkan bahwa sesungguhnya kita ini tenggelam dalam lautan dosa, maka sambutlah tangan ini dan bangkitkan diri ini. Wallahhu a’lam.

Bersambung ….

Rujukan:
Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaaf, Taqrirat as-Sadidah fie al-Masail al-Mufidah. 1425 H/2004 M. Surabaya: Dar al-Ulum al-Islamiyah. Cet. III. Hlm. 179.

Jalaluddin as-Suyuthi, al-Kanz al-Madfun wa al-Fulk al-Masyhun , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th, hlm. 95.