Aksi 212, Politik dan Toleransi di Pulau Dewata

Aksi 212, Politik dan Toleransi di Pulau Dewata

Aksi 212, Politik dan Toleransi di Pulau Dewata

Efek dari pemberitaan tentang peristiwa yang menyertai pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu ternyata memiliki dampak guncangan yang cukup luas dalam konteks Indonesia. Ini terbukti dari aksi bela berjilid-jilid yang tidak hanya melibatkan orang Jakarta saja, tapi juga orang di luar Jakarta, bahkan termasuk Bali.

Sementara itu, mudahnya dunia komunikasi saat ini, juga ikut andil dalam penyebaran informasi seputar persoalan Jakarta saat itu. Sayangnya, efek yang disebar bukanlah satu bentuk hal yang bermuatan positif, akan tetapi justru hal yang bersifat negatif dan memiliki kecenderungan pada konflik, kekerasan fisik serta disintergrasi bangsa. Syukurnya, hal itu tidak terjadi, namun cost yang dihabiskan dari sisi materil maupun moril tentu sangat banyak dan bahkan merugikan.

Peristiwa pilkada Jakarta yang tidak sehat, dikhawatirkan banyak pihak akan memicu ketegangan di masyarakat terkait soal-soal politik yang di dalamnya juga ikut dibumbui oleh anasir agama. Hal yang ditakutkan adalah, permainan isu agama oleh pihak dan politikus yang memiliki kepentingan buruk dan tidak sehat untuk memenangkan suatu proses pemilu, akan diterapkan atau ditiru oleh mereka yang berada di daerah. Tentu hal yang demikian patut diwaspadai.

Perkembangan teknologi yang begitu cepat serta akses informasi yang begitu masif melalui media sosial membuat semua orang dapat mengetahui dan mencari apa saja dengan cepat. Tidak hanya itu dengan tersedianya fitur komunikasi di media-media sosial dalam bentuk teks, gambar maupun vidio seolah setiap orang, siapa saja dan kapan saja dapat menjadi seorang ‘jurnalis’ dengan menyebar apa saja yang mereka lihat dan dapatkan. Sayangnya, tidak semua hal yang diposting di media sosial adalah hal yang bersifat konstruktif tak jarang atau bahkan banyak hal-hal dekonstruktif awalnya disebabkan oleh informasi yang disediakan media sosial. Belum lagi sikap masyarakat yang cepat reaktif dan terlalu cepat menerima informasi tanpa mau menelaah, di samping kepentingan lain yang menyusupi, membuat hal yang dekomstruktif yang disebabkan oleh media sosial cepat menular dan terjadi. Pilkada Jakarta adalah salah satu contoh kontestasi politik yang sangat tidak sehat yang efeknya kemana-mana sampai saat ini.
Bali dan Narasi Toleransi

Bali tidak hanya dikenal pariwisatanya, tapi juga budayanya yang kental. Selain itu Bali, juga dikenal karena agama penduduknya mayoritas Hindu. Di sisi lain, dikenal juga toleransi antar umat beragamanya yang bagus. Inilah yang selama ini dikenal dari Bali, pariwisata, budaya, dan toleransinya. Dan ini juga yang dinarasikan dari pulau Bali yang juga dikenal sebagai pulau seribu pura itu.

Sayangnya, di balik narasi itu, riak-riak intoleransi ada saja bermunculan, meski dalam bentuk dan levelnya yang paling minim. Hal ini masih bisa dimaklumi tapi juga tak bisa dianggap hal biasa. Peristiwa bom Bali I (2002) dan II (2005) yang meluluh lantakkan Bali kala itu telah membuat keadaan Bali Goyang, sektor pariwisata hancur, ekonomi rakyat Bali redup dalam jangka beberapa tahun, dan sialnya pelaku pengeboman melabelkan dirinya sebagai jihad atas nama Islam.

Tentu efek ini sangat besar, tidak hanya soal sektor ekonomi pariwisata yang koleps, sektor sosial dan hubungan kemasyarakatan terutama Hindu dan Islam merenggang dan memanas dalam waktu yang cukup lama. Ada sentimen anti-Islam muncul, sementara itu islamophobia juga berkembang. Sebagian besar masyarakat Hindu mulai menaruh curiga kepada Islam, dan Islam Bali khususnya, di sisi lain Islam Bali berada posisi yang tersudutkan. Padahal sebelumnya di antara mereka tidak pernah terjadi tensi yang panas, hal ini dibuktikan dengan konsep menyama braya, sebuah konsep tentang hubungan bahwa semua orang apapun latar belakangnya adalah saudara kita.

Di Bali dikenal istilah nyama Selam dan nyama Hindu. Istilah-istilah ini maksudnya adalah untuk menyebut antara Muslim dan Hindu pada dasarnya sudara, nyama selam untuk menyebut orang yang beragama Islam, sedang nyama Hindu untuk menyebut orang yang beragama Hindu. Istilah ini tentu tidak hanya sebatas simbol, tapi ia merupakan simbol yang hidup bahwa dalam konteks hubungan sosial antara Masyarakat–dalam konteks ini– Hindu dan Islam itu betul-betul terjalin erat dalam suatu bentuk hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

Efek Bom Bali kala itu, tentu dalam waktu yang cukup lama, telah menimbulkan curiga yang mendalam oleh kelompok Hindu kepada Islam, hal ini diwajari karena pelaku pengeboman mengatasnamakan dirinya Islam. Padahal tidak semua orang Islam, dan saya kira hampir semua orang Islam, mengutuk sikap dan tindakan teror yang ada di manapun termasuk yang terjadi di Bali kala itu yang mengatasnamakan Islam.

Bali hari ini memang telah pulih, sektor pariwisata dan ekonomi sudah menggeliat laju dan sektor sosial serta solidaritas masyarakat telah kembali terbangun. Namun, situasi ini bisa saja berubah jika tidak benar-benar dirawat semua pihak. Riak-riak kecil intoleransi bisa saja muncul dari berbagai lini. Terlebih “Jakarta Efek” pada pilkada beberapa lalu juga menimbulkan kesan yang tidak sehat bagi proses berbangsa dan bernegara di daerah. Aroma politik berbau SARA semacam menjadi penyakit akut dalam hidangan sehat toleransi.
Hal yang perlu diwaspadai dan patut dicatat adalah, dengan cepatnya perubahan dan masifnya gerakan lini massa membuat kehidupan dan komunikasi manusia berubah. Tukar ambil informasi dapat dengan mudah dilakukan oleh siapa pun. Semacam, siapa pun bisa menjadi apa pun, yang tak pintar seolah pintar di wajah lini massa.

Sayangnya perubahan yang begitu cepat dalam skema teknologi informasi seringkali menimbulkan efek yang buruk terutama dalam pola komunikasi dan sosialisasi manusia. Berita hoaks, di samping informasi berbentuk propaganda dan ujaran kebencian seringkali menimbulkan efek gesekan di masyarakat, hal ini karena kita belum siap betul menjadi salah satu bagian dari perubahan tersebut.

Kasus baru-baru ini di Kelurahan Loloan Barat-Jembrana Bali yang viral di lini massa facebook misalnya (lihat akun facebook atas nama Dr. Arya Wedakarna), telah menjadi satu bukti riil bagaimana lini massa bisa menjadi media propraganda baik yang sifatnya kebaikan atau kebencian, dan media sosial juga bisa menjadi alat untuk memecah persatuan dan merusak situasi toleransi yang terjadi. Tidak hanya itu, ada beberapa hal yang dapat dibaca dari polemik di Loloan Barat itu.

Pertama, berita tentang isu pelarangan pembangunan bangunan padmasari. Kedua isu itu diviralkan oleh seorang politikus Bali yang juga senator DPD RI melalui akun facebooknya, dan ketiga adalah sikap masyarakat internet (netizen) dalam menyikapi persoalan tersebut di facebook yang tanpa klarifikasi dan bersifat asumtif.

Isu di atas pada dasarnya telah diselesaikan di akar rumput beserta pemangku kepentingan daerah setempat, sayangnya kemudian menjadi polemik setelah diviralkan. Sementara isu panas itu di media facebook disebabkan oleh miss komunikasi pembaca yang terjadi di mana netizen kebanyakan tidak memahami duduk persoalan, akan tetapi memberikan komentar tanpa pernah mau tabayyun (konfirmasi) terhadap hal tersebut (baca koran NusaBali edisi dan paling tidak informasi itu yang saya dapatkan dari ketua PCNU Jembrana saat saya bersilaturahmi membicarakan persoalan NU di Jembrana 24/07/17).

Di sisi lain, hal yang sifatnya sensitif mestinya tidak dipublikasikan secara serampangan di media massa tanpa data dan informasi yang jelas, lebih-lebih jika dilakukan oleh pejabat publik yang semestinya ikut menyelesaikan tapi justeru memperkeruh hal yang tidak mestinya dikeruhkan, dengan dalih ingin menyambut aspirasi masyarakat. Hal tersebut sangat ironis sebab hal-hal seperti ini bisa saja menimbulkan soal baru yang lebih problematis.
Politikus, Dialog dan Perselingkuhan antara Politik dan Agama

Pilkada serentak 2018 akan dihelat sebentar lagi, Bali adalah salah satu provinsi yang juga akan melaksanakan pesta rakyat daerah tersebut. Dalam situasi seperti ini strategi dan gerakan politik baik oleh partai politik atau perorangan yang ingin terlibat dalam kontestasi tersebut sudah mulai bermunculan, mulai dari baliho dan iklan-iklan lainnya. Situasi ini harus disikapi oleh semua pihak, agar tetap menjaga kondusifitas masyarakat. Peristiwa viral facebook tentang Loloan Barat misalnya, adalah salah satu soal yang juga harus disikapi secara hati-hati, lebih-lebih hal ini diviralkan pertama kali oleh seorang politikus.

Peristiwa di Jakarta, tidak bisa tidak adalah juga merupakan akibat dari sikap politikus yang kotor yang memanfaatkan situasi apa pun untuk meraih tujuannya. Di samping tentu pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan jahat. Isu agama seringkali menjadi senjata paling ‘seksi’ dalam konteks Indonesia guna meraih simpati dan dukungan publik. Kita ingat bahwa pemilu presiden tahun 2014 lalu bagaiman agama (SARA) menjadi bagian dari konstalasi politik saat itu. Agama diselingkuhkan dengan politik oleh politikus-politikus jahat guna meraih dukungan, kita ingat betapa panasnya situasi saat itu. Pun demikian halnya hal itu terulang di Jakarta beberapa waktu lalu.

Perselingkuhan politik dengan agama seringkali dilakukan oleh politisi yang frame kepalanya adalah kekuasaan dan kemenangan semata dalam konteks politik. Situasi Indonesia yang memang mudah sensitif terkait isu SARA seringkali menjadi lahan basah sebagian politikus dalam memuluskan jalannya. Ketiadaan moral berpolitik dan beragama membuat para politikus enjoy melakukan apapun. Termasuk memakai agama dalam jualan-jualan politiknya. Kasus Muawiyah dan Ali dalam peristiwa tahkim (arbitrase) di dunia Islam misalnya juga erat kaitannya dengan penggunakan agama dalam jualan politiknya Muawiyyah. Pun hal yang sama terjadi dalam dunia Barat saat sebelum reneisains juga melibatkan agama (Katolik) yang digunakan untuk melegitimasi segala bentuk keputusan pemerintah. Pada masa Socrates terdapat kaum sophis yang menggunakan dalil-dalil yang diputarbalikkan untuk memperoleh keuntungan pribadi, semacam politikus yang pandai berorasi dan berbicara serta mengotak-atik narasi dari yang benar menjadi tidak benar atau dari tidak benar-dibenar-benarkan untuk memperoleh keuntungan dan dukungan dengan cara memanipulasi.

Dalam agama apa pun selalu dapat ditemukan orang-orang yang menjual agama demi ambisi politik. Baik Katolik, Islam, Kristen, Hindu, Buda, Yahudi dan sebagainya akan kita temukan hal-hal tersebut, sekali lagi, ini karena agama menjadi hal yang paling ‘seksi’ untuk dikomoditaskan di panggung politik, lebih-lebih jika suatu masyarakat tersebut cenderung masyarakat agamis. Politikus yang tidak memiliki moral politik serta moral agama yang baik akan dengan gampang menjadikan agama sebagai jualan-jualan politik demi keuntungannya semata, bahkan kalaupun harus memecah belah kondusifitas masyarakat tentu akan mereka lakukan. Dan sejarah telah mencatat itu.

Peristiwa viralnya kasus penolakan pembangunan Padmasari oleh sekelompok orang Muslim di Kelurahan Loloan Barat mestinya juga harus disikapi secara hati-hati, lebih-lebih ini viral di media sosial dalam suasana menjelang pilkada Bali 2018. Bisa saja banyak yang ingin memainkan peranan demi meraup keuntungan dengan dalih sebagai penampung suara rakyat tapi pada saat yang sama mengorbankan keharmonisan ummat. Di sisi lain, polemik padmasari di Loloan Barat, hemat penulis, disebabkan kurangnya dialog yang serius antar umat beragama. Atau tidak seriusnya pemerintah dalam melakukan proses-proses dialog antar ummat beragama. Dialog tak hanya sekadar seminar belaka, dialog adalah upaya memahmi satu dengan yang lain secara utuh dan mendalam (atau dalam bahasa Islam disebut ta’arruf) agar terjalin saling pengertian dan permakluman. Persoalan Padmasari di atas adalah buntut dari miss komunikasi (sebagaimana diungkap I Made Kembang Hartawan Wakil Bupati Jembrana). Di sini jelas miss komunikasi terjadi karena kurangnya komunikasi (dialog). Pemerintah telah kecolongan dalam membina dialog antar ummat beragama sehingga hal ini kemudian dimanfaatkan kelompok yang memiliki kepentingan sepihak.

Sebagaimana yang saya dapatkan dalam diskusi dengan Ketua PCNU Jembrana di rumahnya, bahwa persoalan ini pada dasarnya telah selesai di akar rumput, hanya saja media sosial terlau cepat gerakannya sehingga kemudian menjadi viral dan perdebatan panas yang pada dasarnya mereka tidak memahami duduk persoalan. Menurut Ketua PCNU Jembrana, pembangunan padmasari di area kelurahan Loloan Barat pada dasarnya murni miss komunikasi. Sebagian masyarakat muslim mengira akan dibangun pura sebagaimana umumnya. Padahal padmasari terdapat sedikit pengertian berbeda dengan pura secara utuh. Padmasari yang dibangun di area kelurahan Loloan Barat merupakan satu paket proyek dengan pembangunan kantor kelurahan, selain itu padmasari memiliki fungsi sebagai tempat sembahyang saudara Hindu yang bekerja di Kelurahan tersebut, di sisi lain juga padmasari diperuntukkan sebagai sanggah/sanggar (tempat suci) dalam keyakinan ummat Hindu (baca;http://googleweblight.com/?lite_url=http://inputbali.com/budaya-bali/sejarah-dan-pengertian-sanggah-pemerajan). Itu sebabnya padmasari selalu hadir di hotel-hotel Bali, rumah-rumah masyarakat hindu yang sempit pekarangan rumahnya, atau bangunan pemerintahan lainnya sebagai alternatif persembahyangan yang memenuhi syarat hukum Hindu, seperti dalam kasus ini ketak padmasari berada di utara-timur (baca tentang Padmasari dan Padmasana di sini; https://paduarsana.com/2012/07/05/memilih-jenis-padma-untuk-area-terbatas/).

Sementara itu menurut Mpu Jaya Prema Padmasana dan Padmasari tidak ada bedanya dari sisi fungsi, perbedaan terletak pada ukuran saja (lihat Twitter @mpujayaprema pada pukul 18.18 wita 24 Juli 2017). Jika dilihat sepintas, padmasari memiliki fungsi mirip seperti musholla, namun syarat pendirian padmasari dan musholla tentu berbeda, jika musholla cukup sebuah ruangan yang suci dari najis besar maupun kecil, padmasari memiliki syarat-syaratnya tersendiri dalam aturan Hindu yang mesti dipenuhi, misalnya soal posisi bangunan.
Pemahaman serta komunikasi yang intens beginilah yang mestinya dirawat. Dialog (atau ta’arruf dalam Islam) tidak hanya sebatas tahu, ta’arruf meniscayakan tahu, paham, kenal serta ada satu bentuk empati atau kearifan dari pengenalan-pengenalan itu, atau dalam bahasa al-Qur’an dengan saling mengenal kita bisa saling cinta (QS. Al-Hujurat: 13). Saling mengenal secara intim hanya mungkin terjadi jika ada dialog. Pemerintah (pusat maupun daerah) tidak boleh lagi hanya berpangku tangan, menyerahkan persoalan itu pada ormas-ormas untuk menyelesaikan, pemerintah juga harus membantu ormas semacam NU, Organisasi Hindu di Bali, FKUB serta yang lainnya untuk membangun dialog, khususnya di Bali. Pemerintah tidak boleh hanya meminta ormas menyelesaikan persoalan saat ada persoalan belaka. Proses preventif melalui dialog sudah menjadi kebutuhan untuk menemukan kesepahaman dan kepermakluman satu dengan yang lain agar peristiwa seperti di Loloan Barat tak perlu terjadi, dan lebih penting adalah agar toleransi di Bali tak sekadar narasi.

*) Deni Gunawan S.Ag; Ketua Lakpesdam PCNU Jembrana, penggemar buku-buku filsafat, mistik, dan ilmu-lmu sosial serta politik.