Setiap kelompok memiliki pemimpin, dan pemimpin kelompok sufi adalah Abu Bakar as-Syibli. –Junaid al-Baghdadi
Jika al-Junaid al-Baghdadi dijuluki sebagai Taj as-Shufiyyah (mahkota para sufi), maka as-Syibli adalah Taj al-Hubb “mahkota cinta”.– Abdul Halim Mahmud
Mayoritas para sufi menempuh jalan cinta. Melalui metode cinta ini mereka menempuh jalan spiritualnya. Rabiah al-Adawiyyah adalah seorang sufi perempuan yang paling masyhur di antara sufi penempuh jalan cinta dibandingkan yang lainnya. Selain Rabiah, sufi besar lainnya yang juga menempuh jalan cinta adalah Abu Bakar as-Syibli.
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Dulaf bin Ja’far bin Yunus As-Syibli lahir di Samara’ pada tahun 247 H atau bertepatan dengan tahun 861 M. Orang tuanya adalah salah satu pejabat di pemerintahan Samara’ ini sejak kecil tumbuh besar di lingkungan istana bersama anak-anak pejabat.
As-Syibli berjumpa dengan sufi agung, Junaid al-Baghdadi dan menimba ilmu darinya yang di kemudian hari membentuk karakter dan laku spiritualnya. Bukan hanya berjumpa dan belajar dengan al-Junaid, as-Syibli, menurut Fuat Sezgin juga sempat bersua dengan sufi martir “al-Hallaj”. Ia belajar langsung di bawah bimbingan ulama-ulama besar di masanya. Pada mulanya ia tertarik mempelajari ilmu hadis, namun kemudian ia justru lebih banyak menggeluti ilmu tasawuf.
Menguji Keilmuan As-Syibli
Sebagai seorang sufi yang juga merupakan pakar dalam bidang fikih, as-Syibli kerap mendapatkan “ujian”. Sebagaimana dituturkan oleh Syekh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya berjudul Taaju as-Shufiyyah Abu Bakar as-Syibli; Hayatuhu wa Arauhu yang saya kutip berikut ini:
Suatu hari as-Syibli berjumpa dengan Syekh Abu Imran. Saat itu Abu Imran sedang menggelar pengajian di halaqahnya. Pada saat Abu Imran melihat keberadaan Abu Syibli di majelisnya, ia segera berdiri dan mendatangi as-Syibli serta mengajaknya duduk di sebelahnya. Melihat yang dilakukan oleh Abu Imran ini, beberapa murid Abu Imran ingin menguji keilmuan as-Syibli dengan mengajukan sejumlah pertanyaan sulit yang sekiranya as-Syibli tidak bisa menjawabnya. Intinya mereka ingin membunuh karakter as-Syibli. Lalu mereka mengajukan kepada As-Syibli:
Wahai Abu Bakar as-Syibli, bagaimana pendapatmu mengenai perempuan yang tidak bisa membedakan darah haid dengan darah istihadhah (darah penyakit)?
Lalu as-Syibli menjawab pertanyaan tersebut dengan menyodorkan delapan belas pendapat yang lengkap. Kemudian Syekh Abu Imran berdiri lalu mencium kepala as-Syibli sembari berujar:
Wahai Abu Bakar, dari delapan belas pendapat yang kau sebutkan itu, aku hanya mengetahui duabelas pendapat saja. Enam pendapat lainnya tidak pernah aku dengar sebelumnya.
Kisah mengenai ujian untuk mengukur keilmuan as-Syibli ini tidak hanya terjadi sekali. Syekh Abdul Halim Mahmud juga menuturkan kisah lain di mana as-Syibli diuji kapasitas keilmuannya oleh seorang ulama di daerahnya sebagaimana kisah berikut:
Ibn Bassyar, seorang ulama terkemuka di daerah dimana As-Syibli tinggal, pernah melarang masyarakat setempat mengaji dan mendengarkan ucapan as-Syibli. Suatu ketika ia datang menemui Abu Bakar as-Syibli untuk menguji keilmuannya. Setelah bertemu dengan as-Syibli, ia bertanya kepadanya, “Berapa zakat yang dikeluarkan untuk lima ekor unta?”
As-Syibli diam tak menjawabnya. Ibn Basysyar seolah kian meyakini atas ketidakmampuan as-Syibli sambil terus berbicara. Lalu as-Syibli berkata, “Sesuai kewajiban syariat, zakat bagi lima unta adalah satu kambing. Tapi bagi orang-orang seperti saya zakat yang wajib adalah semua (harta) yang saya miliki.”
Lalu Ibn Basysyar berkata kepadanya, “Apakah dalam hal itu kamu memiliki imam yang kau ikuti? Siapa?
As-Syibli menjawab, “Ya. Abu Bakar as-Shiddiq ra. dimana beliau mengeluarkan semua harta benda miliknya hingga Nabi Muhammad SAW bertanya kepada Abu Bakar, “Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?” Abu bakar menjawab, “Allah dan rasul-Nya”
Mendengar jawaban tersebut Ibn Basysyar pulang ke rumahnya dan tidak lagi melarang orang lain untuk menemui dan mengaji kepada Abu Bakar as-Syibli.
Wallahu A’lam bis-Shawab