Absennya Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Virus Corona

Absennya Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Virus Corona

Absennya Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Virus Corona
cr: getty images

Masyarakat dunia dan jagat media sosial ramai membicarakan virus Corona yang saat ini sedang mewabah. Akhir-akhir ini juga makin ramai membicarakan penyebaran virus ini. Setelah kasus terinfeksi virus ditemukan di Depok, makin menimbulkan kepanikan di daerah lain. Selain itu, media massa terutama media online banyak sekali memberitakan mengenai virus ini. Mirisnya, media televisi nasional ikut memberitakan virus ini dengan tidak berdasar pada etika jurnalistik serta menyuguhkan data yang masih belum tentu kebenarannya, apalagi berdasarkan empati.

Media massa seringkali lebih mengedepankan rating dan mengejar jumlah pembaca dengan menyuguhkan judul berita yang bombastis dan menarik perhatian yang tak ayal menuai kontroversi. Maka, tidak heran jika kita melihat banyak berita bertebaran di media sosial khususnya mengenai berita-berita yang tidak jelas sumbernya dan diragukan faktanya.

Mengenai Virus COVID-19 ini, banyak sekali disinformasi dan hoaks yang bersifat rasis, ditambah narasi kebencian terutama terhadap China. Banyaknya berita yang tidak jelas kebenarannya serta komentar yang hanya didasari oleh justifikasi sepihak oleh kelompok tertentu semakin membingungkan masyarakat. Seperti narasi bahwa virus Corona adalah bentuk azab dari Allah SWT, sehingga tidak fokus terhadap edukasi seperti edukasi pencegahan yang bisa dilakukan oleh masyarakat dan penanganan kesehatan terkait virus ini. Media massa harusnya memberitakan hal-hal yang tidak menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat.

Absennya empati dalam pemberitaan media massa harusnya lebih melindungi korban, bukan malah mengeksploitasinya. Muncul salah satu curhatan netizen melalui akun Facebooknya, bernama Anis Hidayah menuliskan penyesalannya terhadap salah satu stasiun televisi nasional yang santer memberitakan data pribadi salah satu korban. Pada intinya terdapat dua poin penting dalam status facebook itu, yaitu mengenai sumber informasi yang diwawancarai bukanlah salah satu warga Studio Alam Indah, tempat tinggal korban virus Corona. Selain itu, berita yang tidak menampilkan realitas sebenarnya dengan menyebutkan bahwa penjual sayur pun tidak berani masuk ke perumahan tersebut, dibantah dalam status Anis Hidayah itu.

Status facebook Anis Hidayah tersebut sampai tulisan ini dibuat, telah mendapat like sebanyak 8,4 ribu dan dibagikan sejumlah 4.738. Hal ini tentu mengecewakan serta tentu juga merugikan warga terkait terutama yang berada di perumahan Studio Alam Indah. Tentu, tidak ada muatan jurnalisme empati dalam hal ini.

Ashadi Siregar dalam buku “Penjaga Akal Sehat” memberikan pengertian jurnalisme empati adalah “upaya untuk memberikan dorongan, membangun optimisme hidup, dan dukungan bahwa hidup seberapa pun panjangnya adalah karunia”. Menurut Ashadi Siregar, jurnalisme empati diharapkan dapat melukiskan empati sebagai to see with eyes of another, to hear with the ears of another and to feel with heart of another.

Terdapat beberapa unsur penting dalam jurnalisme empati yaitu harus ada unsur sisi belas kasihan dalam pemberitaan. Selanjutnya, tugas wartawan untuk mengajak pembaca merasakan apa yang dirasakan orang lain yang menjadi korban dalam pemberitaan tersebut dan bukan sebaliknya, apalagi mengeksploitasi korban demi rating dan klik semata.

Seperti sebuah dilema tersendiri ketika wartawan dihadapkan oleh dua kepetingan, yaitu memberikan fakta dalam berita tanpa melanggar hak personal dari yang diberitakan seperti dalam dalam pemberitaan kasus virus Corona ini. Di sisi lain, media dihadapkan dengan kepentingan pasar sehingga sampai mengorbankan empati dalam setiap pemberitaan.

Media massa (dalam hal ini wartawan) harusnya dapat membedakan fakta publik, yaitu fakta yang bisa dikonsumsi oleh publik, dengan fakta personal. Fakta personal haruslah mendapat izin dari sumber terkait atau mempertimbangkan apakah sumber terkait mempersilahkan fakta personalnya dipublikasi. Hal-hal di atas terutama dalam kasus virus Corona ini harus memenuhi unsur diatas.

Maka dari itu, untuk media massa terutama media online dalam memberitakan virus Corona terutama pada pihak korban haruslah berdasarkan pada prinsip jurnalistik serta haruslah terdapat unsur jurnalisme empati. Jika memang jurnalisme empati hilang dalam pemberitaan untuk kasus-kasus serupa, maka indikasi hilangnya sisi kemanusiaan dalam pemberitaan media massa.

Kita sibuk menuduh banyak hal tanpa bukti yang memadai. Kecenderungan itu dapat dilihat dari komentar netizen serta komentar para tokoh yang lebih mengaitkan munculnya virus Corona karena azab semata, alih-alih mengedukasi masyarakat. Harusnya kita lebih fokus memberikan empati kepada para korban serta memberikan informasi yang bersifat edukasi kepada masyarakat, bukan malah sibuk menghakimi.

Wallahu a’lam. [rf]