Di Indonesia, perempuan bekerja bukan hal yang baru. Angka perempuan bekerja tiap tahun setiap tahun kian bertambah. Pekerja perempuan ini mengisi pelbagai sektor, baik itu swasta ataupun pemerintah, banyak sekali melibatkan pekerja perempuan. Lebih jauh lagi, di bidang konstruksi, pertambangan, ritel, properti, jasa keuangan, karyawan pabrik, dan kantoran, akan banyak sekali diperdapati perempuan Indonesia yang meniti karir. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia pada tahun 2021 jumlah pekerja perempuan sebanyak 39,52% atau 51,79 juta orang. Angka tersebut bertambah sekitar 1,09 juta orang jika dibandingkan dengan tahun 2020 lalu yakni sekitar 50,7 juta orang pekerja perempuan.
Pekerja perempuan di Indonesia terdiri dari pelbagai latar belakang yang berbeda-beda. Ada anak petani, pengusaha, pejabat, buruh, pabrik, ataupun anak tokoh agama; kyai, ustadz, penceramah, dan ulama. Terkait yang terakhir, jabatan tokoh agama (ulama besar) tidak membuat mereka melarang anak-anak dan istrinya untuk berkiprah dalam dunia sosial, politik, dan ekonomi. Bahkan ulama-ulama besar ini membebaskan anaknya untuk menggapai cita-citanya, dan senantiasa mendukung anaknya dalam berkarir.
Fenomena ini sejatinya menampar orang yang menyebutkan bahwa perempuan dilarang bekerja di luar rumah. Pasalnya, nama-nama besar seperti Nyai Sinta Nuriyah istri Gus Dur, Najwa Shihab, putri Quraish Shihab, Nyai Badriyah Fayumi merupakan sosok perempuan hebat, yang berasal dari keluarga agamawan. Kendati lahir dari keluarga ulama besar, mereka tetap aktif dalam berkarir dalam bidang masing-masing.
Bahkan banyak dari para tokoh agama itu yang mencontohkan secara langsung, istri dan anak perempuannya yang terlibat menjadi pekerja di sektor publik. Lebih lanjut, jika perempuan tidak boleh bekerja, tentu para ulama besar tersebut tidak akan membiar anak-anak dan istrinya melakukan aktivitas di luar.
Sementara itu dalam konteks Islam, agama yang dibawa Nabi Muhammad ini tidak menghalangi perempuan untuk bekerja, baik dalam rumah ataupun luar rumah. Pasalnya, bekerja merupakan hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Atas dasar itu, perempuan berkarir dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik tidak ada persoalan. Sumber-sumber Islam, Al-Qur’an, hadits, maupun fikih, kata KH. Husein Muhammad dalam Fikih Perempuan, tidak ada satupun yang menafikan kerja dan profesi perempuan dalam bidang dan sektor apapun yang dibutuhkan dalam kehidupan, baik yang diperuntukkan untuk kepentingan pribadi, terlebih untuk kepentingan sosial. Artinya, eksistensi perempuan, senantiasa mendapatkan legitimasi kuat dalam Islam untuk mendapatkan hak dalam bekerja.
Sementara itu, dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa laki-laki yang bekerja atau beramal akan mendapatkan kehidupan yang baik dan sejahtera. Lebih lanjut, dalam teks Al-Qur’an term “amala” yang memiliki arti bekerja, selalu beriringan dengan term “amana” yang berarti beriman. Dua kata ini, setidaknya terdapat dalam 56 ayat dalam Al-Qur’an, tersebar dalam pelbagai surah. Menurut KH. Faqihuddin Abdul Qadir, hal itu menunjukkan bahwa bekerja merupakan perwujudan langsung dari keimanan seorang—baik itu laki-laki ataupun perempuan—, kepada Allah dan Nabi Muhammad.
Salah satu contohnya, dalam Q.S An-Nahl ayat 97—ayat yang menggandeng kata amala dan amana secara beriringan. Ayat ini menunjukkan bahwa bekerja merupakan salah satu karakter dasar seorang muslim dan muslimah. Allah berfirman;
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. An-Nahl, 16: 97).
Penjelasan terkait kemuliaan bekerja juga terdapat dalam hadis Nabi Muhammad. Pada hadis yang bersumber dari Imam Bukhari Nomor hadits 2111, dijelaskan bahwa pekerja merupakan perbuatan mulia. Seorang muslim yang bekerja bercucuran keringat, lebih baik dari seorang yang hanya memohon balas kasihan orang lain. lebih dari itu, bekerja termasuk bentuk tanggung jawab dan implementasi rasa syukur pada Allah, sebab masih diberikan kesehatan dan kehidupan.
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Miqdam ra., bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada makanan yang dikonsumsi oleh seseorang, yang lebih baik dari hasil jerih pekerjaan tangannya sendiri, sesungguhnya Nabi Dawud as selalu memakan dari hasil pekerjaan tangannya sendiri”. (HR: Bukhari).
Biografi Istri dan Anak Perempuan Ulama yang Bekerja
Berikut ini biografi istri dan anak ulama besar yang menjadi pekerja perempuan yang bergerak dalam pelbagai bursa kerja, seperti aktivis, pegiat HAM, peneliti, karyawan, politisi, pengusaha, akademisi, dan presenter media.
Pertama, Nyai Sinta Nuriyah. Ia adalah perempuan hebat Indonesia. Perempuan yang telah aktif bekerja puluhan tahun untuk isu-isu perdamaian, kemanusiaan dan keadilan gender. Nyai Sinta Nuriyah merupakan Ibu Negara ke IV—istri mendiang Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Kiprahnya dalam memperjuangkan keadilan gender dan persamaan hak perempuan tak perlu diragukan lagi. Pada tahun 2018 silam, ia masuk dalam dalam daftar 100 orang Paling Berpengaruh di dunia versi Majalah Time .
Sebagai istri seorang kiyai besar, yang juga ketua Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU), tak menghambatnya untuk berkarir dalam isu-isu perempuan. Pun jabatan sebagai ibu negara, tak menghalangi untuk terus berjuang untuk perdamaian dunia dan terjun dalam pelbagai isu-isu kemanusiaan. Majalah Time menulis, sebagai istri mantan presiden, seyogianya Ibu Sinta Nuriyah bisa hidup dengan nyaman. Namun, ia lebih memilih keliling Indonesia selama 18 tahun untuk mendakwah dialog lintas iman. Ia berbaur dengan masyarakat bawah, untuk menyebarkan Islam yang ramah dan kasih.
Kedua, Tutty Alawiyah. Ia adalah ulama perempuan, pejuang keadilan gender, politisi, dan aktivis perempuan. Lahir di Jakarta pada 30 Maret 1942. Secara garis keturunan, ia adalah putri ulama besar, KH Abdullah Syafi’ie dan Rogayah. Sebagai ulama perempuan asal Betawi, ia aktif dalam International Muslim Women Union (IMWU), organisasi muslimah internasional yang memiliki anggota dari 88 negara. Organisasi ulama dan aktivis perempuan muslim ini berpusat di Sudan, Afrika Utara.
Sejak masih usia 9 tahun, ia sudah aktif menjadi pendakwah. Hal itu ia tekuni sampai dewasa. Untuk itu, dalam menyampaikan dakwahnya, pada tahun 1981 di Jakarta, Tutty Alawiyah mendirikan organisasi Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT). Organisasi ini merupakan kumpulan majelis taklim yang terdiri daerah Jabodetabek, yang bertujuan sebagai upaya pembinaan, pengembangan, dan perberdayaan perempuan muslimah. Pada saat pembukan dihadiri lebih dari 1500 pimpinan majelis taklim se-Jabodetabek, hingga kini sudah berkembang pesat dan tersebar di 22 provinsi di Indonesia.
Selain aktif dalam berdakwah, ia juga aktif dalam bidang politik. Aktif di politik membuat dirinya mencapai jabatan tinggi. Terhitung ia pernah menduduki jabatan strategis di legislatif dan ekskutif. Status perempuan, tidak menghalangi dirinya untuk turut andil dalam pemerintahan. Ia pernah tercatat menjabat sebagai Menteri Negara Peranan Wanita (1997) dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1998-1999. Pada bidang legislatif, ia juga pernah menjabat sebagai Anggota Badan Pekerja MPR RI Ad Hoc II, dan juga Anggota MPR RI pada tahun 1999 sampai 2004.
Ketiga, Nyai Hj. Badriyah Fayumi. Ia lahir dari rahim fatayat NU. Dari segi keturunan, Nyai Badriyah Fayumi, merupakan anak dari ulama besar Pati, Jawa Tengah KH. Ahmad Fayumi Munji yang sangat dihormati. Ayahnya pengurus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, serta pengikut tarekat Syathariyah dan Syadziliyah. Sejak belia sudah diperkenalkan dengan keislaman dan tradisi kitab kuning yang melekat bagi santri dan fatayat NU.
Perempuan kelahiran, Pati 5 Agustus 1971 ini juga merupakan tokoh feminisme Islam Indonesia. Ia aktif dalam pelbagai gerakan kesetaraan gender dan kampanye menghapuskan diskriminasi bagi perempuan. Nyai Badriyah Fayumi saat ini aktif dalam memimpin Kongres Ulama Wanita Indonesia (KUPI), sebuah perkumpulan akademisi dan aktivis perempuan.
Kendati lahir dari rahim tradisional, namun gagasannya mendunia. Di Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an Wal Hadith, Badriyah Fayumi, ia memperkenalkan gerakan feminisme pada santri-santriwatinya. Ia meyakini perempuan mempunyai peran yang sama dengan kiai laki-laki, terutama dalam pelbagai aktivitas yang berkaitan publik. Jika laki-laki mampu memperoleh pendidikan tinggi, perempuan pun demikian. Jika laki-laki mampu bekerja dan meniti karir hingga menjadi sukses. Perempuan pun harus mampu menjadi wanita karir yang membanggakan keluarga.
Butir-butir pemikirannya dapat ditelisik lewat buku Halaqah Islam: Mempelajari Perempuan, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi. Ia mendorong perempuan aktif dalam mengisi wacana publik, dengan mengisi sektor-sektor sentral, baik dalam ranah pemerintahan atau pun swasta. Suara perempuan harus bergaung keras, sebagaimana laki-laki untuk lebih didengarkan. Pasalnya, panggung suara perempuan masih terbilang kurang didengarkan masyarakat. Untuk itu, perempuan harus aktif, sebab itu adalah hak asasi perempuan dalam negara demokrasi.
Keempat, Najwa Shihab. Seorang presenter dan tokoh perempuan Indonesia yang menginspirasi. Nana, sapaan akrabnya merupakan puteri ulama besar Indonesia, penulis Tafsir Al Misbah, Muhammad Quraish Shihab. Najwa Shihab merupakan contoh, putri ulama besar yang sukses dalam bidang media. Ia pendiri PT Narasi Media Pracaya, yang dikenal juga dengan Narasi.tv yang bergerak dalam bidang jurnalisme dan media massa.
Perempuan kelahiran Makassar pada tanggal 16 September 1977, memulai karier sebagai jurnalis. Ia news anchor dan pembawa acara di stasiun televisi Metro TV. Namanya melejit saat memimpin program Mata Najwa, yang awalnya tayang di MetroTV. Di Mata Najwa ia membahas pelbagai tema, berkaitan dengan sosial, politik, dan ekonomi. Kemampuannya dalam melontarkan pertanyaan yang mematikan, membuat namanya kian dikenal masyarakat. Berkat kiprah yang luar biasa, baru-baru ini, 22 September 2022, Najwa Shihab menerima anugerah penghargaan sebagai Public Figure Inspiratif Terpopuler, lewat acara Penghargaan Indonesia Television Awards 2022.
Kelima, Yenny Wahid, seorang aktivis sosial-politik yang dikenal karena kampanyenya untuk membawa Islam kembali ke pesan inti perdamaiannya. Ia merupakan lulusan sarjana dari Universitas Trisakti, Jakarta. Kemudian melanjutkan gelar Master di Harvard Kennedy School, AS. Dalam yennywahid.id, tertulis biografi lengkap putri Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), saat ini ia menjabat sebagai Direktur The Wahid Institute, sebuah pusat penelitian Islam yang didirikan oleh mendiang ayahnya, mantan presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid.
Wahid Institute memperjuangkan pandangan Islam yang moderat dan toleran dengan memupuk kerukunan antara Islam dan budaya dan komunitas agama lain, dan memperkuat tata pemerintahan yang baik dan masyarakat sipil di Indonesia. Hal ini dicapai melalui publikasi, pelatihan dan diskusi. Pada 2009, ia dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Global oleh Forum Ekonomi Dunia.
Selain sebagai aktivis sosial, Yenny Wahid merupakan tokoh politisi Perempuan Indonesia. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia sempat menjabat sebagai staf khusus bidang Komunikasi Politik. Pada sisi lain, ia juga sempat menjabat sebagai Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa. Pada 2012, setelah tidak aktif di PKB, Yenny Wahid mendirikan partai politik baru, Partai Kedaulatan Bangsa, ia menduduki jabatan sebagai ketua umum partai tersebut.
Belakangan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengusulakn nama Yenny Wahid sebagai calon wakil presiden, mendampingi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Masuknya namanya dalam kontestasi pemilihan Presiden 2024 mendatang, menandakan bahwa namanya populer di tengah masyarakat, khususnya kalangan NU.
Keenam, Nyai Masriyah Anva. Ia lahir di Babakan, Ciwaringin, Cirebon pada 13 Oktober 1961. Ia tumbuh dan berkembang dari kalangan santri yang taat dalam beragama. Ibunya, Almarhum Hj. Fariatul ‘Aini, dikenal sebagai ustadzah dalam berdakwah dan juga aktif dalam gerakan kegiatan sosial. Sementara ayahnya, Almarhum KH. Amrin Khanan merupakan kiai besar dan ulama pesantren tradisional, yang mengajar Islam di Pondok Pesantren. Begitu juga dengan kakeknya K.H. Amrin dan KH. Abdul Hannan adalah dua ulama kharismatik di Cirebon.
Saat ini Nyai Anva aktif sebagai Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Namanya masuk dalam jajaran pengurus A’wan PBNU. Lebih jauh lagi, ia merupakan ulama perempuan Indonesia, yang tergabung Kongres Ulama Perempuan (KUPI). Pada kongres pertama KUPI 2017 Pesantren Kebon Jambu, yang pemimpin Nyai Masriyah menjadi tuan rumah kongres ulama KUPI I.
*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja