Apa Iya Laki-Laki Lebih Utama dari Perempuan?

Apa Iya Laki-Laki Lebih Utama dari Perempuan?

Dalam Islam, laki-laki dan perempuan setara. Agama yang dibawa Nabi Muhammad 14 silam ini, membawa keadilan  dan memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan

Apa Iya Laki-Laki Lebih Utama dari Perempuan?

Dalam Islam, laki-laki dan perempuan setara. Agama yang dibawa Nabi Muhammad 14 silam ini, membawa keadilan  dan memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan. Kedua insan Tuhan ini, diberikan kebebasan dalam menentukan hidupnya. Laki-laki diperbolehkan meniti karir hingga sukses. Begitu pun perempuan, dalam ajaran Islam diperkenankan untuk berusaha meniti karir dan mengembangkan keahliannya.

Pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan tersebut, tak terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang universalitas dalam Islam. Pernyataan tentang nilai kemanusiaan universal Islam ini, jamak kita jumpai dalam pelbagai ayat Al-Qur’an. Dalam persoalan laki-laki dan perempuan, Al-Qur’an menampilkan wacana yang egaliter. Misalnya dalam Q.S al Hujarat (49;13) Allah berfirman;

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: Al-Hujurat ayat 13)  

Menurut Jalaluddin Mahalli dan Suyuthi, dalam kitab Tasir Jalalain, kata tāārafū, maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal dengan sebagian yang lain, bukan justru sebaliknya—saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan. Dalam Islam ketinggian, kemuliaan dan kebanggaan seseorang itu dinilai dari ketakwaan pada Allah. Simak penjelasan dalam kitab Tasir Jalalain;

{لِتَعَارَفُوا} حُذِفَ مِنْهُ إحْدَى التَّاءَيْنِ لِيَعْرِف بَعْضكُمْ بَعْضًا لَا لِتُفَاخِرُوا بِعُلُوِّ النَّسَب وَإِنَّمَا الْفَخْر بِالتَّقْوَى

Ta’aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan.

Menurut Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat tersebut menjadi landasan bahwa tidak dibenarkan tindakan diskriminatif terhadap perempuan. Pasalnya, Islam mengakui adanya hak-hak perempuan. Lebih lagi, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Pembeda antara keduanya adalah ketakwaan individual masing-masing dihadapan Allah.

Pada sisi lain, turunnya ayat Al-Qur’an tersebut, merupakan suatu langkah yang fungsioner dan spektakuler. KH. Husein Muhammad dalam Fiqih Perempuan; Refleksi Kiai atas Tafsir Wacana Agama dan Gender, menyebutkan hal itu bukan saja mengubah tatanan masyarakat Arab waktu itu, tetapi sekaligus mendekonstruksi pilar-pilar peradaban, kebudayaan, dan tradisi yang diskriminatif serta misoginis yang telah sekian lama dipraktikkan masyarakat sebelum Islam datang.  

Tak bisa dipungkiri, masa sebelum Islam datang, perempuan senantiasa dianggap makhluk yang lemah. Mereka dianggap barang atau benda yang dapat diperlakukan sebagai apa saja. Tak jarang, anak perempuan yang lahir dibunuh, dan dikubur hidup-hidup disebabkan malu. Perempuan, dianggap aib yang memalukan. Pun, dalam jual beli budak, harga perempuan setengah laki-laki.

قَالَ عمر بن الخطاب رضي الله عنه: – كُنَّا فِى الْجَاهِلِيَّةِ لاَ نَعُدُّ النِّسَاءَ شَيْئًا، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ وَذَكَرَهُنَّ اللَّهُ، رَأَيْنَا لَهُنَّ بِذَلِكَ عَلَيْنَا حَقًّا

 Umar bin Khattab ra berkata: “Dulu kami, pada masa Jahiliyah, tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa merekapun memiliki hak atas kami”. (Sahih Bukhari, no. Hadis: 5904).

Lantas Bagaimana dengan surat al-Nisa Ayat 34?

Kendati demikian, kita tak bisa menutup mata, bahwa dalam persoalan budaya dan sosial,  ada ketimpangan dalam memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan masih dianggap sebagai subordinasi, dan kaum yang acapkali dimarginalkan. Salah satu contoh nyatanya adalah, laki-laki bisa dengan bebas dalam peran publik, sedangkan perempuan seolah dibatasi dalam ruang domestik (rumah tangga).

Untuk membenarkan narasi tersebut, seringkali dikutipkan firman surat al-Nisa ayat 34, yang menyebut laki-laki merupakan pemimpin, penanggungjawab, pengatur, pendidik, bagi perempuan. Peran laki-laki dalam ruang publik dan ruang domestik,  stratanya lebih tinggi jika dibandingkan perempuan. Hal ini didukung pendapat kebanyakan ahli tafsir, yang menarasikan hal superioritas laki-laki secara mutlak. Sebab superioritas laki-laki ini adalah penciptaan Allah pada manusia, sehingga tidak akan pernah berubah.

Pemahaman seperti ini banyak dikemukan para ulama tafsir terpopuler.  Sebut saja misalnya al-Razi dalam Tasir Al Kabir Juz X, halaman 88, menyatakan kelebihan laki-laki dibanding perempuan ada dalam 2 hal, yakni ilmu pengetahuan dan kekuatan. dalam konteks ini laki-laki mengungguli perempuan dalam akal dan kekuatan, dan untuk pekerjaan yang keras tentu laki-laki lebih dominan.

Dalam kitab Islam Agama Ramah Perempuan, KH Husein Muhammad mengumpulkan para penafsir klasik yang menampilkan bahwa laki-laki lebih superioritas di banding perempuan. Imam Ibnu Jarir Thabari, ibnu Katsir, dan Imam Zamaksyari mengemukan pandangan yang yang sama terhadap makna ayat ini, bahwa laki-laki adalah makhluk superior dan perempuan inferior, disebabkan keunggulan dalam pengetahuan (akal) dan kodrat (kekuatan fisik). Kendati dengan dengan redaksi berbeda, tetapi dengan makna dan tujuan yang sama, bahwa superioritas laki-laki di banding perempuan, merupakan kodrat dan fitrah dari Tuhan.

Memandang persoalan ini, Buya Husein Muhammad, menilai superioritas laki-laki di banding perempuan, dalam konteks dewasa ini tidak dapat lagi dipertahankan sebagai sesuatu yang bersifat mutlak. Artinya, tidak setiap laki-laki lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan perempuan. Buktinya, saat ini banyak perempuan yang menduduki jabatan strategis seperti COE dan Direktur perusahaan besar, pejabat negara, anggota DPR, dan pejabat pemerintahan.

Fakta ini merupakan keniscayaan yang tak bisa terelakkan dan suatu keniscayaan yang tak bisa dihindari. Zaman tengah berubah, dan mengarah menuju transformasi global. Hal-hal yang dulunya dianggap tidak bisa dikerjakan oleh perempuan, ternyata saat ini perempuan mampu melakukannya dengan baik.

Artinya, argumen dasar superioritas laki-laki dibanding perempuan bukan sesuatu yang bersifat mutlak, dan tidak berlaku sepanjang masa. Akan tetapi hal itu merupakan suatu produk dari sebuah proses sejarah, yakni sebuah proses yang berkembang dan terus bergerak maju dari nomaden menuju berkehidupan yang modern dan rasional.

Dengan demikian, tafsir surat al-Nisa ayat 34 seyogianya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat sosiologis dan kontekstual, sebab menunjuk pada persoalan partikular. Posisi perempuan yang ditempatkan dalam posisi jauh dibanding laki-laki, sebenarnya lahir dan berkembang dari budaya dan peradaban patriarki. Dalam kondisi yang demikian, mungkin bisa jadi budaya tersebut tepat, sepanjang dapat menimbulkan maslahat.

Menurut Buya Husein, ayat tersebut datang dalam bentuk narasi khabar (berita), yang dalam ushul fikih hanya sebatas memberikan kabar, tidak  mengindikasikan perintah agama. Lebih lanjut, dari segi asbabun nuzul, ayat ini datang untuk memberikan kesempatan pada Habibah binti Zaid yang telah dipukul oleh suaminya untuk membalas (qishas). Artinya, penafsiran ayat bahwa kepemimpinan hanya miliki pria tidak perempuan, sesungguhnya hanya merupakan interpretasi yang sarat dengan muatan sosio-politik.

Jika penafsiran yang dirujuk pada penerapan surat al-Nisa ayat 34 bersifat sosio-politik, maka terbuka luas kemungkinan untuk menafsirkan ulang dan proses perubahan. Dengan istilah lain, menempatkan posisi perempuan sebagai sub ordinat laki-laki dalam konteks zaman ini, maka akan terbuka kemungkinan terjadi perubahan, mengingat format budaya dan peradaban modern tengah berubah dan bergeser.

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja