Supaya Tidak Dirugikan, Aturan Ini Penting Dipelajari Bagi Pekerja Perempuan

Supaya Tidak Dirugikan, Aturan Ini Penting Dipelajari Bagi Pekerja Perempuan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 jumlah pekerja perempuan di Indonesia sebanyak 39,52% atau 51,79 juta orang. Angka tersebut bertambah sekitar 1,09 juta orang jika dibandingkan dengan tahun 2020 lalu yakni sekitar 50,7 juta orang pekerja perempuan.

Supaya Tidak Dirugikan, Aturan Ini Penting Dipelajari Bagi Pekerja Perempuan
Ilustrasi perempuan bekerja (Freepik)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 jumlah pekerja perempuan di Indonesia sebanyak 39,52% atau 51,79 juta orang. Angka tersebut bertambah sekitar 1,09 juta orang jika dibandingkan dengan tahun 2020 lalu yakni sekitar 50,7 juta orang pekerja perempuan.

Menurut Katadata.co.id, pada  2021, sebanyak 28,6% pekerja perempuan di Indonesia merupakan tenaga usaha penjualan. Kemudian pekerja perempuan di bidang pertanian, kebun, ternak, ikan, hutan, dan perburuan mencapai 24,38%. Adapun perempuan yang bekerja sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan, dan pekerja kasar sebanyak 20,51%. Sedangkan dalam bidang tenaga profesional, teknisi dan tenaga sebanyak 10,48%. Adapun pekerja perempuan yang ada di posisi tenaga usaha jasa sebesar 8,65%.

Berangkat dari data di atas, angka pekerja perempuan di Indonesia terbilang cukup besar. Sebagai pekerja, perempuan harus dilindungi hak-haknya. Pasalnya, hak pekerja perempuan telah dijamin dalam hak asasi manusia. Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diproklamirkan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, setiap orang berhak atas hak-hak asasi dan kebebasan, yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menjadi dasar penghapusan segala bentuk diskriminasi pada perempuan.

Selanjutnya konfrensi HAM PBB di Wina, Austria  tahun 1993, Kembali ditegaskan hak-hak perempuan. Dalam Konfrensi Wina dijelaskan bahwa hak asasi perempuan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (women’s rights are human rights). Salah satu poin hak asasi perempuan adalah penegasan bahwa perempuan dapat berpartisipasi dan setara dalam bidang politik, sosial, ekonomi, sipil, budaya, nasional, dan internasional. Serta hak dalam penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.

Sementara itu dalam konstitusi, hak persamaan pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dijamin dalam UndangUndang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D ayat (2) menegaskan, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja, baik dalam hal jenis pekerjaan, penempatan jabatan dalam bekerja, maupun pemberian upah

Konstitusi tersebut menjelaskan bahwa pekerja perempuan maupun pekerja pria tak boleh dibeda-bedakan. Keduanya sama-sama memiliki hak dan kesempatan yang sama di bidang ketenagakerjaan, ekonomi, politik, sosial, dan pengetahuan. Lebih lanjut, perundang-undangan sudah diatur juga hak-hak pekerja perempuan. Hal itu sebagaimana dalam Undang Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan UU tersebut terdapat pelbagai hal yang menjadi hak pekerja perempuan. Pertama, pekerja perempuan berhak mendapatkan cuti haid.  Hal ini sesuai UU No. 13 tahun 2003 pada pasal 81, yang berbunyi bahwa pekerja dan buruh perempuan berhak mendapatkan cuti tidak masuk kerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.

Dengan demikian, pekerja perempuan diperkenan untuk melaporkan jika dalam keadaan sakit ketika haid.  Pasalnya, banyak sekali perempuan yang mengalami kesakitan dalam masa hari pertama dan kedua haid. Lebih jauh lagi, biasanya kesakitan pada hari pertama dan kedua haid akan membuat aktivis perempuaan terganggu, bahkan kadang tak mampu bekerja. Dalam keadaan cuti haid, pengusaha tidak diperkenankan untuk memotong gaji karyawan tersebut.

Kedua, hak selanjutnya adalah cuti melahirkan. Ini merupakan hak pekerja perempuan yang sudah berumah tangga dan dalam keadaan hami besar.  Ketika istri melahirkan, ia mendapatkan jaminan hak cuti dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU ini, ibu hamil mendapatkan hak cuti hamil 1,5 bulan dan cuti melahirkan 1,5 bulan. Artinya total yang diberikan undang-undang adalah cuti selama 3 bulan. Terkait gaji, dalam hak cuti tersebut gaji akan dibayarkan penuh oleh pemberi pekerjaan.

Terbaru ada Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Dalam RUU tersebut, direncanakan perubahan masa cuti hamil bagi ibu pekerja. Dalam UU Ketenagakerjaan cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja hanya 3 bulan, dalam RUU KIA diperbanyak menjadi 6 bulan. Terkait gaji, ada peraturan baru dalam RUU KIA,  gaji akan dibayarkan secara penuh pada 3 bulan pertama, sedangkan untuk bulan-bulan selanjutnya hanya akan dibayarkan 75% saja.

Ketiga, pekerja perempuan juga mendapatkan hal terkait waktu dan fasilitas khusus Jam kerja. Hal itu diatur dalam pasal 76 UU nomor 3 tahun 2003. Poin pertama, bahwa perempuan di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Begitupun dengan pekerja hamil dilarang dipekerjakan dalam jam tersebut, jika ada keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungan.

Sedangkan untuk pekerja perempuan atau buruh perempuan, yang bertugas pukul 23.00 – 07.00 wajib mendapatkan makanan dan minuman bergizi serta dilindungi dari kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja oleh pengusaha. Untuk memudahkan pekerja perempuan pulang sampai ke rumah, maka pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi  yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Keempat, pekerja perempuan juga memiliki hak cuti keguguran. Perempuan yang mengalami keguguran dalam UU No.13 tahun 2003 memeliki hak cuti melahirkan selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan  dokter kandungan atau bidan. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 82 ayat (2) bahwa pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan  berhak memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan  dokter kandungan atau bidan yang menangani kasus keguguran tersebut.

Kelima, Pekerja perempuan juga mempunyai hak menyusui bagi anaknya. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, khusus pada Pasal 83 menjelaskan bahwa Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya” untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

Saat tengah menyusui dan cuti kerja, penguasaha dilarang untuk melakukan PHK pada pekerja perempuan. Hal itu tertera dalam Pasal 153 ayat (1) bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan menyusui bayinya.

Pada sisi lain, Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, mengamanatkan bahwa ibu menyusui, seyogianya mendapatkan sarana dan fasilitas aman untuk menyusui anaknya. Dalam Pasal 128 ayat (2) dijelaskan Ibu mendapatkan jaminan, bahwa Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Aturan ini penting diketahui oleh setiap perempuan yang sedang bekerja, ataupun akan bekerja. Supaya, mereka mendapat perlakuan yang adil di tempat kerja, dan tidak dirugikan oleh aturan yang berlaku di tempat kerja.

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja