Penghujung tahun 2019 jagat publik Indonesia digegerkan dengan terbitnya satu buku fenomenal “Menjerat Gus Dur” karya anak muda bernama Virdika Rizky Utama. Buku yang belum sempat dilaunching tapi sudah ludes di pasaran tersebut mengungkap fakta-fakta sejarah yang otentik tentang konspirasi politik yang “menjijikan” dalam proses pemakzulan Gus Dur dari tampuk kursi Presiden RI.
Bertepatan dengan haul Gus Dur yang ke-10, Mas Virdi, sapaan saya kepadanya, seolah memberikan semangat dan kekuatan baru, baik untuk seluruh pecinta Gus Dur maupun publik pada umumnya yang penasaran akan kebenaran sejarah dalam proses pemakzulan Gus Dur yang selama ini masih diselimuti ‘awan hitam’ ketidakpastian.
Kekuatan dan semangat tersebut bukan bertujuan untuk menghakimi mereka yang terlibat dalam proses persekongkolan tersebut apalagi “balas dendam”, melainkan kekuatan dan semangat untuk terus mengkampanyekan dan memupuk nilai-nilai Gus Dur yang sangat arif dan bijak dalam mengarungi kehidupan.
Sebagaimana pesan yang disampaikan oleh putri sulung Gus Dur, Mbak Alissa Wahid saat mengomentari buku “Menjerat Gus Dur” ini bahwa “Pengungkapan data-data sejarah perlu terus menerus diupayakan. Bukan untuk membalaskan dendam, melainkan sebagai pelajaran agar kita tak selalu diwarisi ‘awan gelap’ masa lalu dan agar catatan sejarah dapat diluruskan.”Ada beberapa hal yang sangat menarik dari buku ini yang menyebabkan buku ini menjadi fenomenal dan bermutu.
Pertama, yaitu lampiran yang berupa dokumen otentik proses pemakzulan Gus Dur, disebut dengan Skenario Semut Merah (SEMER) yang ditulis oleh Fuad Bawazier kepada Akbar Tanjung. Dokumen ini melibatkan beberapa nama besar tokoh nasional, dengan tugasnya masing-masing. Sehingga buku ini tidak hanya sebatas teori dan artikulasi penulis, sebagaimana catatan pelengseran Gus Dur sebelum-sebelumnya, melainkan buku ini menjadi uraian fakta dengan hadirnya dokumen otentik yang super rahasia tersebut.
Kedua, dari hasil obrolan saya dengan penulis beberapa waktu lalu, bahwa penulis bukanlah orang yang terlibat dan aktif dalam struktur Nahdlatul Ulama (NU) baik di IPNU, PMII, Anshor atau lainnya, bahkan Mas Virdi dengan kerendahan hatinya juga tidak berani mengaku kalau beliau adalah Nahdliyin (sebutan untuk anggota NU). Penulis hanya orang yang memiliki ketertarikan terhadap ide-ide dan gagasan seorang Gus Dur karena sebelum menulis “Menjerat Gus Dur”, penulis juga menulis gagasan Gus Dur tentang Forum Demokrasi (Fordem).
Hal ini setidaknya mengonfirmasi kepada publik bahwa kandungan dan subtansi buku ini adalah sangat objektif dan fair karena ditulis dengan tanpa adanya sentimen kepentingan golongan dan tujuan penulis juga bukan karena dorongan ego kelompok, melainkan murni kerja-kerja intelektual dan literasi. Sehingga tidak sedikit nahdliyin atau pecinta Gus Dur yang menganggap bahwa penulis adalah washilah dari tuhan untuk membuktikan ungkapan Gus Dur yang terkenal yaitu “nanti sejarah yang akan membuktikan”.
Namun akan menjadi lain ceritanya andai penulis adalah orang yang lahir dan aktif dikalangan struktur NU. Karena bisa jadi buku ini akan dianggap sebagai agitasi politis oleh publik (khususnya Nahdliyin) dalam mengungkap sejarah lalu dengan tujuan untuk mencari pembenaran, lebih jauh sebagai media untuk balas dendam.
Ketiga, setelah buku ini terbit tidak ada satupun nama-nama yang disebut memberikan bantahan secara kongkrit dengan data dan menepis semua tudingan-tudingan yang termaktub dalam dokumen rahasia tersebut. Semuanya terkesan diam seolah mengiyakan. Kecuali sependek yang saya tahu hanya Fuad Bawazier dan Azyumardi Azra yang melakukan sanggahan terhadap isi buku tersebut.
Fuad menyebut buku dan penulisnya adalah sampah. “Biarkan (buku) sampah dibaca sampah, barang sampah, penulisnya sampah. Bagi saya begitu saja karena tidak memenuhi kadar. Gak ada yang bisa memperkuat satu pun bahwa ada dokumen yang seperti itu,” sebutnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Justru dengan pernyataan Fuad yang seperti itu, semakin meyakinkan publik bahwa isi dalam dokumen tersebut adalah benar dan dialah salah satu dari sekian banyak aktor pelengseran Gus Dur. Kecuali, Fuad memberikan klarifikasi yang berbasis data dan bisa dipertanggungjawabkan.
Pesan buku Menjerat Gus Dur di sini.
Sedangkan Azyumardi Azra menyanggah bahwa dia terlibat dalam operasi tersebut. Namanya disebut dalam dokumen tersebut sebagai orang yang melakukan penggiringan opini publik dengan narasi-narasi yang mengarah pada pemojokan sosok Gus Dur sebagai Presiden RI yang gagal. Guru Besar Sejarah Peradaban Islam UIN Jakarta itu berdalih bahwa ia tidak mungkin terlibat, karena Gus dur sangat dekat dengan kampus UIN Jakarta yang pada saat itu Azyumardi adalah rektornya, bahkan Gus Dur sempat menjadi pembimbing untuk mahasiswa UIN.
Alasan yang disampaikan oleh mantan Rektor UIN Jakarta yang memperoleh titel Commander of the Order of British Empire dari Kerajaan Inggris tersebut sama sekali tidak mengafirmasi kalau dia tidak terlibat, karena hanya sebatas alasan argumentatif tanpa disertai data atau dokumen yang mendukung.
Lain halnya dengan Priyo Budi Santoso, nama yang disebut juga dalam dokumen tersebut mengakui bahwa keterlibatannya dalam konspirasi pemakzulan Gus Dur merupakan reaksi atas ketidakadaan pilihan. Hal itu dilakukan usai Gus Dur mengeluarkan dekrit. “Kalau masuk masalah pribadi, saya termasuk di menit-menit terakhir (Gus Dur), saya ikut ngritik Gus Dur. Tapi kalau suruh milih, tidak setuju untuk dilengserkan. Tapi, itu semua pelatuknya adalah dekrit. Nggak ada pilihan lain,” kata Priyo saat diskusi buku “Menjerat Gus Dur” di kantor IDN Times, Rabu (7/1).
Keempat, hal lain yang menarik adalah diksi “HMI Conection”. Munculnya istilah HMI connection mungkin didasarkan karena pada saat itu ketua DPR (Akbar Tandjung) dan ketua MPR (Amien Rais) merupkan mantan kader HMI yang saat itu getol menyuarakan agar Gus Dur segera mengundurkan diri dari kursi jabatan presiden.
Selain itu nama lain yang disebut dalam dokumen tersebut di antaranya adalah nama Ketua Umum PB HMI, Kanda Fakhruddin. Ia disebut mengordinir seluruh BEM PTN dan PTS untuk menuntut Gus Dur mundur.
Istilah tersebut adalah sebutan Gus Dur terhadap sejumlah orang-orang yang dideteksi merongrong kekuasaannya. Tentu hal ini membuat HMI Conection (baik HMI muda maupun HMI tua) meradang. Terlebih ketika Gus Dur memecat sejumhlah menteri yang salah satunya adalah Jusuf Kalla dari pos kementerian perindustrian.
Memang rekam jejak hubungan Gus Dur dengan HMI Conection terbilang “kurang harmonis” dalam catatan sejarah. Sebut saja ketika Majalah Panji Masyarakat No. 790 tahun XXXV secara garis besar memuat bahwa “Gus Dur Tuding KAHMI Selalu Pelaku KKN” hal ini didasarkan kasus Eddy Tansil. Perseteruan dengan ICMI yang salah satu creatornya Maduddin Abdul Rahim adalah mantan kader HMI.
Dalam perjalanan politik di negara kita tidak ada yang selamanya bersama, semua masih hanya soal kepentingan akan kekuasaan. Mari kita lihat hari ini, mereka yang dulunya berseberangan, saat ini bisa bergandengan tangan, begitupun sebaliknya. Termasuk beberapa tokoh-tokoh nasional yang disebutkan dalam dokumen pelengseran Gus Dur, hari ini begitu dekat dengan barisan pendukung Gus Dur.
Selain itu, kita sebagai masyarakat yang beradab dan terhormat sekaligus pecinta Gus Dur sudah selayaknya mengikuti teladan yang diberikan oleh Gus Dur. Bahwa kita tidak disarankan untuk membenci apalagi menghardik mereka-mereka yang terlibat, cukup kita maafkan semuanya namun jangan kita lupakan sebagai pelajaran berharga dimasa yang akan datang, sebagaimana istilah Gus Dur “maafkan iya, tapi lupa tidak”. Ingat, bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri. (AN)
Wallahu a’lam.