Bermula dari desus-desus dan sedikit kekaguman—ia bisa berbahasa Prancis lewat video viral bersama Panglima TNI—diteruskan dengan pencarian digital netizen dan akhirnya jadi polemik. Begitulah seorang blasteran Prancis-Indonesia, Enzo Allie, mencuat dan dikenal publik hingga menimbulkan diskusi yang cukup pelik: Apakah Enzo, yang diduga diduga simpatisan HTI itu, boleh menjadi anggota TNI? Apakah TNI kecolongan dengan memasukkan eks-HTI yang dilarang dan secara ideologis berseberangan dengan pancasila menjadi prajurit?
Menjawab pertanyaan ini memang tidak semudah membayar belanjaan di aplikasi online. Secara institusi, organisasi Hizbut Tahrir memang sudah dilarang, tapi secara ideologi dan wacana memang masih ada di tengah masyarakat dan fakta itu tidak bisa kita anggap sebelah mata. Dan, Enzo Allie dianggap telah memilih ideologi yang berseberangan dengan TNI sebagai lembaga negara. Untuk itu, Enzo dianggap tidak layak, bahkan layak untuk ‘dibina’, sebuah istilah yang cukup menakutkan jika berurusan dengan militer.
Ada yang mengatakan, keputusan untuk tidak mengeluarkan Enzo Allie dari Akademi Militer ini seperti memelihara anak ular dalam rumah. Tentu saja, memelihara ular ini tidak sesederhana yang diperbincangkan. Bahkan, katanya, membayangkan institusi sebesar TNI kecolongan dan tanpa screening tentu saja lebih menakutkan daripada sekadar memelihara ular atau sesuatu yang berbahaya lainnya.
“Kami memutuskan untuk mempertahankan Enzo dan semua taruna Akademi Militer yang kami terima beberapa waktu lalu,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Andika Perkasa.
Menurut Andika, Enzo telah melalui beberapa tahap untuk sah menjadi calon perwira di akademi. Termasuk tes moderasi beragama dengan hasil cukup memuaskan dan layak untuk menuju jenjang selanjutnya. Terkait keluarga dan jejak digital dirinya yang dipersoalkan publik, pihak TNI AD tentu tidak bisa menafikan dan akan terus mempelajari. Katanya, yang penting apakah Enzo terpengaruh paham radikal apa tidak? Selama ini, pihaknya akan terus mengawasi hal tersebut.
Kita tentu saja bisa curiga dan sinis terhadap keputusan TNI ini dengan pengajuan pertanyaan, misal, bagaimana memang jika Enzo benar HTI dan sengaja disusupkan, bagaimana cara screening dan tes TNI, lalu bagaimana pendapat mereka tentang 3 % anggota TNI yang dianggap tersusui paham radikalisme seperti diucapkan Menteri Pertahanan Ryamizard Riyacudu?
Satu hal yang pasti, sebagai warga negara, Enzo Allie tidak boleh menjadi korban diskriminasi. Ia berhak untuk jadi apa saja, termasuk menjadi prajurit yang dicita-citakannya.
Jika diskriminasi ini terus dilanjutkan, bukan tidak mungkin nantinya kita akan dengan mudah memperlakukan mereka yang berbeda ideologi maupun sikap politik sebagai pesakitan. Negara harus menjamin kebebasan Enzo dan publik sudah selayaknya tidak merisak karena pilihannya tersebut.
Kita boleh tidak sepakat terhadap HTI dan konsep ideologi khilafah yang mereka usung, tapi memusuhi orangnya merupakan sebuah kesalahan. Kita tentu saja telah belajar dari pengalaman mengerikan peristiwa 1965 ketika PKI sebagai organisasi dibubarkan dan efek bola salju pembubaran ini berakibat sejarah pembunuhan besar-besaran hanya karena perbedaan ideologi dan politik—dan tentu dibalut dengan agama dan lain-lain. Banyak sekali riset tentang ini dan kita tidak ingin mengulanginya, bukan?
Untuk itulah, saya cenderung sepakat untuk terus membiarkan saja Enzo berada dalam naungan militer. Tentu saja dengan catatan, bahwa Enzo tidak boleh didiskriminasi dan biarkan dia mengikuti pendidikan militer laiknya pemuda biasa mengikuti proses menjadi perwira ini. Biarkan ia belajar dan terus menempa diri untuk menjadi seperti apa yang ia inginkan.
Toh, kalau nanti ia hendak keluar, ya biarkan saja. Kalau terbukti ia ‘masih’ memilih HTI dibanding TNI, ya tinggal diatur sebagaimana mestinya dalam undang-undang dan peraturan dalam akademi.
Kasus Enzo Allie ini mengingatkan saya tentang bentuk-bentuk diskriminasi lain yang kerap menimpa pemuda-pemuda lain dari Ahmadiyah, Kepercayaan, Gafatar dan lain-lain. Sebagai warga negara, mereka tentu saja berhak untuk melakukan apa saja, termasuk memilih ajaran agama, organisasi maupun hal lainnya. Konstitusi kita menyebutkan bahwa hak sebagai warga sama belaka.
Dan, kasus Enzo ini telah mengingatkan kita semua bahwa menjadi adil memang tidak mudah. Sudahlah, HTI sudah bubar dan terkait ideologi yang masih ada dalam masyarakat, tugas kita membuat narasi tandingan. Ideologi lawan ideologi, wacana lawan dengan wacana. Kira-kira itu dan Anda boleh tidak sepakat dengan pendapat ini, bukan begitu bukan?