Walaupun Sering Dilarang, Mengapa Ceramah Felix Siauw Diminati Kelas Menengah Muslim?

Walaupun Sering Dilarang, Mengapa Ceramah Felix Siauw Diminati Kelas Menengah Muslim?

Beberapa hari lalu, saya menjumpai perbincangan menarik di jagat Twitter, yaitu masjid di salah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengundang Felix Siauw, salah satu ustadz populer, secara rutin untuk mengisi ceramah di sana

Walaupun Sering Dilarang, Mengapa Ceramah Felix Siauw Diminati Kelas Menengah Muslim?

Beberapa hari lalu, saya menjumpai perbincangan menarik di jagat Twitter, yaitu masjid di salah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengundang Felix Siauw, salah satu ustadz populer, secara rutin untuk mengisi ceramah di sana. Menariknya, pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) langsung mengumumkan pembatalan dan memberikan hukuman pada pihak yang bertanggungjawab atas kegiatan tersebut, pasca dikritik keras oleh warganet.

Netizen juga mengkritik PLN telah gagal mewujudkan komitmen dari Kementerian BUMN, terkait pembersihan masjid-masjid di lingkungan mereka dari ideologi ekstrimis atau Islamisme. Permasalahan ini disebut telah terjadi beberapa kali dan sepertinya masih sulit untuk diatasi. Apa yang terjadi sebenarnya?

Islamisme, Intoleran, dan Kelas Menengah Muslim

Saya melihat permasalahan penceramah intoleran di masjid-masjid BUMN sering hanya terfokus pada sosok belaka, seperti Felix Siauw. Lalu, kita mengambil jalan pintas dengan pelarangan. Kita memang tidak mentolerir semua hal terkait intoleransi, namun melarang tanpa mempelajari permasalahan hanya meninggalkan kesan tindakan otoritarian.

Sebaiknya kita mendalami mengapa kegiatan ceramah di banyak BUMN bisa mengundang penceramah macam Felix Siauw. Sebab, pelarangan tanpa belajar hanya tindakan menyederhanakan permasalahan. Sebagian besar masjid-masjid di BUMN berada di kota, diisi jemaah yang merupakan masyarakat perkotaan, dan struktur pengurusnya pun berasal dari kelas sosial menengah ke atas.

Saya setuju dengan apa yang disebutkan oleh Hew Wei Weng, akademisi asal Malaysia, dalam artikelnya berjudul Middle Class Competition and Islamic Populism menegaskan bahwa kelas menengah tidak hanya terbatas pada status ekonomi saja. Menurut Weng, kelas menengah juga merujuk pada pola konsumsi, termasuk agama.

Oleh sebab itu, kita perlu memahami bagaimana kelas menengah dan masyarakat urban muslim melihat agama. Penelitian Alvara menyimpulkan bahwa sebagian besar kedua entitas tersebut memiliki fondasi keagamaan yang masih rapuh, namun memiliki semangat keberagamaan yang sangat kuat.

Bahkan, di sisi lain, Noorhaidi Hasan, akademisi asal Yogyakarta, menyebutkan sebagian besar mereka juga melihat diri mereka mengalami “kekosongan spiritual.” Kondisi inilah yang rentan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang mengusung Islamisme, macam HTI (organisasi yang sering disebut sebagai afiliasi Felix), atau kelompok yang menggaungkan tindakan atau sikap intoleran kepada yang liyan.

Akan tetapi, gambaran kita akan Islamisme tidak boleh berhenti hanya terbatas pada ide milik Bassam Tibi saja. Menurutnya, kelompok Islamisme dicitra sebagai penggunaan agama untuk tujuan-tujuan politik. Walaupun kita juga tidak boleh sepenuhnya mengabaikan potensi tersebut. Sebab, Islamisme hadir dari tafsir politik atas agama Islam. Dengan kata lain, Islamisme tidaklah didasarkan pada keimanan atau ajaran agama, namun lebih banyak diarahkan pada ideologi atas agama di ranah politik.

Sejalan dengan Weng, Ariel Heryanto, peneliti asal Australia, mengungkapkan bahwa kelas menengah muslim sejak tahun 1980-an mulai mengalami pergeseran penting. Dalam artikel berjudul Upgraded Piety and Pleasure: The New Middle Class and Islam in Indonesian Popular Culture, Ariel dengan tegas menggambarkan bahwa kelas menengah muslim adalah aktor utama dalam menempatkan Islam di garis depan dalam produksi dan konsumsi budaya populer.

Islam tidak lagi soal ritual atau tafsiran politik. Islam mulai dekat dengan kekayaan, ikon-ikon modernitas, gaya hidup perkotaan, atau budaya populer. Sebagian besar pengikut atau penggemar Felix Siauw adalah masyarakat urban atau kelompok kelas menengah, sebagaimana disebutkan di atas.

Saya melihat Felix sebenarnya “dipaksa” beradaptasi dengan kondisi audiensnya. Pesan-pesan Islamisme atau Islam politik yang dulu bisa kita jumpai sangat kental di ceramah-ceramah Felix Siauw beberapa tahun terakhir, sepertinya tidak lagi muncul secara gamblang. Sebab, jika kita amati dalam beberapa tahun terakhir, Felix juga mulai akrab dengan hal-hal berbau gaya hidup, kehidupan borjuis, hingga budaya populer.

Lihat saja berbagai model atau gerakan dakwah yang digeluti Felix dkk. dalam beberapa tahun terakhir ini. Adaptasi Felix ini tentu tidak hadir tanpa ada kelindan kelas menengah muslim atau masyarakat muslim urban sebagai audiens utama atau target dakwah mereka, dengan perkembangan teknologi media dan pergeseran budaya.

Sehingga, narasi intoleransi yang disematkan pada kelompok Felix dkk. mungkin akan semakin sulit ditemukan, walaupun bukan berarti tidak ada sama sekali. Sebab, narasi tersebut tidak akan disampai secara gamblang, dan ia akan diselipkan secara

Ceramah Felix Siauw, Selera Dakwah dan Masyarakat Kota

Greg Fealy, akademisi asal Australia, menyebutkan bahwa peran agama dalam dunia global kontemporer berubah dengan cepat. Fealy mengatakan bahwa kelahiran teknologi baru dan arus informasi yang dipercepat, dikombinasikan dengan urbanisasi dan meningkatnya kemakmuran, telah memunculkan bentuk-bentuk baru ekspresi keagamaan, baik di Indonesia maupun di negara lain.

Salah satu ekspresi yang sangat mempengaruhi dinamika keislaman hari ini adalah pergeseran selera dakwah Islam di masyarakat muslim. Selera dakwah Islam di masyarakat perkotaan tidaklah tunggal. Itu sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat pendidikan, pengalaman, lingkungan sosial, dan gaya hidup.

Sebab, banyak dari perilaku keagamaan telah mengalami perubahan dramatis di kota-kota sebagai akibat dari globalisasi dan modernisasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, Hasan menyebutkan bahwa kehidupan di sebagian masyarakat perkotaan dan kelas menengah muslim telah mengalami kekosongan spiritualitas, atau dalam bahasa Bryan Turner disebut dengan ‘destabilisasi identitas agama.’

Kondisi tersebut, kemudian, memaksa masyarakat perkotaan dan kelas menengah muslim urban mulai mencari sumber-sumber baru untuk panduan moral dan bantuan melalui agama. Akan tetapi, menurut Fealy, metode mereka terhadap pengetahuan agama tidak pasif dengan mendapatkannya dari lembaga-lembaga otoritatif, seperti masjid, majelis taklim, atau sekolah Islam yang sudah mapan.

Kedua kelompok sosial tersebut lebih cenderung mengambil peran sebagai klien yang secara bebas memilih dari beragam sumber yang tersedia di pasar, dalam hal ini pasar agama. Pilihan mereka di pasar agama cenderung bebas dan tersebar di berbagai platform dan media. Sehingga, selera mereka menjadi sangat variatif, bahkan cenderung memadukan beragam aliran.

Selain itu, faktor-faktor seperti aksesibilitas dan relevansi informasi dakwah, serta gaya bahasa dan cara penyampaian dakwah juga mempengaruhi selera dakwah Islam di masyarakat perkotaan. Sehingga, pencarian dakwah yang dirasa cocok dengan selera mereka semakin mudah.

Di sisi lain, kelompok paling gigih dan komprehensif “melayani” selera dakwah di kelompok kelas menengah dan masyarakat muslim urban, adalah Felix dkk. Tidak saja hadir di berbagai platform media sosial, mereka juga cukup rajin beradaptasi dengan model dan selera dakwah yang diinginkan oleh audiens mereka tersebut.

Maka, wajar jika preferensi atau pilihan pendakwah di masjid-masjid BUMN adalah kelompok Felix dkk. Sebab, lingkaran dan imajinasi dakwah yang ada dalam benak sebagian besar kelompok kelas menengah dan masyarakat muslim urban, yang notabene pegawai cum pengurus masjid tersebut, hanya ada Felix dkk.

Tuduhan akan ceramah intoleransi yang berujung pada pelarangan memang langkah preventif yang paling mudah dilakukan. Sebab, pergeseran selera dakwah Islam di masyarakat muslim urban tidak bisa dilakukan “hanya dengan waktu semalam.” Ada banyak hal yang perlu dilakukan oleh

Kewaspadaan kita memang beralasan. Lihat saja bagaimana Aksi Bela Islam 212. Kita akan melihat bagaimana kelas menengah muslim menjadi bagian dari gerakan Islam Politik, tanpa ada yang bisa memperkirakan sebelumnya. Persilangan atau persinggungan ini diulas dengan sangat baik oleh peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Indonesia), Wahyudi Akmaliyah, yang menegaskan bahwa kelas menengah muslim tidaklah imun, bahkan rentan, disusupi nilai-nilai Islam politik dan Islamisme dari para pendakwah yang berada di lingkaran mereka.

Memang, kita perlu hati-hati dengan wacana intoleransi di sekitar kita, dalam hal ini salah satunya yakni masjid di lingkungan BUMN. Akan tetapi, pelarangan serampangan tanpa kita memahami kondisi di kasus tersebut bisa malah menjadikan kontraproduktif bagi Islam yang ramah dan damai sedang dibangun dan dipertahankan hingga hari ini. Sebagaimana dijelaskan di atas, permasalahan ini sangat kompleks dan berkelindan dengan banyak hal.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin