Meski bertema Indonesia Menang, pidato Prabowo kemarin pada dasarnya adalah menjual kekalahan. Digambarkan kita sekarang berada dalam suatu krisis yang tak tertanggungkan. Namun benarkah demikian?
Tidak sulit membuktikan sebagian besar pidato tersebut hanya bualan. Bagaimana kita bisa menerima pernyataan Prabowo yang mengatakan saat ini pendapatan juru parkir lebih besar daripada dokter? Jangan-jangan dia tidak bisa membedakan juru parkir dan mafia parkir? Lagi pula intonasinya terkesan merendahkan, seolah-olah juru parkir kurang terhormat daripada dokter.
Tidak ada angka yang disampaikan. Semuanya adalah dongeng yang diulang-ulang. Untungnya suara Prabowo yang keras dan berapi-api membuat pidato selama 1 jam 20 menit itu menjadi agak tertolong, setidaknya di mata pendukungnya yang mencoba terus bertahan sambil sorak sorai.
Tetapi apa yang diinginkan oleh Prabowo telah dilakukan oleh Jokowi. Reorientasi pembangunan yang dikatakannya justru merupakan agenda utama pemerintahan Jokowi pada periode pertama. Bahkan bukan sekadar agenda, Jokowi telah merealisasikan pembangunan infrastruktur yang massif di mana-mana.
Jadi adakah hal baru dalam Pidato Prabowo kemarin?
Tidak ada! Visi dan misi Indonesia Menang tidak lain merupakan visi dan misi Prabowo sendiri sebagai pribadi. Apa yang digambarkannya sebagai suatu krisis adalah cerita tentang kekalahannya bertarung di ajang elektoral berkali-kali.
Betul pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis yang luar biasa, tetapi bukankah itu akibat dari salah urus pemerintahan Soeharto yang dalam pidato kemarin dipuji-pujinya? Lagi pula pujiannya terhadap Soeharto terdengar ironis, sebab bukankah Siti Hediati Hariyadi Soeharto yang datang di acara kemarin itu adalah mantan istrinya sendiri yang 21 tahun lalu menceraikannya?
Buruk muka cermin dibelah, kata pepatah.