Di banyak negeri Muslim, sebagian besar perempuan masih hidup tanpa kebebasan. Ini bukan mitos. Mereka bertaruh nyawa jika berani nekad menjalankan hak-hak sipilnya. Perempuan sepenuhnya dikuasai oleh ayahnya, saudara lelaki ayahnya, dan saudara-saudaranya yang lelaki. Patriarki-feodalistik yang keras masih dipraktekkan dengan sangat ketat. Jika perempuan dianggap membawa malu keluarganya atau komunitasnya, mereka bahkan boleh dibunuh. Kematian korban dianggap bisa memulihkan kehormatan keluarga atau komunitasnya.
Praktek membunuh perempuan karena tradisi patriarkis seperti itu masih berlaku lazim — di Mesir, Jordania, Lebanon, Syria, Pakistan, Yaman, Turki, kawasan Mediterania (Lybia, Marokko, Aljazir), dan negara-negara kawasan Teluk, termasuk Iran. Hukum hampir-hampir tak berlaku. Alasan pembunuhan sangat bervariasi, misalnya karena menolak kawin paksa, nekad memilih sendiri calon suaminya tanpa persetujuan orang-tua, dituduh berzina, dan alasan-alasan lain sejenisnya. Bentuk-bentuk penghukumannya pun juga mengerikan: dirajam, dilempar ke dalam jurang, dibakar payudaranya, dirusak wajahnya, disiram air-keras, dll.
Data PBB menyebutkan setiap tahun rata-rata terjadi 5.000 kasus pembunuhan terhadap perempuan karena alasan membawa malu keluarga.. Sebuah organisasi dunia untuk isu perlindungan terhadap perempuan mempunyai angka lebih tinggi, yakni rata-rata 20.000 kasus per tahun. Di kawasan Asia Tengah saja pada periode 2010-2014, terjadi 11.744 kasus pembunuhan seperti itu, dan tahun lalu hampir 1.000 kasus.
Sebuah film yang diproduksi tahun 2014, Honour Killling, kini sedang dinominasikan untuk memenangkan piala Oscar. Karena popularitas film ini, dan gelombang dukungan yang menyertai kampanye di baliknya, Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif, berjanji akan menghapus praktek kejahatan itu dan menegakkan perlindungan hukum terhadap korban dan calon korbannya.
*AE Priyono