3 Pelajaran Pasca Reshuffle Biar Tak Seperti Keledai yang Jatuh ke Lubang yang Sama

3 Pelajaran Pasca Reshuffle Biar Tak Seperti Keledai yang Jatuh ke Lubang yang Sama

Politik memang penuh kejutan. Tidak terbayang sebelumnya. Prabowo berkenan masuk ke gerbong pemerintah. Menjabat menteri pertahanan.  Menjadi tangan panjang pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tidak saja pendukungnya yang tercengang. Pendukung Jokowi juga tidak sedikit yang garuk-garuk kepala.

3 Pelajaran Pasca Reshuffle Biar Tak Seperti Keledai yang Jatuh ke Lubang yang Sama

Kamis, 21 Februari 2019 kumandang Perang Badar dipekikan. Di tengah itu, Bunda Neno Warisman membacakan puisi. Malam Munajat 212 gemuruh memanjatkan doa. Andai Tuhan tidak memberikan kemenangan kepada Prabowo-Sandi, Tuhan tidak akan ada yang menyembah lagi. Pilpres 2019 ditabuh laksana ajang peperangan. Dua kubu saling berhadapan. Kawan sudah terkobarkan. Lawan sudah jelas nampak di depan mata. Hidup mati dipertaruhkan. Tidak kurang. Tidak lebih.

Hari yang ditunggu telah tiba, 17 April 2019. Rakyat Indonesia dengan suka cita, namun berbalut was-was. Berbondong menuju TPS masing-masing. Di hari itu juga, setelah waktu pemungutan suara ditutup, rekapitulasi dilakukan. Hitung cepat (quick count) dari berbagai lembaga survei berpacu. Dua kubu masih optimis. Masing-masing merasa sebagai pemenang. Yakin diri mendapatkan mandat rakyat. Hingga akhirnya, 21 Mei 2019, KPU mengumumkan hasil pemilu. Ibarat perang tanding, ada pemenang. Adapula yang kalah. Tepatnya, 20 Oktober 2019, Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024 dilantik. Perang Badar memasuki babak baru.

Akrobat Politik

Politik memang penuh kejutan. Tidak terbayang sebelumnya. Prabowo berkenan masuk ke gerbong pemerintah. Menjabat menteri pertahanan.  Menjadi tangan panjang pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Tidak saja pendukungnya yang tercengang. Pendukung Jokowi juga tidak sedikit yang garuk-garuk kepala. Meskipun tentu, pendukung Prabowo kaget berbalut rasa kecewa. Tapi itulah realita politik. Tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Dalam pandangan sebagian pengamat, masuknya Prabowo adalah kunci stabilitas demokrasi presidensial. Jokowi sukses menjalankan tugasnya, menjadi juru rangkul. Menjamin stabilitas politik.

Realita ini berbeda dengan pembelahan sosial di akar rumput. Luka kubu-kubuan Pilpres 2019, tidak mudah disembuhkan. Framing dan labeling sudah terlalu tajam membelah. Kampret, cebong, kadrun. Toleran-intoleran. Antek PKI dan pengawal ulama. Singkatnya, masyarakat sudah terlanjur babak belur. Korban birahi elit politik dan agamawan yang pongah. Sama-sama silau dengan politik kekuasaan. Padahal, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.  Terpahat jelas dalam Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia.

Selang satu tahun, 23 Desember 2020, reshuffle pertama di kepemimpinan kedua Jokowi dilakukan.  Sandiaga Uno, pasangan Prabowo di Pilpres 2019 ikut masuk. Diamanahi menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Tuntas sudah Jokowi merangkul lawan tandingnya. Namun ternyata, tidak berhenti disitu. Reshuffle ketiga, 15 Juni 2022, PAN turut serta. Tidak tanggung-tanggung, Ketua Umum Zulkifli Hasan diangkat menjadi Menteri Perdagangan. Padahal, di Perang Badar 2019, PAN adalah penopang Koalisi Indonesia Adil Makmur. Barisan pengusung pasangan Prabowo-Sandi. Dari akrobat politik ini, pelajaran apa yang dapat dipetik masyarakat?

Tiga Pelajaran

Riset MERIT (Media and Religious Trends in Indonesia) yang dirilis oleh PPIM UIN Jakarta tahun 2021 menunjukan bahwa kompetisi elit politik berdampak pada polarisasi di media sosial. Perubahan narasi keagamaan dipengaruhi oleh kompetisi elit politik, bukan sebaliknya. Penggunaan isu agama untuk kepentingan politik berkontribusi bagi peningkatan narasi konservatif dan islamis di media sosial. Tidak jauh berbeda, data Drone Emprit, hingga April 2022, polarisasi akibat pemilu 2019 masih ada di media sosial, di antaranya adalah di Twitter. Setahun terakhir, istilah kampret di Twitter telah mendapatkan 92.398 retweet. Demikian juga istilah kadrun, cebong, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana kita menyikapinya?

Setidaknya, ada tiga pelajaran bagi rakyat. Pertama, masyarakat harus lebih kritis terhadap elit. Jangan mudah terprovokasi. Terlebih ketika elit telah menggunakan isu-isu agama dan ras. Ujungnya, yang menuai untung adalah elit. Kekuasaan hanya berkutat pada sirkulasi elit. Kenyataan ini menegaskan pandangan Robert Michels mengenai teori besi oligarki (iron law of oligarchy). Dalam bukunya “Political Parties” (1911), Michels menegaskan bahwa semua organisasi dan gerakan, pada akhirnya akan berujung pada keuntungan segelintir orang (oligarki). Secara bertahap, massa akan tersisih. Tersingkirkan.

Kedua, masyarakat harus menyadari bahwa kemajuan sistem politik Indonesia tidaklah dibangun berdasakan benturan identitas. Demokrasi dibangun di atas budaya saling menghormati pilihan politik. Bukan untuk saling menegasi. Bukan untuk saling cerca. Baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun verbal. Perbedaan menjadi modal sosial untuk adu program dan gagasan. Bukan untuk mengaduk-aduk emosi dan kebencian. Larry Diamond dalam bukunya “Developing Democracy toward Consolidation” (2003) menegaskan bahwa budaya anti kekerasan dan anti kecurangan adalah salah satu prasyarat bagi konsolidasi demokrasi. Penguatan demokrasi. Khususnya di tingkat massa.

Ketiga, pengalaman Pilpres 2019 harus menjadi pengalaman berharga untuk menjelang Pilpres 2024. Eksploitasi isu SARA harus dijauhi bersama. Mengingat, secara sunnatullah, Indonesia terdiri dari keragaman. Baik suku, agama, ras, dan antar golongan. Karena itu, taruhan besarnya adalah eksistensi bangsa Indonesia.  Jika setiap hajatan pemilu, kontestasi politik disesaki permainan isu SARA, maka persatuan bangsa akan semakin tergerus. Elit bebas bermain akrobat politik di atas keretakan akar rumput. Tentu kita semua tidak rela. Pepatah menyatakan; “Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali”.

Semoga.