Usaha Perguruan Tinggi Menciptakan Santri Akademisi: Belajar dari Kebijakan IAIN Purwokerto

Usaha Perguruan Tinggi Menciptakan Santri Akademisi: Belajar dari Kebijakan IAIN Purwokerto

Usaha Perguruan Tinggi Menciptakan Santri Akademisi: Belajar dari Kebijakan IAIN Purwokerto

Beberapa hari lalu, Sabtu-Minggu 23-24 November 2019, saya berkesempatan untuk mengunjungi banyak pondok pesantren di Purwokerto. Sowan ke pengasuh, berbincang dengan pengurus, ngopi dengan santri, serta melihat detail bagunan dan fasilitas masing-masing pesantren. Hampir semua pesantren penuh dengan santri. Hal ini tidak lepas dari kebijakan IAIN Purwokerto yang mewajibkan seluruh mahasiswa semester I dan II nyantri ke pesantren sekitar. Peraturan yang dimulai sejak 2010 itu semakin matang dan sinergis.

Awalnya, hanya ada 10 pesantren yang menjadi mitra. Beberapa tahun setelahnya, terus mengalami peningkatan. Data tahun pelajaran 2017-2018, terdapat 25 pesantren di sekitar Purwokerto dan Banyumas yang digandeng. Jumlah santri mahasiswanya juga tembus hingga 1616 orang. Target minimal yang dicanangkan adalah mahasiswa bisa membaca dan menulis al-Qur’an (BTA). Untuk memastikan pencapaian target ini, kampus mengadakan ujian di tiap akhir tahun.

Namun dalam praktiknya, mahasiswa mendapatkan manfaat yang lebih. Hal ini sebagaimana diakui Hafidz. Mahasiswa asal Brebes ini awalnya merasa berat dan malu harus nyantri. Belajar dari awal membaca al-Qur’an. Seiring berjalannya waktu, lulusan SMK yang belum pernah mondok sebelumnya ini malah ketagihan tinggal di pesantren. Hampir 5 tahun ia mondok di Pesantren Darul Abror, sekitar 5 KM dari kampus IAIN Purwokerto. Hal ini juga diakui oleh Ustadz Muhsin, pengurus pesantren al-Hidayah. Awalnya, ia nyantri untuk menggugurkan kewajiban peraturan kampus. Tapi ternyata banyak hal yang dapat ia petik dari pendidikan di pesantren. Bahkan kini, ia masih betah terus mengabdi di pesantren.

Kisah-kisah ini hampir saya dengar dari santri di setiap pesantren mahasiswa. Mereka bangga dan bersyukur berkesempatan nyantri. Di pesantren bisa mempelajari ilmu agama secara mendasar. Ditambah lagi mendapatkan didikan dan suri teladan langsung dari Kiai dan asatidz. Selain itu juga penanaman adab, karakter, dan cinta tanah air. Hal ini sebagaimana dirasakan oleh Ikhwan, santri Pesantren Al-Amien Purwokerto Wetan. Jika melihat capaian ini, IAIN Purwokerto patut berbangga mewujudkan cita-citanya, yakni membentuk santri akademisi. Generasi penerus bangsa yang mampu menyinergikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemajuan.

Lantas, mungkinkah kebijakan ini direplikasi di IAIN, UIN, atau kampus-kampus lain?