Agama memiliki komponen simbolik yang kuat, seperti lambang, ritual, dan simbol-simbol lainnya. Simbol-simbol ini dapat memiliki makna yang mendalam dan penting dalam praktik keagamaan. Bagi beberapa orang, simbolisme ini dapat menjadi jalan untuk menghubungkan diri dengan aspek-aspek spiritual dan transendental dari keyakinan mereka.
Namun, guru yang mencukur belasan siswi di SMPN 1 Kecamatan Sukodadi Lamongan itu mungkin lupa bahwa pentingnya simbolisme tidak harus selalu mengalahkan substansi dan inti ajaran agama.
Menurut si guru, merayakan simbolisme agama adalah upaya untuk memahami dan menerapkan ajaran moral, etika, dan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-harinya. Namun ia lupa, bahwa internalisasi nilai adalah murni pengalaman personal, bukan hal yang mutlak dipaksakan kepada orang lain.
Bagi si guru, simbolisme memungkinkan dia memahami dan mengalami makna dalam agamanya. Namun ia lupa, relasi tak seimbang antara simbol dan substansi ajaran hanya akan mengantarkannya pada konflik horizontal dan merugikan sesamanya.
Dalam hemat si guru, menutup aurat adalah ajaran Islam yang mutlak dilakukan. Namun, ia lupa bahwa fokus berlebihan pada ritual agama dapat memungkinkan untuk perilaku hipokrit. Si guru mungkin menjalani ritual keagamaan tetapi tidak menggambarkan nilai-nilai atau etika yang seharusnya terkandung dalam agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut si guru, nilai dalam ritual dan formalitas mungkin adalah ikhtiar untuk menjaga tradisi, memperkuat identitas keagamaan, dan menciptakan struktur dalam kehidupan keagamaannya. Tetapi ia belum paham bahwa terlalu banyak ritual dan formalitas dapat menjadikan agama kurang relevan atau tidak jelas dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tentang makna hidup, moralitas, dan tujuan eksistensial.
Sesungguhnya, si guru sedang terjebak pada model beragama yang formalistik. Formalisasi agama jelas sangat membahayakan, baik bagi agama itu sendiri maupun penganutnya. Dengan formalisasi, agama akan diamputasi sedemikian rupa, dilepaskan dari konteks sosial dan kulturalnya, dan pesan-pesannya direduksi berdasarkan bingkai si pemeluk tanpa fundamen spiritual yang baik.
Dalam situasi demikian, identitas dan simbol-simbol keagamaan menjadi bagian terpenting mengalahkan substansi pesan agama itu sendiri. Si guru mungkin hanya mengejar simbol-simbol, bukan mengamalkan substansi ajaran agama. Padahal, pembacaan secara harfiah dan mengutamakan simbol-simbol agama akan mengarahkannya menjadi monolitik dan monoperspektif.
Beragama hanya dalam aspek legalistik formal hanya akan melahirkan pribadi yang gemar menghakimi orang lain. Ukuran yang dipakai tentu saja terletak pada dogma, ajaran, aturan, norma dan hukum tertulis yang ketat dan kaku. Mereka sering kali abai terhadap relasi inter-personal yang mengandung nilai-nilai humanis, pluralis, toleran dan inklusif.
Mindset ini rentan menciptakan pribadi yang menolak pluralisme, baik pluralisme antar agama maupun dalam agama. Hal ini sangat berbahaya karena baginya tidak akan pernah ada celah untuk perbedaan. Disini pluralisme akan terasa ganjil bagi “pejuang” formalisasi agama.
Ia memang seorang guru. Apapun mata pelajarannya, guru mempunyai tanggung jawab mendidik dan memegang fungsi tauladan bagi murid-muridnya di dalam kelas. Namun, apakah guru akan melakukan tindakan seperti halnya si guru yang disinggung dalam tulisan ini? Rasanya tidak.
Sekali lagi, sesungguhnya si guru adalah korban dari kultur beragama kita yang masih ritualistis. Si guru hanyalah cermin dari masing-masing kita yang mungkin secara tidak sadar masih beragama secara simbolis.
Tidak usah jauh-jauh, video kontroversial “Oklin Fia Jilat Es Krim” berhasil menyatukan suara warganet untuk menghardiknya dengan dalih pelecehan agama. Karena apa? Yap, ia mengenakan hijab. Apa yang dilakukan Oklin Fia memang menyalahi norma, tetapi tampaknya faktor utama lahirnya hujatan netizen adalah soal atribut keagamaan yang digunakannya.
Musuh agama bukanlah agama yang lain, tetapi fanatisme dan formalisme. Ketika agama-agama berhasil mengatasi jebakan institusionalisme, formalisme, dogmatisme dan ritualismenya, dan mulai dengan serius menyeimbangkannya dengan substansi dan esensinya, ketika itulah ia menjaga seorang yang beragama secara utuh.