Tragedi Corona: Azab atau Musibah Kemanusiaan?

Tragedi Corona: Azab atau Musibah Kemanusiaan?

Berbagai musibah kemanusiaan yang terjadi di dunia ini selalu menunggu respon positif kita. Jangan sampai kita menggadai empati demi menebus sinisme yang tidak perlu pada suatu kelompok.

Tragedi Corona: Azab atau Musibah Kemanusiaan?

Ibarat manusia, pemerintah Tiongkok adalah seorang pesakitan di ujung maut yang tak kunjung dicabut nyawanya oleh malaikat. Di ambang ajalnya, tubuhnya mengeluarkan bau anyir, lehernya dipenuhi belatung, sesekali badannya kejang sambil merintih menahan sakit.

Para tetangga yang sempat menjenguk bergunjing sepulang dari rumahnya. “Saya yakin seyakin-yakinnya, itu pasti azab dari Allah. Lihat saja semasa hidupnya, kerjaannya menyiksa muslim Uighur,” kata seorang tetangga yang hobi menyebar info penting dari satu grup Whatsapp ke grup Whatsapp lainnya.

“Bener banget mbakyu!” timpal bapak-bapak penggemar teori konspirasi di sebelahnya. “Saya sudah curiga sejak tahu kalau ideologi dia itu ternyata komunis. Yang pasti dia ateis. Pengikut teori Darwin,” lanjutnya meyakinkan. Forum kecil itu berakhir dengan kepala saling mengangguk puas dan merasa yakin dengan argumen masung-masing.

Alegori di atas tentu saja fiktif. Pun demikian, Anda tidak akan menemukannya dalam naskah sinetron Azab. Pengibaratan itu hanya untuk mengilustrasikan nada-nada miring yang saya temukan di media sosial; sebuah sinisme akut sebagian dari kita dalam merespon penyebaran virus corona di Tiongkok belakangan ini.

Ya, apalagi kalau bukan penghakiman atas nama azab? Sepertinya kita memang terlampau percaya diri menentukan mana azab dan mana musibah kemanusiaan. Seperti yakinnya kita menentukan mana orang yang bisa bersenggama ria dengan bidadari di surga dan mana yang akan menjadi batu bara untuk diangkut tongkang menuju neraka.

Fenomena menganggap “Allah menghukum sekolompok umatnya yang berdosa” ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Anda pasti tahu. Kita semua tahu. Hampir setiap terjadi bencana alam atau kemalangan kolektif di suatu tempat, pengazaban ini tidak pernah absen. Konsep azab ini hadir sebagai respon dogmatis dari masyarakat kita yang cenderung agamis.

Melihat respon-respon itu, sejujurnya saya merasa sedih. Sepatutnya kita semua memang harus bersedih. Bagaimana tidak, orang-orang harus mendahulukan penghakiman, perasaan lebih unggul, dan perundungan pada para penyintas alih-alih mendoakan, berempati, atau bergerak melakukan aksi kemanusiaan.

Sebagai muslim, konsep azab memang tak bisa luput begitu saja dari keyakinan kita. Islam mengajarkan hal itu. Dalam al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari 300 kata “azab” yang digunakan dalam berbagai keadaan. Kisah-kisah para nabi dan kaumnya seringkali menjadi rujukan dasar kita terkait hal ini.

Baiklah, dari sini setidaknya kita bisa temukan dua hal yang perlu menjadi renungan bersama. Pertama, apakah benar virus corona adalah azab dari Allah akibat dari persoalan muslim Uighur di Tiongkok? Kedua, seberapa penting mengazabkan para penyintas, atau mereka yang terancam, siapapun itu, ketimbang ikut berempati?

Tapi sebelum jauh ke penjelasan, saya akan menjawab “tidak” di awal. Tidak untuk kebenaran azab yang menimpa Tiongkok. Tidak pula untuk pentingnya mengazabkan siapapun yang sedang tertimpa musibah.

Begini, sebelum sampai pada alasan-alasan teologis, coba pikirkan kembali beberapa misal yang bisa kita pakai untuk menguji kebenaran tuduhan kita terkait azab.

Misal pertama: katakanlah kalau memang wabah corona muncul di Tiongkok akibat negara tersebut komunis, ateis, penyiksa muslim Uighur, dan segala tuduhan yang kadang kita sendiri tidak mengerti betul, lalu kenapa tidak dengan Amerika Serikat? Alangkah tidak adilnya dunia ini kalau azab melewatkan rival ekonomi Negeri Panda tersebut.

Sekarang coba diingat, kurang kaffah apa AS sebagai negara kafir? Ia melegalkan pernikahan sesama jenis sejak 2015, menjadi sarang islamofobia, dan negara bercokolnya Las Vegas: kota yang menjadi sentra judi, prostitusi, hingga narkotika. Bukankah kalau memakai logika azab tadi, negara tersebut sudah seharusnya lenyap digulung tsunami atau hilang diterjang tornado?

Misal kedua: katakanlah kalau memang banjir besar yang melanda Jakarta dan sekitarnya adalah akibat penduduknya berpesta-pora dan bermaksiat saat merayakan tahun baru; atau kalau memang gempa dahsyat di Palu tahun 2018 lalu adalah akibat pagelaran festival kebudayaan yang dianggap perbuatan menyekutukan Tuhan, lalu kenapa Aceh di tahun 2004 juga harus ikut-ikutan diterjang tsunami?

Betapa tidak adilnya dunia ini telah memaksa kita melihat kota berjuluk Serambi Mekkah yang sangat islami itu, lengkap dengan perda syariahnya, harus dipenuhi suara tangis orang-orang beriman yang tiada bersalah? Apakah dengan ini, logika azab kita juga harus mengumumkan sebuah pengecualian tertentu?

Masalahnya bukan berada pada ketidakadilan dunia ini, tapi cara berpikir kitalah yang tidak adil. Seringkali kita menyisipkan sinisme, terkadang stigma, atau bias yang kuat pada kelompok tertentu, dan berakhir tebang pilih tanpa dasar kuat sama sekali. Contoh-contoh di atas menunjukkan betapa lemahnya logika azab yang kita pakai selama ini.

“Loh, jelas-jelas al-Qur’an memberi dalil-dalil tentang azab lewat kisah hikmah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Luth, dan para nabi lain! Jangan sembarangan Anda!”

Ya, benar sekali. KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, seorang pakar ilmu al-Qur’an, mempunyai penjelasan teologis yang kuat terkait hal ini. Benar bahwasanya apa yang terjadi pada kaum Nabi Nuh dan Nabi Hud adalah sebuah azab. Tapi keduanya tidak lepas dari konteks sejarah yang melatarbelakangi.

Bencana yang menimpa kaum Nuh bukan berasal dari dosa-dosa yang mereka perbuat, melainkan dari doa Nabi Nuh sendiri untuk membinasakan mereka. Al-Qur’an merekam doa tersebut dalam surat Nuh ayat 26-27. Allah mengabulkan doa itu. Meski kemudian Allah marah besar kepada Nabi Nuh dan tidak memperkenankannya memberi syafaat kepada manusia di Hari Pembalasan nanti, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

Sedangkan azab yang menimpa kaum ‘Aad, atau kaum Nabi Hud tersebut berasal dari kesombongan mereka menolak ajakan Sang Nabi untuk menyembah Allah (QS. Al-Ahqaf: 22). Menentang Nabi Hud dengan kesombongan, berarti menentang Allah. Padahal dalam sebuah hadis qudsi riwayat Thabrani dari Ali bin Abi Thalib, Allah berfirman: “Kemuliaan adalah pakaian-Ku dan sombong adalah selendang-Ku. Barangsiapa mengambilnya dari-Ku, Aku azab dia.”

Jadi, kaum ‘Aad disapu angin ribut selama tujuh malam delapan hari itu bukan karena menyekutukan Allah, tapi karena kesombongan mereka sendiri.

Kita menyadari bahwa agama datang sebagai rahmat, bukan tombak untuk saling mengancam. Sedang Islam dibawa Nabi Muhammad untuk menyempurnakan akhlak para umatnya, bukan sebagai palu penghakiman dosa-dosa sesamanya. Seringkali kita tidak sadar mengerjakan tugas-tugas Tuhan dalam menilai, hingga lupa cara menjadi manusia dalam berempati.

Berbagai musibah kemanusiaan yang terjadi di dunia ini selalu menunggu respon positif kita. Jangan sampai kita menggadai empati demi menebus sinisme yang tidak perlu pada suatu kelompok. Karena kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada kita, keluarga kita, atau sekeliling kita suatu saat nanti. Alangkah bijak dan manusiawinya kalau kita saling bantu dan peduli satu sama lain.

Semoga kita selalu berada dalam lindungan-Nya.