Fenomena terorisme yang dewasa ini sudah mengalami perubahan bentuk, sistem dan sasaran merupakan problem bagi dunia. Banyaknya kekerasan yang kemudian “dibalut” dengan atas nama agama marak terjadi. Baru-baru ini di Gereja Katerdral Santo Yosef di Kota Makassar, Sulawesi Selatan menjadi sasaran “teror” oleh oknum atau kelompok yang tidak bertanggungjawab. Kejadian tersebut sangat memilukan mengingat seluruh penduduk Indonesia bahkan dunia sedang berjuang melawan pademi Covid-19.
Tindakan kekerasan atas nama apapun tidak dibenarkan. Apalagi diatasnamakan agama tentu sangat menodai kesucian dan kebaikan agama tersebut. Seluruh agama mengutuk keras penggunaan kekerasan untuk menakut-nakuti orang lain dalam rangka mencapai tujuan. Terlebih dengan agama Islam sebagai agama damai agama yang rahmatan lil alamin sangat mengecam pelaku tindakan tersebut.
Tulisan ini berusaha untuk menelisik lebih dalam terkait aksi terorisme. Dalam terminologi umum terorisme memiliki beberapa pengertian yakni: Pertama pemakaian kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujaun politik (merebut atau mempertahankan kekeuasaan). Kedua, keseluruhan tindakan kekerasan, penyerangan, penyanderaan warga sipil yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk menimbulkan kesan kuat atas suatu Negara. Ketiga, sikap menakut-nakuti penggunaan kekerasan dan intimidasi terutama untuk tujuan politik. Dan Kelima, kekerasan yang sangat jelas ditujukan kepada warga sipil yang dipilih secara acak dalam usaha untuk menimbulkan rasa takut yang menyebar kemana-mana dan karenanya memengaruhi kebijakan-kebijakan suatu Negara.
Dari beberapa definisi terorisme diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam terorisme terdapat unsur-unsur tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan, tujuan atau kepentingan yang akan dicapai dari tindakan terror tersebut dan korban tidak selalu berkaitan langsung dengan tujuan yang hendak dicapai.
Sedangkan dalam kajian fiqih terorisme dimasukkan ke dalam bab atau pasal tentang pembegal dan selalu berkenaan dengan hukuman atas pelakunya. Dalam kita al-Umm misalnya Imam al-Syafi’i mengatakan:
“Jika mereka menakut-nakuti orang yang lewat di jalan dan tidak mengambil harta hukumannya adalah dibuang ke tempat yang jauh”
Pembahasan lain yang serupa juga dibahas dalam kitab dua Imam Syafi’iyyah yang lain, yakni Imam al-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami.
Imam al-Nawawi dalam kitabnya Majmu’ Syarah Muhadzab menyatakan:
“Jika ada orang yang memamerkan senjata dan menakut-nakuti orang lewat di jalan, maka Imam (penguasa politik) wajib mencarinya (dan menangkapnya), karena jika dibiarkan akan menjadi bertambah kekuatannya dan terjadi banyak kerusakan dengan senjata itu dalam bentuk pembunuhan dan perampasan. Jika ia tertangkap sebelum mengambil harta dan membunuh, maka ia mesti dihukum ta’zir dan dibui sesuai dengan pendapat penguasa, karena ia menunjukkan tanda-tanda akan melakukan kedurhakaan yang besar, sebagaimana orang yang menunjukkan tanda-tanda akan mencuri dengan merusak pagar dan orang yang menunjukkan tanda-tanda akan berzina dengan mencium”
Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj:
“Bab pemutus jalan, disebut demikian karena pelakunya pelakunya menghalang-halangi lalu lintas disitu dengan kemunculannya (dengan senjata) untuk merampas harta atau membunuh atau menakut-nakuti dengan bersandar pada kekuatan dengan tidak adanya pertolongan.”
Sementara dalil Qur’an yang biasa dipakai untuk menentukan hukuman-hukuman di atas adalah Surat Al Maidah ayat 33:
Artinya:” Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
Dalam kitab-kitab fiqih yang diuraikan di atas, meskipun terdapat pembahasan terkait orang yang menakut-nakuti, tetapi penekanannya adalah hanya tindakan menakut-nakuti yang berhubungan dengan perampasan harta atau pembunuhan di jalan. Pembahasan terorisme dewasa ini Lebih dari itu. Mereka menebar ketakutan dengan frekuensi yang lebih luas yang menyebabkan ketakutan masyarakat luas, sehingga pemerintah atau Negara juga terpengaruh.
Terorisme pada umumnya baik tujuan untuk mengambil harta maupun tujuan-tujuan yang lainnya dalam pembahasan fiqih masuk dalam bab memerangi Allah dan Rasul-Nya atau al-Hirabah yang hokum dasarnya jelas haram.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum atau sekelompk orang merupakan hal yang mempunyai latarbelakang. Ada yang terkait dengan pandangan yang melihat orang lain sebagai musuh atau pesaing dalam kebenaran, ada juga terkait dengan persoalan global yang berupa kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, dan lain sebagainya. Atau keadaan yang tidak menyenangkan tidak semata-mata karena ada sekelompok orang (musuh) yang merencanakan dan menjadikan umat Islam sebagai objek dan sasaran. Keadaan itu sebagian besar karena kegagalan keseluruhan umat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan dan tata pergaulan hidup yang adil dan bermartabat.
Namun dalam konteks keindonesiaan untuk menanggulangu aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang hari ini masih membayangi dan menjadi benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu upaya-upaya yang harus dilakukan, diantaranya:
Pertama, mengoptimalkan peran serta orang tua untuk memberikan pemahaman agama yang benar sejak dini kepada anak-anaknya, agar memiliki bekal ilmu agama yang baik, dengan keyakinan agama yang baik generasi penerus bangsa tidak mudah terpengaruh oleh paham radikal yang mengarah pada aksi terorisme.
Kedua, mengoptimalkan peran tokoh agama, tokoh masyarakat dan tenaga pendidik dalam membantu pemerintah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas terutama di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi dan di ruang publik terkait bahaya terorisme dan dampak yang ditimbulkan bagi kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar masyarakat luas memahami sehingga tidak terperangkap bujuk rayu teroris yang mengatasnamakan agama.
Ketiga, menekankan kepada instansi terkait agar adanya upaya kogkrit dan tegas untuk menutup konten-konten di media sosial yang digunakan jaringan teroris dalam menyebarkan ajaran-ajaran radikal. Karena saat ini mereka intens memanfaatkan media sosial untuk melaksanakan propaganda dan merekrut anggota baru.
Keempat, media massa adalah salah satu”sarana” bagi teroris untuk mengembangkan aksinya, untuk itu media massa hendaknya tidak mempublikasikan aksi terorisme secara berlebihan dan fulgar, sehingga dengan berita yang sedikit diharapkan dapat meredam aksi teror yang dilakukan jaringan teroris lainnya. Media massa harus berkomitmen untuk menjadi bagian dalam memerangi aksi terorisme itu sendiri.
Akhirnya mari kita bersatu padu untuk menangkal pemahaman radikalisme berkembang di tanah air. Perlu adanya komitmen yang kuat dari seluruh komponen bangsa dalam rangka mencegah kembali aksi-aksi kekerasan dan terorisme dimanapun di seluruh jengkal wilayah NKRI. Umat Islam juga perlu menegaskan kembali bahwa Islam ajaran agama ramah dan damai menolak segala jenis kekerasan dan kerusakan. Sebagaimana dalam sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia dilakukan dengan cara damai melalui pendekatan sosiokultural dan budaya, tidak dengan kekerasan. Sehingga, Islam yang ada di Indonesia bercirikan dengan kedamaian dan keramahan tidak hanya berlaku pada sesama muslim saja, tetapi juga bagi seluruh umat.