Kenapa Aksi Terorisme Terus Terjadi?

Kenapa Aksi Terorisme Terus Terjadi?

Aksi terorisme terus saja terjadi, padahal kita sudah susah payah untuk melakukan pencegahan.

Kenapa Aksi Terorisme Terus Terjadi?

Kekerasan atas nama agama terjadi lagi di Indonesia. Sebuah gereja di Sulawesi Selatan menjadi korban serangan teror. 14 orang menjadi korban aksi terorisme bom bunuh diri pada hari Minggu 28 Maret 2021.

Kenapa aksi terorisme terus saja terjadi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami dari mana aksi terorisme ini berasal. Tanpa menangani akar permasalahannya, aksi terorisme yang membahayakan nyawa manusia dan mengancam persaudaran kemanusiaan akan terus terjadi.

Mengutip pendapat Savic Ali, bahwa bibit terorisme berasal dari intoleransi. Lalu pemikiran intoleransi itu menguat jadi radikalisme. Terakhir, baru mewujud menjadi sebuah aksi terorisme.

Baca juga: Bagaimana Sebuah Keluarga Bisa Melakukan Teror?

Intoleransi lahir dari rahim prasangka. Menurut Gordon Allport, dalam The Nature of Prejudice, prasangka merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut. Prasangka lahir dari rahim stereotip, yaitu generalisasi pada setiap anggota kelompok tanpa pertimbangan yang matang.

Pikiran kita akrab dengan stereotip, contohnya: orang Padang itu pelit, orang Betawi itu malas, orang Makassar itu garang, orang Tiongkok itu licik, dan berbagai macam lainnya.

Generalisasi atau stereotip semacam itu bukan saja tidak valid, tapi juga menunjukkan kecacatan berpikir. Ya, berpikir memang sulit dan karena itulah lebih banyak yang memilih untuk menghakimi. Karena menghakimi lebih mudah dibanding berpikir.

Akibat dari stereotip adalah seseorang tidak mampu membedakan karakter unik yang dimiliki oleh pribadi anggota kelompok. Semuanya disamaratakan tanpa validasi dan kritis. Stereotip kemudian berpotensi memicu timbulnya ketidaksukaan pada kelompok tertentu.

Nah, dari ketidaksukaan ini memunculkan perilaku intoleransi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa prasangka adalah sikap negatif, sedangkan intoleransi adalah wujud prasangka yang menjadi aksi. Karena sangat memungkinkan orang yang berprasangka (memiliki ketidaksukaan) pada kelompok tertentu, tetapi tetap mempertahankan perilaku yang positif.

Seperti pendirian filsuf abad ke-18 Voltaire yang sering dijadikan asas liberalisme; “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan berjuang sampai mati agar Anda tetap berhak mengatakannya,”.

Dalam kajian psikologi sosial, istilah intoleransi ini biasanya bergabung dengan istilah diskriminasi, yaitu perlakuan yang berbeda berdasarkan kelompok atau identitas sosialnya (ras, golongan, jenis kelamin, ekonomi, agama, dan sebagainya.

Mencari Akar Intoleransi/Diskriminasi Aksi Terorisme

Filsuf terkemuka dari Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra menulis; “Dalam diri seseorang, yang dibutuhkan adalah kepercayaan untuk berkembang, keinginan akan elemen yang stabil dan tak tergoyahkan sehingga orang bisa menyandarkan dirinya.” Dia juga menambahkan, “Kebutuhan akan sandaran tak tergoyahkan itu adalah tanda kekuatan orang tersebut, atau mungkin juga tanda kelemahannya.”

Menurut Nietszche, semua orang membutuhkan sandaran nilai untuk menghindari kecemasan dalam diri. Berdasarkan kebutuhan akan sandaran tak tergoyahkan tersebut, manusia memilih untuk menyandarkan diri pada sesuatu yang lain, seperti pada kelompok, ras, agama dan identitas lainnya.

Bersandar pada kelompok sebetulnya sah-sah saja. Hanya saja, terkadang ada saja jenis orang yang perlu merendahkan orang lain demi ‘meroketkan’ dirinya. Contoh, untuk menguatkan sandarannya pada agama, mereka perlu merendahkan agama lain.

Kasus semacam ini sering kita lihat hari ini di mana ada tokoh agama yang baru pindah agama lalu merendahkan agama lamanya. Hal ini terjadi karena mereka memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, sehingga butuh stimulus dari luar untuk meningkatkan kepercayaan dirinya.

Kepercayaan diri seperti ini bisa juga disebut dengan fanatisme. Orang dengan fanatisme sibuk mencari kesalahan kelompok-kelompok lain tanpa daya kritis pada kelompok sendiri. Alhasil, fanatisme menghasilkan delusi: merasa bahwa diri sendiri paling benar, tanpa sedikitpun melihat atau mempertimbangkan sudut pandang alternatif.

Baca juga: Ulama Jawa Timur Deklarasi Anti Terorisme

Mereka yang fanatisme nyaris pasti punya kecenderungan intoleransi. Mereka menganggap bahwa kelompoknya pasti benar, sehingga jika ada sedikit saja anggapan yang merendahkan kelompoknya. Mereka langsung menggunakan baju zirah dan siap berperang membela kelompoknya.

Stereotip dan prasangka yang menjadi bahan bakar dari diskriminasi merupakan konsekuensi alamiah dari pola pikir kategorial yang ada dalam setiap pikiran manusia.

Pencetus teori identitas sosial, Henri Tajfel menyatakan bahwa manusia secara alamiah memisahkan kelompok sosial menjadi dua kategori: kelompok kita (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup). Pola pikir ini merupakan bawaan dari leluhur manusia ketika masih menjadi pemburu dan pengumpul makanan (hunter-gatherer).

Pengelompokkan ingroup dan ougroup disebabkan oleh kondisi leluhur manusia sebagai pemburu dan pengumpul makanan. Ganasnya alam liar membuat manusia harus berkelompok dan saling membantu untuk bertahan hidup.

Dengan berkelompok, individu mendapat keuntungan seperti kemudahan mencari pasangan, perawatan untuk anak-anak hingga perlindungan dari anggota kelompok yang lain. Tipisnya sumber daya kala itu membuat kelompok-kelompok manusia berkompetisi untuk memperebutkan makanan, minuman, dan tempat tinggal.

Seiring berkembangnya pikiran dan struktur sosial manusia, kelompok ingroup yang diidentifikasikan sebagai kelompok kita ini menjadi sangat beragam, termasuk yang bawaan seperti ras, etnis, suku, keluarga, agama, hingga yang merupakan pilihan seperti ideologi, pilihan politik, hobi, tim sepakbola, aliran musik, bahkan fashion.

Beberapa penelitian  membuktikan, semakin seseorang merasa terikat dengan identitas sosialnya (baik yang bawaan atau pilihan), semakin mungkin orang tersebut berprasangka atau melakukan diskriminasi pada kelompok lain (outgroup) yang memicu konflik.

Hal ini senada dengan pendapat Amartya Sen dalam bukunya “Identity and Violence”. Sen menuliskan bahwa ketika seseorang mengurangi identitasnya (yang jamak) menjadi satu identitas, maka sangat mungkin ia menyerang seseorang dengan identitas yang berlawanan.

Padahal, secara alami manusia memiliki beragam identitas, dari yang sempit hingga luas contohnya; pria, mahasiswa, keturunan Jawa, warga negara Indonesia, beragama Islam, dan manusia.

Nah, jika seseorang mengidentifikasikan dirinya hanya pada satu kelompok, konflik sosial akan sering terjadi. ketika prasangka didasarkan pada identitas yang lebih besar, seperti ras, etnis, bahkan agama, potensi konfliknya akan menjadi besar.

Bagi Sen, ketika seseorang menemukan persamaan identitas, kecenderungan untuk menganggap orang tersebut sebagai ingroup akan membesar dan menutup celah konflik. Oleh sebab itu, cara termudah untuk menumbuhkan sikap toleransi adalah dengan menyadari bahwa manusia adalah makhluk sosial dengan multi identitas.

Faktor Sosio-Ekonomi-Politik

Sangat naif jika menganggap persoalan seperti intoleransi dan diskriminasi adalah persoalan yang murni psikologis. Persoalan identitas lebih sering menjadi kambing hitam dari faktor sosio-ekonomi.

Masalah kesenjangan dan ketidakadilan menjadi salah satu dalang dari lahirnya konflik sosial, termasuk intoleransi dan diskriminasi. Ketimpangan dan ketidakadilan menimbulkan jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin melebar.

Persoalan sosio-ekonomi seringkali menyerupai fenomena gunung es. Hanya permukaannya saja yang terlihat, mengabaikan persoalan yang jauh lebih besar yang menopangnya. Sebut saja keturunan Tiongkok yang dianggap sebagai penyebab rusaknya tatanan sosial yang berjalan harmonis.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dianggap menguntungkan keturunan Tiongkok sambil menginjak kalangan pribumi yang tak memiliki kemampuan ekonomi.

Sejarah mencatat bahwa politik adalah aktor utama yang memainkan peran penting dalam konflik. Aktor politik biasanya sangat cerdik, ia mampu menunggangi isu sosio-ekonomi dan identitas untuk merebut kekuasaan.

Politik identitas, memang sebuah tunggangan murah yang efektif dan efisien dalam politik. Isu identitas tak akan lekang, karena ia inheren di dalam kognisi manusia.

Sejak aksi teroris pada tragedi bom Bali, kita sudah meringkus ratusan teroris, bahkan beberapa di antaranya mati terbunuh karena melawan aparat. Tapi, apakah aksi terorisme menghilang? Sama sekali tidak.

Nyaris mustahil mengatasi terorisme tanpa pendekatan yang multidimensional. Perlu ada penanganan dari pendekatan psikologis, sosial, ekonomi dan politik yang komprehensif. Tanpa langkah-langkah dan strategi yang jelas, penanganan terorisme akan terus menjadi permainan kucing-kucingan antara teroris dan polisi.

Saat ini, ruang publik kita terlalu riuh dan ricuh dengan kebencian antar kelompok. Kita, sebagai orang biasa mampu mengatasi intoleransi dan mencegah aksi terorisme dengan memperbanyak narasi yang sejuk di ruang publik. (AN)