Mudiknya Manusia Modern: Pasar Malam, Healing, Hingga Staycation sebagai Tren Baru Lebaran

Mudiknya Manusia Modern: Pasar Malam, Healing, Hingga Staycation sebagai Tren Baru Lebaran

Mudiknya Manusia Modern: Pasar Malam, Healing, Hingga Staycation sebagai Tren Baru Lebaran
Ilustrasi mudik. Foto: TEMPO/Subekti

Setiap menjelang akhir Ramadan hingga Lebaran, saya memiliki aturan pribadi: menghindari pusat keramaian. Alasannya tunggal, yakni kemacetan. Kemarin saja, keponakan saya yang ingin menaiki bianglala harus mengantre lebih dari satu jam sekadar untuk mencari tempat parkir.

Pengalaman serupa rupanya lazim ditemui di berbagai daerah. Jeda libur panjang Lebaran kerap menjadi ajang menghabiskan waktu bersama keluarga, sehingga tempat hiburan pun banyak dipilih.

Akhir Ramadan dan awal Lebaran seolah tak terpisahkan dari kerumunan massa. Selain tempat hiburan, pusat perbelanjaan menjadi titik berkumpulnya orang banyak. Masyarakat ramai membeli berbagai “kebutuhan” Lebaran, mulai dari pakaian hingga kudapan. Pasar kecil, Pasar Tumpah, hingga mal mendadak kehabisan lahan parkir. Kendaraan berjejal dan “memakan” badan jalan. Kemacetan pun kerap terjadi di berbagai ruas jalan.

Narasi populer selain konsumsi adalah romantisasi ruang dan kenangan masa lalu. Jika narasi konsumsi telah dibahas, romantisasi masa Lebaran justru lebih sering terpusat pada istilah “mudik”. Padahal, ruang dan momentum untuk mengekspresikan kerinduan itu seharusnya tidak berhenti pada imajinasi tentang desa. Kota dan tempat keramaian acap kali luput dari perhatian. Mengapa demikian?

Mudik, Liburan, dan Keramaian

Liburan dan konsumsi tidak dapat dipisahkan dari Lebaran. Momentum Idul Fitri selalu diikat dengan masa libur panjang dan pembagian Tunjangan Hari Raya (THR) di kelas pekerja atau buruh. Jutaan ASN (Aparatur Sipil Negara) hingga buruh pabrik di berbagai wilayah bisa berbelanja hingga pulang ke kampung atau mudik, karna mendapatkan uang dan jatah libur.

Walaupun tahun ini jumlah uang dan pemudik menurun, Hari Raya sepertinya tidak benar-benar kehilangan magisnya. Plesiran ke tempat wisata terdekat dengan desa sepertinya menjadi pilihan mayoritas pemudik. Beberapa kawan menyebut opsi berlibur biasanya sudah diriset lewat mesin pencari, bahkan telah diatur jauh sebelum tiba di desa.

Kala banyak desa mulai bersolek lewat dana desa, sepotong wilayahnya berisi dengan keindahan alam dan “keheningan” pun ditawarkan. Rayuan untuk melepaskan diri dari kebisingan kota berseliweran di media sosial dan massa. Mudik tidak lagi sekadar berangkat ke kampung halaman. Ia juga berisi liburan dan hiburan.

Banyak pemudik menyisihkan waktu untuk berkunjung ke tempat wisata atau lokasi eksotis. Sebagian pasangan muda kini memaknai mudik bukan hanya sebagai pulang kampung, melainkan juga sebagai “healing” atau liburan melepas penat. Ada pula keluarga yang memilih , artinya berlibur di hotel untuk menghilangkan stres pekerjaan.

Keramaian, Masa Libur, dan Arti Keluarga

Selain liburan, mudik dan lebaran juga berkelindan dengan keramaian. Di banyak tempat, Lebaran biasanya juga diramaikan pasar malam dan wahana permainan di tempat tertentu. Pasar malam di tanah kosong fokus pada kuliner dan stan sederhana, berlangsung singkat. Sedangkan, wahana khusus, biasanya ada Mall atau pusat perbelanjaan, menawarkan permainan permanen, durasi lebih panjang, dan target pengunjung lebih luas.

Wahana permainan dan pasar malam memiliki banyak kesamaan, dari selalu ramai dengan cahaya, aroma, dan tawa riuh. Selain itu, ada deretan stan makanan, permainan, dan kerumunan yang semarak. Gemerlap lampu warna-warni yang dipasang tidak saja memikat mata, namun juga menarik niat untuk datang. Stratafikasi kelas masih terlihat jelas di kedua area tersebut, meskipun amalgamasi juga sesekali tampak walau semu.

Masyarakat, biasanya, berkerumun lalu pulang. Kebahagiaan pun sering terpancar di wajah mereka. Banyak persoalan hidup, bahkan masa libur lebaran sudah hampir selesai pun seakan dilupakan. Selain itu, sebagaimana dijelaskan di atas, lanskap hingga kawasan geografis daerah menentukan opsi liburan lebaran diisi.

Kunjungan ke tempat wisata dan kerumunan makin populer dan menjadi bagian dari Lebaran. Romantisasi keluarga pun perlu dibaca ulang. Kala gambaran keluarga di Idul Fitri mayoritas bernada serupa, keluarga harmonis dan terlihat dekat atau akrab. Padahal, kala keluarga yang tampak harmonis secara eksternal ternyata menyimpan konflik internal multidimensi.

Setiap anggota menghadapi masalah melalui ekspresi uniknya. Melalui dinamika tersebut, mereka akhirnya mencapai penerimaan atas realitas, yakni sebuah ketundukan manusiawi pada kodrat kehidupan. Relasi keluarga dan konstruksi sosial seseorang atau keluarga tentu berbeda-beda.

Seorang teman saya pernah mengaku bahwa dia sudah tidak lagi mudik. Pulang kampung, baginya, tidak lagi memiliki makna khusus atau kehilangan “relevansinya.” Mengapa? Dia menyebutkan relasi keluarganya sudah semakin besar dan membentuk relasi dengan anggota-anggota baru lainnya. Sehingga, dia tidak lagi memiliki urgensi untuk mudik.

Makna, interaksi, dan relasi dalam keluarga tentu selalu berubah, walau perlu waktu panjang. Memang, ada keluarga-keluarga yang terus membesar dan tetap bisa mempertahankan relasi antar anggotanya. Di sisi lain, kita juga tidak jarang mendapati hiburan bersama keluarga biasanya dibatasi pada anggota terdekat atau kecil saja.

Jika makna pulang dan relasi keluarga terus bergeser, apakah tradisi mudik masih relevan? Seperti halnya manusia, mudik dan Idul Fitri pun terus beradaptasi dan menyisakan ruang untuk ditafsir ulang, tetapi tidak pernah benar-benar kehilangan esensinya. Begitu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin