Takir Maulud

Takir Maulud

Takir Maulud

Maulud di masa kecilku adalah bulan keriaan. Ia berarti banyak jajanan di sepanjang bulan.

Di kampungku anak-anak dan bapak-bapak merayakan kelahiran Nabi Muhamammad dg riang gembira di masjid-masjid dan musholla-musholla.

Ia tak kalah meriah dengan tadarus Qur’an saat Ramadlan.

Merayakannya dengan Berjanjen, membacakan syair-syair biografis nabi dalam kitab barzanzi secara bergantian.

Selain lancar membaca Qur’an di kampungku anak-anak juga wajib bisa membaca barzanzi sebelum waktu khitan.

Bagi anak-anak yang paling penting adalah jajanannya. Dari limun, godokan pisang, pisang, krupuk rambak, kacang, tape, hingga terkadang ambengan.

Makanan ini semakin banyak ketika malam tanggal 12 maulud seperti kemarin. Tak hanya di Masjid madrasah-madrasah juga punya tradisi tersendiri memperingati muludan.

Di madrasah diniyahku, biasanya tiap tanggal dua belas maulud semua siswa diwajibkan membuat takir dua. Ia dibikin dari daun pisang dibentuk sedemikian rupa yang mampu menampung seporsi makanan lengkap dengan sayur dan lauknya.

Ia dikumpulkan semua dan setelah prosesi acara ia ditutup dg saling bertukar takir. Saya selalu kekenyangan kalau ada acara ini.

Tak hanya anak-anak dan bapak-bapak yang bergembira merayakan maulud. Ibu-ibu juga punya acara sendiri memperingati kelahiran Rasul. Mereka melakukan berjanjen dari rumah ke rumah hingga semua rumah tertempati. Karena jumlah rumah lebih banyak dr jumlah Hari selama bulan maulud ia terkadang baru selesai sebulan atau dua bulan setelahnya.

Bagian paling menariknya adalah makanan lebih banyak dan lebih beragam dari acara-acara di Masjid atau madrasah. Harap maklum karena di kampungku penguasa dapur masihlah ibu-ibu.

Saya selalu tak sabar menunggu ibu pulang berjanjen. Karena ia selalu membawa tentengan berbagai makanan.

Tak hanya itu, ada keriaan lain yang selalu Saya tunggu dibulan maulud, yakni karnaval memperingati haul Mbah Mizan, Semerak, Margoyoso. Ia kampung Mbahku.

Karnaval ini melibatkan semua siswa-siswi di seluruh kampung dan yang paling ditunggu-tunggu adalah drumband andalan dari berbagai sekolah di Kecamatan Margoyoso dan Trangkil. Yang paling terkenal saat itu dari Pakis, Matholek, Kajen dan YPRU, Guyangan.

Saya selalu terpukau dengan kelincahan mayoret meliuk-liukkan tongkat saat memimpin drumband. Anak-anak termasuk saya pasti pernah mencita-citakan jadi mayoret.

Makanan juga melimpah ruah di acara haul ini yang kebetulan bertepatan dengan bulan maulud.

Kegembiraan maulud ini berlanjut hingga di pondok An-Nur Lasem dengan tradisi berjanjen yang juga kuat. Yang dibaca sama yakni Barjanji namun beda lagunya dan tentu lebih sedikit makanannya.

Makanannya hanya sekali di acara khataman di mana banyak sekali nasi ketan ditambah serondeng atau parutan kelapa dari warga sekitar pondok.

Saking banyaknya, kita biasanya (maaf ini kenakalan anak pondok) main kartu setelah berjanjen. Yang kalah makan sekepel ketan. Efeknya kerasa waktu pagi. Perut begah karena kebanyakan ketan.

Keriaan lain adalah mendengar kisah-kisah seputar kelahiran Nabi. Salah satu favorit Saya tentang kebahagiaan dua paman Nabi atas kelahiranya. Mereka Abu Jahal dan Abu Lahab, kelak keduanya jadi musuh dakwah Nabi.

Di akhirat mereka dua disiksa dari Selasa hingga Minggu. Senin siksaan libur. Ia ganjaran kebahagiaannya atas hari kelahiran Nabi. Ya, hari Senin.

Biasanya guru-guru Saya menceritakannya dengan imajenatif: dari jari-jari mereka keluar susu yang diminumnya dengan lahap.

Sampai sekarang kalau bulan maulud kenangan-kenangan keriaan ini selalu menari-nari diingatan saya. Saat anak-anak ramai bershalawat: Allahumma shalli ala sayyidina wa maulana Muhammad.

*) Imam Shofwan