Tafsir Surat Yasin Ayat 53–54: Ketika Sangkakala Kebangkitan Ditiup di Akhirat

Tafsir Surat Yasin Ayat 53–54: Ketika Sangkakala Kebangkitan Ditiup di Akhirat

Tafsir Surat Yasin Ayat 53–54: Ketika Sangkakala Kebangkitan Ditiup di Akhirat
Kitab-kitab yang disusun rapi.

Setelah pada ayat 49 yang lalu telah disebutkan tentang tiupan sangkakala kehancuran alam semesta, pada ayat 53 ini juga disebutkan kembali redaksi kalimat shayhatan wahidata dalam konteks yang berbeda. Tiupan sangkakala kali ini menandakan Hari Kebangkitan. Allah SWT berfirman:

 

إِنْ كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ جَمِيعٌ لَدَيْنَا مُحْضَرُونَ () فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

In kaanat illaa shayhatan waahidatan faidzaa hum jamii’un ladynaa muhdharuun. Fa al-yawma laa tuzhlamu nafsun syay‘an wa laa tujzawna illaa maa kuntum ta’maluun.

Artinya:

“Ia (yakni teriakan atau peniupan sangkakala oleh malaikat) tidak lain kecuali satu teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dihadirkan di sisi Kami. Maka, pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikit (pun) dan kamu tidak dibalas, kecuali (setimpal dengan) apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Yasin ayat 53-54)

Dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Ta‘wil al-Quran, Ibnu Jarir al-Thabari tidak mengutip riwayat apa pun mengenai dua ayat di atas. Menurut al-Thabari, ayat 53 hendak menegaskan bahwa proses kebangkitan umat manusia tidaklah lama dan panjang. Ayat ini menggambarkan bahwa proses kebangkitan seakan hanya satu kali teriakan saja. Pada waktu itu, kata al-Thabari, umat manusia dikumpulkan untuk diberikan ganjaran setimpal dan dihitung amal perbuatannya. Sebagaimana telah dijelaskan pada ayat ke-49 bahwa al-Thabari mengutip sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa tiupan sangkakala dilakukan malaikat Israfil sebanyak tiga kali, maka al-Thabari menafsirkan bahwa tiupan sangkakala yang dimaksud dalam ayat ini adalah tiupan sangkakala yang ketiga.

Sehubungan dengan ayat 54, Ibnu Jarir menjelaskan bahwa kata al-yawm pada ayat tersebut adalah Hari Kiamat. Pada hari tersebut tidak ada seorang pun yang terzhalimi. Semuanya mendapatkan hasil dari apa yang mereka perbuat semasa di dunia, tidak kurang ataupun lebih.

Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghayb atau dikenal pula dengan nama al-Tafsir al-Kabir, menguraikan kalimat ladayna muhdharun, berpendapat bahwa kalimat tersebut mengisyaratkan pengumpulan manusia pada Hari Kebangkitan ini bukan dalam pengertian ikhtiyari (pilihan) tetapi dalam pengertian paksaan (ijbariy). Artinya seluruh umat manusia mau tidak mau, suka tidak suka, akan dikumpulkan di Padang Mahsyar pada Hari Kiamat.

Terkait ayat 54, al-Razi menilai bahwa perbedaan penggunaan kata antara laa tuzhlamu dan laa tujzawna menunjukkan perbedaan makna di antara keduanya. Pada kalimat pertama yang berbentuk kata singular (laa tuzhlamu) bermakna umum. Artinya semua makhluk hidup tidak akan diperlakukan zalim pada Hari Kebangkitan itu. Sedangkan pada kalimat kedua memakai bentuk jamak (laa tujzawna) memiliki makna yang khusus. Hal ini, kata al-Razi, ditujukan kepada orang-orang kafir yang akan dibalas sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan. Pengkhususan ini guna membedakan orang-orang kafir dengan orang-orang mukmin. Menurut al-Razi bagi orang-orang mukmin sesuai janji Allah SWT mereka akan dibalas dengan pahala yang berlipat-lipat ganda.

Sama seperti Ibnu Jarir al-Thabari, dalam menafsirkan ayat ke-53 Ibnu Katsir pun berpendapat yang sama terkait dengan sangkakala kebangkitan. Menurut Ibnu Katsir Sangkakala Kebangkitan adalah tiupan yang ketiga, yaitu tiupan kebangkitan dan pengumpulan (nafkhat al-ba’ts wa al-nusyur). Terkait ayat ke-54, Ibnu Katsir menilai bahwa deskripsi Hari Kebangkitan yang prosesnya mudah dan cepat juga digambarkan Allah SWT bagaikan kedipan mata seperti dalam QS. al-Nahl ayat 77, dan juga ayat-ayat lain seperti QS. al-Nazi’at ayat 13-14, dan QS al-Isra ayat 52.

Bagi M. Quraish Shihab kata jami’ pada ayat 53 mengandung makna bersama-sama yang artinya ayat ini menginformasikan bahwa penghadiran itu dilakukan secara serentak, semua orang dihadirkan sekaligus pada saat yang sama, bukan dalam kelompok-kelompok, satu kelompok lebih dulu dibanding kelompok lain.

Kemudian penggunaan kata ladayna menurut Quraish Shihab meskipun terlihat sama dengan kata ‘indana yang keduanya sama-sama diartikan ‘di sisi Kami’ namun tetap terdapat perbedaan. Pada kata ladayna, terang Quraish, penggunaannya untuk mengisyaratkan betapa peristiwa tersebut sangat luar biasa dan tidak dapat dijangkau oleh nalar.

Lalu mengenai kalimat laa tujzawna illa maa kuntum ta’maluun, menurut Quraish, adalah penjelasan sekaligus bukti bahwa pada Hari Pembalasan itu tidak ada penganiayaan. Masing-masing menerima apa yang mereka kerjakan sendiri.