Tafsir Surat at-Taubah Ayat 128: Lima Sifat Nabi yang Harus Ditiru oleh Para Pendakwah

Tafsir Surat at-Taubah Ayat 128: Lima Sifat Nabi yang Harus Ditiru oleh Para Pendakwah

Tafsir Surat at-Taubah Ayat 128: Lima Sifat Nabi yang Harus Ditiru oleh Para Pendakwah

Bagi umat Muslim, dakwah adalah perkara yang bersifat fundamental. Dengan berdakwah, ajaran Islam menjadi semakin tersebar. Dan, dengan berdakwah, kita bisa melestarikan ajaran-ajaran dan pesan-pesan damai Nabi Muhammad SAW.

Lewat Surat at-Taubah ayat 128, Allah SWT berfirman:

 لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

 “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-Taubah/9:128)

Ayat ini menyebutkan lima sifat Nabi Muhammad SAW yang, agaknya, penting dimiliki oleh siapa saja yang hendak berdakwah. Dengan memiliki sifat-sifat ini, maka insyaAllah tujuan dakwah akan berhasil dan diterima. Pembahasan secara ringakas tentang lima sifat itu adalah sebagai berikut.

Pertama, dari golongan obyek dakwah

Dalam terjemahan di atas disebutkan “telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri”. Terjemahan ini penulis ambil dari terjemah Kemenag RI tahun 2002. Dalam kitab tafsir Marah Labid dijelaskan bahwa ada yang membaca kata min anfusikum bisa dibaca dengan min anfasikum. Ini adalah bacaan Sayyidatina Fathimah dan Sayyidatina ‘Aisyah. Yang pertama (dhummah fa’) bermakna “dari jenismu sendiri, yakni manusia, orang Arab, Quraish”. Sedangkan yang kedua (fathah fa’) bermakna “dari golongan orang yang mulia di antara kalian”.

Dari yang pertama kita bisa mengambil pelajaran bahwa hendaknya seorang pendakwah berasal dari golongan obyek dakwahnya, bukan dari orang lain. Mengapa demikian? Obyek dakwah tidak akan ragu dalam menerima si pendakwah, karena pendakwah merupakan golongan/bagian dari mereka sendiri.

Atau jika merujuk kepada pendapat yang kedua, maka hendaknya pendakwah itu berasal dari golongan orang-orang mulia. Dengan memiliki kedudukan yang mulia, maka obyek dakwahnya akan menaruh rasa hormat yang tinggi, berbeda jika pendakwah berasal dari golongan orang biasa. Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, keduanya memiliki tujuan yang sama: agar dakwahnya mudah diterima.

Bagaimana jika nyatanya pendakwah bukan orang yang berasal dari golongan obyek dakwahnya atau bukan merupakan orang yang mulia? Menurut penulis, dalam berdakwah, hal demikian bukan syarat, namun hanya sekadar anjuran agar dakwah semakin mudah. Masih ada solusi bagi yang bukan termasuk dua golongan di atas, yakni sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Kedua, merasakan penderitaan umat

Sifat ini terambil dari (terjemah) ayat “berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami”. Al-Maraghi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa penderitaan yang dimaksud adalah bertemu dengan hal-hal yang dibenci (makruh), baik di dunia (disengsarakan oleh para musuh lewat kekuasaan) atau di di akhirat (menjadi penghuni neraka). Nabi merasakan demikian karena ia adalah juga bagian dari masyarakatnya.

Pendakwah hendaknya selalu memiliki sifat khawatir dan takut manakala masyarakatnya mengalami hal yang tidak mengenakkan, baik di dunia maupun di akhirat. Keadaan seperti ini akan mengantarkan kepada kesungguh-sungguhan dalam berdakwah dan mengajak mereka kepada jalan yang benar.

Ketiga, selalu mengharapkan keselamatan umat

Sifat ketiga yang dimiliki Nabi adalah “(dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu”. Al-Qasimi mengatakan bahwa keinginan Nabi ini agar umatnya mendapat hidayah. Sehingga tak ada satu pun dari umatnya yang tidak mengikuti jalan yang telah ia tempuh.

Orang yang berdakwah hendaknya memiliki semangat dan keinginan yang kuat agar umatnya senantiasa mendapat petunjuk (mendapatkan kebahagiaan). Agaknya ini merupakan penegasan dari poin sebelumnya (menghindarkan keburukan). Dengan demikian, pendakwah akan selalu berusaha dan berdoa untuk kebaikan umatnya.

Keempat dan kelima, penyantun dan penyayang terhadap orang beriman

Ini terambil dari “penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman”. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan penyantun (rauf) adalah sangat lemah lembut, sedang penyayang (rahim) adalah sangat memiliki kasih sayang. Sedangkan dalam tafsir Jalalin disebutkan bahwa yang dimaksud dengan rauf  adalah sangat memiiliki kasih sayang (rahmat) sedangkan rahim adalah menginginkan kebaikan bagi mereka.

Dari sini, terbaca dengan jelas bahwa hendaknya seorang pendakwah itu memiliki sifat kasih sayang yang sangat besar kepada umatnya. Ini agaknya akan mengantarkan kepada sikap legowo manakala dakwahnya belum diterima (ditolak) atau berhasil. Juga, dengan sifat ini, seorang pendakwah akan selalu melakukan dakwah dengan semangat kasih sayang.

Demikian lima sifat Nabi yang hendakya selalu dimiliki setiap pendakwah dalam setiap aktifitasnya. Dan yang juga penting adalah pendakwah yang penulis maksud tidak saja mereka yang ahli ceramah di atas panggung, namun siapa saja yang menginginkan dan mengajak orang lain untuk melaksnakan kebaikan. Semoga kita bisa meneladani sifat-sifat ini. Amin.

 

Sumber:

https://lajnah.kemenag.go.id/unduhan

Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Marah Labid (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417 H.), v. 1, hal. 476

Ahmad bin Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (t.tp: Musthafa al-Babiy, 1946), v. 11, hal. 55

Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Takwil (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418 H.), v. 5, hal. 534

Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418 H.), v. 11, hal. 90

Jalaluddin al-Suyuti, Tafsir Jalalain (Kairo: Dar al-Hadis, t.th),  hal. 264