Secara bahasa Tabayyun berarti refleksi untuk mendapatkan kejelasan, sebagaimana firman Allah: “Tatkala datang kepadamu seorang fasiq membawa kabar maka tabayyun-lah” (QS. al-Hujurat: 6).
Sedangkan secara syar’iyah, tabayyun adalah upaya pencegahan tersebarnya berita bohong yang dapat mendatangkan madarat, berikut pembuat berita (al-mukhbir ‘anhu) dan penerima berita (al-mukhbir ilaihi) dari dosa adu-domba (al-namimah).
Dalam ushul fiqh, tabayyun termasuk pendekatan sadd al-zdariah (menutup terjadinya kerusakan) agar tidak terjadi madarat dan dosa. Sebab perbuatan adu domba (al-namimah) adalah dzalim yang merupakan dosa besar.
Sebagai pendekatan sadd al-zdariah, menurut Imam al-Gahazali yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam “al-Azdkar” hal. 299 ” tabayyun harus dilakukan dengan 6 cara:
1. Penerima berita tidak boleh langsung mempercayainya.
2. Penerima berita mencegah penyebarluasan berita, membuat opini yang meluruskannya, bahkan kalau perlu melakukan blacklist
3. Penerima berita menjatuhkan sanksi sosial (al-ghadhb fillah) kepada pembuat berita
4. Penerima berita tidak boleh berprasangka buruk atas pemberitaan (QS. al-Hujurat: 12)
5. Penerima berita tidak boleh terpancing mencari kesalahan pihak lain (wa la tajassasu)
6. Penerima berita jangan sampai terberdaya dengan isu yang belum jelas.
Cara ini pernah dilakukan khalifah Umar b. Abdul Aziz sewaktu beliau didatangi seseorang yang membawa berita hoax. Beliau berkata: Jika kamu ingin aku memperhatikan beritamu, maka ingatlah jika kamu berdusta maka kamu termasuk golongan yang tersurat QS. al-Hujurat: 6.”
“Sekalipun beritamu benar maka kamu juga termasuk “Hammazin masysyain bi namim” (QS. al-Qalam:11). Apa kamu ingin saya maafkan atas pemberitaanmu!!”
Akhirnya orang itu meminta maaf kepada Amirul mukminin dan berjanji tak akan mengulangi. Demikianlah, tabayyun dipahami sebagai sadd al-dzariah. Semoga bermanfaat.