Spirit Nasionalisme Kaum Sarungan

Spirit Nasionalisme Kaum Sarungan

Semangat santri dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa tidak diragukan lagi. Semangat nasionalismenya sudah mendarah daging di dalam tubuhnya.

Spirit Nasionalisme Kaum Sarungan

Sejarah memang tidak akan bisa kita hilangkan dan kita lupakan. Sudah selayaknya sejarah tidak untuk dilupakan begitu saja. Akan tetapi, sejarah sangat perlu dirawat dalam ingatan dan selalu dikenang. Dengan begitu fakta sejarah yang pernah terjadi akan selalu dapat dinikmati oleh berbagai kalangan generasi. Nah, peringatan hari santri merupakan bagian dari merawat dan menjaga ingatan tentang perjuangan yang pernah dilakukan oleh arek-arek suroboyo dengan para santri.

Penjajahan yang pernah dialami Indoensia memang sebuah hal pahit yang pernah kita alami. Sebagai bangsa yang besar memang kita pernah tunduk dan dijajah berpuluh-puluh tahun. Ingatan ini selalu kita rawat dengan diberikannya nikmat kemerdekaan Indonesia yang sudah menginjak 74 tahun. Perlawanan santri dan arek-arek suroboyo ini memberikan contoh sekaligus gambaran tentang spirit nasionalisme untuk membela negara.

Berbagai usaha untuk merawat ingatan perjuangan santri-pun menjadi ajang untuk mengenalkan generasi penerus bangsa melalui berbagai macam hal. Salah satunya dengan merayakan dan merawat ingatan melalui event besar seperti Hari Santri Nasional atau HSN. Tujuan utama mengadakan acara seperti ini tak lain untuk mengingat perjuangan kaum santri yang memiliki andil yang besar terhadap kemerdekaan Indonesia.

Tak heran jika sebagian orang menyebut santri sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki tempat tersendiri untuk mengabdikan ilmu kepada negara. Karakter santri ini tidak bisa dihilangkan begitu saja, selain memiliki karakter religius seorang santri juga memiliki karakter yang nasionalis. Karakter ini sangat penting dimiliki seorang santri untuk menghadapi persaingan global dalam dunia nyata.

Istilah santri ini bukan sembarang istilah yang lahir begitu saja, namun istilah ini mengandung banyak arti. Santri banyak diartikan sebagai sebutan seseorang yang sedang mencari ilmu di pondok pesantren. Santri yang hidup dipesantren ini disebut oleh Gus Dur (2010) dalam bukunya Menggerakkan Tradisi : Esai-Esai Pesantren tentang watak yang dimiliki oleh santri yang memiliki karakter mandiri. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang senantiasa memberikan pengajaran sekaligus menanamkan karakter mandiri dalam diri seorang santri.

Selain itu, Gus Dur (2010) juga mengambarkan sosok watak yang dimiliki santri lulusan pesantren memiliki beberapa kekhasan, yaitu kaitannya dengan memandang eksistensi ilmu, penghormatan terhadap ilmu, dan keikhlasan yang tumbuh dalam diri santri. Geertz melacak ini bagian dari tradisi pesantren dan menyebut ini sebagai tipologi yang dimiliki seorang santri yang mencari ilmu di pesantren.

Dengan bermodalkan ini sebagai karakter tipologi yang dimiliki seorang santri tentu saja menjadi modal lebih dalam terjun dalam masyarakat. Adanya tipologi yang diberikan oleh Gus Dur itu tidak lain adanya peran kyai yang senantiasa membimbing santri di pondok pesantren, di langgar, dan seorang kyai mencontohkan dengan menjadi garda terdepan dalam memerangi penjajah. Dari sini lah lahir spirit nasionalisme dari kaum-kaum sarungan yang juga memiliki andil besar dalam mengusir penjajah.

Di tengah pergolakan berbagai kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan untuk mendirikan negara islam. Sudah semestinya seorang santri berdiri tegak untuk membendung kepentingan-kepentingan komunal yang semacam ini. Ideologi yang dibangun kelompok-kelompok itu pun banyak mengesampingkan ajaran islam yang ramah. Dengan alih-alih memperjuangkan agama Allah SWT mereka dengan gampangnya meneriakkan jihad fi sabilillah, bahkan menghakimi sesama muslim yang tidak sepaham dengannya.

Semangat perjuangan itu betul-betul muncul pada saat masa kolonialisme yang sedang menjajah Indonesia. Resolusi jihad yang di fatwakan oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari ini menjadi bukti sejarah perjuangan kaum sarungan atau santri. Sejarah membuktikan bahwa keluarnya resolusi jihad ini menjadi pengobar semangat para kaum santri, masyarakat surabaya pada saat mengusir pasukan penjajah belanda saat itu.

Nah, ini bisa menjadi bahan refleksi sekaligus merawat ingatan kita tentang pentingnya memperjuangkan eksistensi sebuah negara  kesatuan. Jika saat itu, santri-santri tidak muncul dan membela kebenaran dengan segala daya kekuatan, tentu saja kita tidak dapat seperti sekarang ini. Sudah seharusnya, jika kita melihat kondisi saat ini yang jauh dari kondisi peperangan. Justru adanya santri yang memiliki ilmu dan akhlaknya bisa digunakan untuk berjihad melawan kebodohan yang semakin menggerus di era sekarang ini. Selain itu, menjadi santri atau kaum sarungan memiliki tempat sekaligus andil besar dalam melestarikan alam, budaya dan mempertahankan kesatuan negera.

Sehingga hal ini menjadi serius untuk selalu digaungkan untuk merawat ingatan kita dalam menjaga keutuhan negara dari tangan penjajah. Semangat untuk melakukan jihad inilah menjadi titik balik munculnya kembali semangat dan andilnya pesantren dan santri sebagai basis perjuangan kemerdekaan Indonesia. Akhrinya, jasa-jasa para santri yang telah gugur ini selalu kita kenang dan menjadi pahlawan perjuangan. Wallahu’alam.

Arief Azizy, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.