Siapa Anak Sulung Ibrahim?

Siapa Anak Sulung Ibrahim?

Siapa Anak Sulung Ibrahim?

Abram membatin ketika memandang wajah istrinya, Sarai. Mereka telah menempuh perjalanan panjang dari kota Ur di negeri Sumeria untuk menuju tanah yang dijanjikan, Kanaan. Ia dijanjikan akan menjadi leluhur dari sebuah bangsa besar yang akan mendiami kawasan luas di muka bumi. Tapi bagaimana mungkin itu terjadi?

Istrinya yang cantik dan beranjak tua tak juga memberinya keturunan. Ia sendiri dan ayahnya, Terah — pemimpin suku penyembah dewa bulan — beserta seluruh kaumnya, baru saja terusir dari Sumeria. Agresi bangsa Gut, penguasa negeri Akkadia — yang hasrat ekspansionisnya terkenal sangat ambusius — membuat mereka kehilangan tanah air, terkatung-katung, tak tahu harus ke mana. Abram tak yakin janji Tuhan akan menjadi kenyataan.

Seharusnya mereka berjalan lurus ke barat. Tapi padang pasir luas yang panas membuat mereka menyusuri sungai Eufrat yang hulunya berada di arah barat laut. Tak disengaja mereka menjauh dari Tanah Kanaan. Terah sendiri tidak tertarik dengan tanah yang dijanjikan Tuhan kepada anaknya itu. Ia lebih memilih untuk menetap di Haran, sebuah kota yang penduduknya juga menyembah bulan. Di situ Terah membangun gilda baru dan menjadi patriark terkemuka melebihi kedudukannya ketika di Ur.

Lima tahun menetap di Haran, pasangan Abram-Sarai belum juga dikarunia anak. Seperti Abram, Sarai pun gelisah mengetahui kemungkinan yang menakutkan itu: kemandulan. Tetapi mereka memendam keresahan dalam diam. Menurut tradisi bangsa Semit, tidak ada perkawinan yang dibangun sekadar untuk rekreasi dan kesenangan badani. Perkawinan menjadi berkah jika anak-anak lahir dari dalamnya, karena anak-anak adalah hadiah Tuhan. Abram dijanjikan olehNya bukan sekadar untuk diberi hadiah anak-anak, tetapi juga akan dijadikan cikal-bakal dari sebuah bangsa yang besar.

Karena sampai sedemikian jauh tiada tanda-tanda Sarai bakal mengandung, Abram merasa perlu memperbarui perjanjiannya dengan Tuhan. Dengan niat itulah, ia mengajak istrinya untuk berangkat ke Mesir.

Sejarah mencatat peristiwa itu terjadi pada tahun 2090 SM (sebelum Yesus lahir). Pada saat itu Kanaan, seperti dicatat Susan Weis Bauer — seorang sejarawan yang banyak meneliti peradaban-peradaban pra-Romawi — adalah sebuah kawasan yang tidak memiliki identitas apapun, baik secara rasial maupun politis. Kawasan itu didiami oleh berbagai suku-bangsa yang silih berganti dikuasai oleh berbagai rezim. Masing-masing rezim memiliki dewa mereka sendiri.

Bagaimana mungkin Abram dan keturunannnya dijanjikan menguasai kawasan itu sebagai tanah-air monotheisme? Lebih dari 50 tahunan Abram bertanya-tanya dalam keraguan mengenai janji-Nya itu.

***

Abram berusia 75 tahun ketika sampai di Kanaan. Setelah sepuluh tahun menetap di sana, tetap juga tidak ada tanda-tanda bahwa Sarai akan mendatangkan keturunan. Kitab Kejadian (16: 2) mengabadikan perasaan Sarai ketika meminta Abram mengambil Hagar (Hajar), perempuan Mesir yang menjadi hamba sahayanya. “Engkau tahu, Tuhan tidak membiarkanku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu; mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak.” Abram memenuhi permintaan Sarai.

Tapi kehamilan Hagar membuat Sarai cemburu. Di mata Sarai, si hamba sahaya Hagar menjadi merasa lebih tinggi dibandingkan dirinya. Sarai merasa Abram lah yang menyebabkan perubahan itu. Itu sebabnya ia menumpahkan kekesalan kepada Abram. Sikapnya kepada Hagar juga menjadi sengit. Maka hubungan cinta segitiga yang rumit mulai masuk dalam riwayat kenabian. Seperti yang juga tampak pada kisah-kisah serupa lainnya, Tuhan seperti absen dan tak berniat melerainya. Rupanya urusan cinta-diadik/trikotomik adalah wilayah otonom manusia yang terlibat di dalamnya .

Hagar tidak tahan terhadap perlakuan Sarai. Ia akhirnya melarikan diri dengan persetujuan Abram. Di bawah panduannya, ia dibawa ke padang pasir yang luas di jazirah Arabia. Cinta Abram akhirnya terbelah antara Gunung Sinai tempat Sarai tinggal, dan Lembah Bekka tempat Hagar mengembara.

Sampai di sini tafsir Islam dan Kristen bercabang. Menurut Alkitab, kelahiran Ishmael dianggap bukan penggenapan janji Tuhan yang sebenarnya. Penggenapan janji itu tetap harus berasal dari anak Sarai. Itu sebabnya Kristen lebih menekankan pembaruan perjanjian antara Abram dan Tuhan, dengan mana kelahiran Ishak (Ishrael) ditunggu. Tanda disepakatinya perjanjian baru itu diwujudkan dalam bentuk penggantian nama: dari Abram menjadi Abraham dan dari Sarai menjadi Sarah bagi suami-istri tua itu. Abraham berusia 99 dan Sarah 89 ketika Ishak lahir. Meski terpaut 13 tahun dari usia Ishmael, tetapi Ishak lah yang dianggap memiiki “hak-kesulungan.”

Demikianlah, apapun perbedaan tafsirnya, dari keturunan Ishak dan Ismail akhirnya terlahir bangsa-bangsa besar yang mendaku menjadi pemilik tiga agama yang saling bersaing di seluruh dunia, hingga sekarang — Yahudi, Kristen, Islam. []

*) AE Priyono