Sejarah Orientalisme (2): Fase-fase dan Perubahan Motif Orientalisme

Sejarah Orientalisme (2): Fase-fase dan Perubahan Motif Orientalisme

Motif kajian orientalisme berubah, yang semula sentimen benci terhadap Islam menjadi karya obyektif yang mengedepankan mutual understanding

Sejarah Orientalisme (2): Fase-fase dan Perubahan Motif Orientalisme

Pada mulanya perkembangan orientalisme awal melakukan studi ketimuran dengan motif benci dan penuh rasa permusuhan, terhadap agama dan umat Islam. Hal ini dapat dimaklumi karena kaum Orientalis pada masa kelahirannya umumnya terdiri dari  pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani, terpacu pula dengan  berkobarnya Perang Salib, seperti yang dijelaskan di tulisan sebelumnya.

Baca tulisan sebelumnya: Sejarah Orientalisme (1): Kebencian dan Kritik terhadap Al-Quran dan Hadis

Secara garis besar, motif-motif orientalisme terangkum dalam beberapa fase. Fase pertama, missionaris dan anti Islam (dimulai abad ke- 16 M). Fase simbol gerakan anti-Islam ini dimotori oleh kelompok Yahudi dan Kristen. Gerakan ini merupakan reaksi terhadap substansi ajaran Islam yang sejak dini sekali telah membeberkan kerancuan kedua agama itu.

Selain itu, kekalahan bangsa Eropa Kristen dalam Perang Salib juga memicu semangat anti Islam ini. Gerakan ini sejalan dengan misionaris. Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb.) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim. Strategi yang digunakan adalah menyebarkan kesan pada orang Timur dan Eropa mengenai keburukan Islam dan kerancuan sumber-sumber literatur sakralnya.

Fase kedua, kajian dan cacian (abad ke-17 dan 18 M). Fase kedua ini terjadi bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Pada periode inilah raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran. Sebagai contoh Erpernius (1584-1624), menerbitkan pertama kali tata bahasa Arab, dan diikuti oleh Jacob Goluis (1596-1667), dan Lorriunuer Franz Meurnski dari Austria tahun 1680.

Bedwell W (1561-1632) mengedit tujuh jilid buku Kamus Bahasa Arab dan menulis tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. G Sale (1677-1736) penterjemah Al-Quran tahun 1734 menulis Muhammad adalah pembohong dan Islam adalah agama palsu. Edward Gibbon (1737-1794) menulis bahwa Muhammad adalah “Pembohong dan pada hari-hari terakhirnya cenderung pada seksualitas dan individualistis”.

Fase ketiga: kajian dan kolonialisme (abad ke-19 dan ¼ pertama abad ke-20 M). Fase ini bersamaan dengan era kolonialisme Barat ke negara-negara Islam dalam bidang politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada fase ini banyak orientalis yang menyumbangkan karya dalam bidang studi Islam. Tidak sedikit pula dari karya-karya berbahasa Arab dan Persia diedit dan diterjemahkan lalu diterbitkan. Mungkin karena orang Barat telah masuk dan menguasai negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan bahan-bahan tentang Islam.

Periode ini juga ditandai dengan lahirnya pusat-pusat studi Keislaman. Tahun 1822 didirikan Society Asiatic of Paris, di Paris. Tahun 1823 Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland didirikan di Inggris; Tahun 1842 American Oriental Society, didirikan di Amerika; Tahun 1916 University of London, mendirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies).

Fase keempat, kajian dan politik (paruh ke 2 abad ke-19 M). Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian yang populer. Kajian itu bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk kepentingan perancang kebijakan politik dan juga bisnis. Pada fase ini motif kajian orientalisme berubah lagi, dari sentimen keagamaan yang vulgar menjadi lebih lembut.

Wajah orientalisme telah mengalami perubahan. Para orientalis modern tidak lagi mendasarkan studi ke-Islam-annya sepenuhnya karena ketidaksukaan, melainkan oleh adanya upaya untuk saling memahami (mutual understanding) antara Islam dan Kristen, dan upaya untuk memperbaiki hubungan dan kontak-kontak mereka sebelumnya.

Fase kelima, kajian dan karya-karya keislaman obyektif. Pada abad ke-20, orientalisme lebih maju lagi dengan dicirikan oleh karya-karya yang lebih ilmiah tentang Islam. Dalam periode ini, orientalisme digunakan secara mendalam untuk memahami dunia Timur yang menyuguhkan dunia eksotis bagi kepentingan studi para ilmuwan Barat. Semakin dalam Timur digali semakin eksotis dan menarik bagi para orientalis.

Dalam tradisi baru studi ini, teks-teks dan literatur Arab dan Islam klasik memiliki tempatnya tersendiri. Dunia Barat menemukan sebuah belantara khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan, hutan lebat teks-teks dan literatur yang luar biasa kaya.

Dari periode orientalisme modern inilah, lahir nama-nama besar baik dari Barat maupun dari dunia Islam sendiri seperti Ignaz Goldziher, Louis Massignon, Sir Thomas Arnold, Sir Hamilton A.R Gibb, Bernard Lewis, William Montgomery Watt, Wilfred Cantwell Smith, Marshal Hudgson, Frithjof Schuon, Annemarie Schimmel dan segudang penulis-penulis prolifik lainnya. (Bersambung)

Bersambung ke Sejarah Orientalisme (3-Habis): Kontribusi Orientalis Terhadap Khazanah Islam