Pengalaman Berbuka Puasa di Masjid Dengan Seorang Kristen

Pengalaman Berbuka Puasa di Masjid Dengan Seorang Kristen

Keberagaman dapat memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk saling mengenal satu sama lain. Salah satu momentumnya adalah ketika perayaan hari besar suatu agama. Umat Kristen bisa memahami lebih dekat agama yang dianut teman Muslimnya ketika Ramadhan, misalnya.

Pengalaman Berbuka Puasa di Masjid Dengan Seorang Kristen
Muhammad Najib Azca menjadi pembicara kajian menjelang berbuka di Masjid Mardliyyah UGM

Umat Islam bukan satu-satunya pihak yang merayakan bulan Ramadhan di Indonesia. Umat Kristen dan para pemeluk agama  lain di Nusantara turut merasakan euforia yang sama. Dalam aspek ekonomi, misalnya, jangan dikira yang berjualan ta’jil hanya orang-orang Islam saja, namun juga umat agama lain yang turut memperdagangkan makanan-makanan ringannya. Mungkin malah lebih enak, karena mereka bisa koreksi rasa langsung persis setelah memasaknya.

Tentu tulisan ini tidak membincang soal perilaku pasar di bulan puasa. Biarlah ekonom-ekonom itu yang menganalisa bagaimana fluktuasi dan perkembangan ekonomi para pelaku UMKM selama Ramadhan. Tulisan ini menyuplik sebuah kisah di sebuah sore, di mana teman Kristen saya mengajak berbuka puasa di salah satu masjid populer di sekitaran UGM.

“Memangnya kamu puasa?” tanya saya.

“Puasa dong. Eh, tapi kalau sikat gigi itu membatalkan puasa enggak?” ia menjawab sekaligus bertanya.

Sebelum bergegas, saya menjelaskan dahulu bahwa sikat gigi tidak membatalkan puasa. Saya juga sikat gigi setiap mandi pagi saat puasa. Lain cerita kalau berkumurnya pakai es teh, karena itu berarti dia sudah niat untuk mokel.

Setelah mengangguk paham, kami bergegas pergi. Waktu itu kami berbuka bersama di Masjid Mardliyyah UGM. Pembicara pada saat itu adalah Wasekjen PBNU, Muhammad Najib Azca, membincang nilai-nilai perdamaian dalam Islam dan peran kaum muda dalam mewujudkan perdamaian.

Dalam hati, saya berpikir bahwa topik itu sangat relevan bagi kami berdua, Muslim dan Kristen. Yai Najib Azca sesekali menyuplik al-Qur’an untuk menguatkan bahwa perdamaian adalah hal prinsipil yang mendasari lahirnya Islam. Saya sesekali menengok teman saya itu, memastikan apakah dia mendengarkan atau hanya bermain hape. Ternyata dia fokus menyimak.

“Ada nggak diksi-diksi yang kamu belum familiar?” aku tanya berbisik.

“Ada, misalnya Quraisy, sirah nabawiyah, sama misi kenabian. Belum pernah dengar,” ujarnya.

Aku mengangguk. Dia melanjutkan bahwa ada satu frase yang disinggung pak Najib Azca yang sering ia dengar, yaitu Piagam Madinah. Ketika aku bertanya tentang piagam apa itu, ia menjelaskan bahwa itu semacam dokumen kesepakatan antar umat beragama di Madinah. Sampai sini, saya menyadari bahwa dokumen Piagam Madinah sudah seterkenal itu, dan ini bagus karena artinya mereka menjadi tahu bahwa Islam pada hakikatnya sangat merangkul keberagaman.

Bubar pengajian, kami mengantri mengambil ta’jil. Sembari menunggu buka, kami mengobrol soal pengalaman pertamanya ikut berbuka puasa. Menurutnya, muatan yang disampaikan saat pengajian menjelang berbuka barusan sebenarnya serupa dengan bagaimana komunitas Kristen mengadakan pengajian, yaitu bersifat normatif saja. Artinya, tokoh-tokoh agama hanya mengambil garis-garis besar ajaran agamanya kemudian mengaitkannya dengan dalil-dalil nash yang relevan.

Tentang perdamaian, misalnya. Narasi ini sebenarnya dibicarakan di hampir semua agama di Indonesia. Menurutnya, dalam “pengajian” Kristen pun, topik tentang perdamaian, relasi harmonis lintas agama, dan sebagainya sudah banyak dibahas. Yang kurang tersentuh adalah kajian tentang isu-isu konkret yang sedang terjadi di Indonesia atau yang sedang menjadi isu spesifik nasional.

“Bagaimana kesanmu ikut bukber di masjid?” saya bertanya pengen tahu.

“Ya biasa aja, emang harus gimana?” ia justru bertanya balik secara retoris.

Jawabannya membuatku berpikir, tampaknya fenomena Kristen, atau non-Muslim, ikut euforia berbuka puasa sudah menjadi realitas yang lumrah ditemukan. Bukan hal asing lagi. Saya juga yakin, di kota-kota besar yang basis masyarakatnya sangat heterogen seperti Yogyakarta atau Jakarta, akan mudah ditemukan umat non-Muslim mengikuti ritual Muslim atau sebaliknya, seperti ikut berbuka puasa seperti yang kami lakukan.

Pertanyaannya, lalu ke mana mereka setelah makan ta’jil dan iqamah sudah dikumandangkan? Menunggu teman Muslimnya shalat? Mungkin iya, mungkin tidak. Setelah wudhu, aku langsung menawari temanku itu untuk shalat Maghrib berjamaah. Kabar baiknya, ia mengiyakan.

Kami berdua kemudian memasuki aula masjid. Ia berdiri persis di sampingku agar aku bisa memastikan gerakannya tidak berantakan. Mengantisipasi hal itu, aku berbisik,

“Sudah, nanti liatin aku aja, ikutin aja gerakanku,”

Ia mengangguk, kemudian memulai takbiratul ihram.

Cuplikan sore itu menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama, keberagaman dapat memberikan ruang bagi masyarakatnya untuk saling mengenal satu sama lain. Salah satu momentumnya adalah ketika perayaan hari besar suatu agama. Umat Kristen bisa memahami lebih dekat agama yang dianut teman Muslimnya ketika Ramadhan, sebaliknya umat Muslim bisa mengenal karakter beragama rekan Kristennya saat Natal. Hal itu untuk mengantisipasi penyakit eksklusifitas yang timbul pada masyarakat homogen. Karena ia tidak memahami posisi komunitas diluar kelompoknya, maka ia menjadi semena-mena dan cenderung diskriminatif dalam bersikap.

Kedua, menjadi Muslim yang inklusif memiliki banyak maslahat untuk kebaikan Islam sendiri. Dengan bersikap terbuka, umat Kristen akan merasa nyaman dengan kita dan tertarik untuk belajar tentang Islam. Dengan begitu, mereka akan semakin memahami bahwa Islam pada dasarnya adalah agama kasih, merangkul, dan menyebarkan perdamaian.