Saya Berbincang dengan Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah dan Beginilah Kisahnya

Saya Berbincang dengan Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah dan Beginilah Kisahnya

Saya berjumpa dengan orang ini, eks Jamaah Islamiyah tentang rekrutmen dan gerakan ‘Islam’ lainnya

Saya Berbincang dengan Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah dan Beginilah Kisahnya

“Saya tanya kepada kalian, lebih sempurna ciptaan Allah atau ciptaan manusia?” Tanya Nasir Abbas, mantan Mantiqi 3 organisasi terorisme Jamaah Islamiyah (JI) di hadapan ratusan santri, diceritakan kepada penulis saat kami bertemu secara pribadi di Ben’s Haus Bistro Caffe, Cirendeu Raya, Ciputat pada Senin, (2/03).

“Tentu saja para santri menjawab lebih sempurna ciptaan Allah. Kemudian pertanyaan kedua, lebih sempurna mana: Manusia atau robot? Tentu saja mereka menjawab: Manusia. Pertanyaan terakhir, lebih pilih mana, Al-Qur’an atau Pancasila? Tentu saja mereka menjawab Al-Qur’an. Nah sebenarnya awal mula proses rekruitmen terorisme ya dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini,” lanjutnya.

Nasir Abbas merupakan pemuda berdarah Malaysia yang pernah bergabung kelompok jihadis afganistan. Ia juga mengaku pernah bergabung dengan organisasi teroris Asia Tenggara yakni Jamaah Islamiyah (JI). Saat ini Nasir Abbas bekerja sebagai senior consultant di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR).

“Inti dari rekruitmen itu sebenarnya penanaman paham kebencian,” ungkapnya.

Nasir menyebut, dirinya lebih mudah merekrut orang-orang intoleran dan takfiri untuk berjihad dibanding orang-orang punk, pengamen, pengemis dan lain-lain dikarenakan orang-orang intoleran dan takfiri sudah mengetahui basic keagamaan. Sebagaimana dikatakan Ex. Napiter Ali Imron yang mengklaim dirinya bisa merekrut orang untuk meledakan bom hanya dalam satu jam saja, “Ya tentunya rekrutmen itu kepada orang-orang yang sudah takfiri dan intoleran. Itu lebih mudah,” jelas Nasir.

“Pak, katanya eks ISIS yang anak-anak dibawah umur 10 tahun jadi dipulangkan, ya?” Tanya penulis kepada Nasir Abbas.

“Ya tentu jadi dong. Tapi kan masalahnya begini, anak-anak yang dibawah 2 tahun kan nggak mungkin dipulangkan sendiri. Pasti ada pendamping, tidak mungkin dipisahkan dari Ibunya”

Menurutnya, jika keputusan Pemerintah untuk tidak memulangkan sama sekali eks WNI ISIS, maka sama artinya negara tidak hadir. Namun jika hendak dipulangkan, harus ada deradikalisasi yang matang.

“Kita tidak boleh menggeneralisasi. Bahwa yang berangkat ke Suriah tidak semuanya bisa sampai kesana, ada yang dideportasi di Turki, tidak semua WNI ISIS membakar pasport, pun tidak semua murni kejam, ada beberapa yang berangkat ke Suriah sebab tergiur akan janji-janji seperti sekolah gratis, gaji besar dan lain-lain. Kita jangan menggeneralisasi. Tetapi untuk lebih hati-hati, saya bilang ke Bapak Kementerian Sosial, harus ada kegiatan pembinaan disana, bukan disini. Penyaringannya di sana, jangan di Indonesia. Sehingga Indonesia hanya menerima mereka yang benar-benar sudah taubat,” lanjut Nasir.

HTI FPI dan Kecenderungan Melawan Negara

“Apakah ormas HTI itu seberbahaya ISIS, Pak?” Tanya penulis.

“Sangat berbahaya!” Jawabnya. Beliau menegaskan bahaya HTI yang acapkali playing victim, selalu merasa ditindas. “Mereka ini pandai sekali menutup-nutupi (sejarah Hizbut Tahrir Internasional),” tambahnya nya.

Sebagaimana kita tahu bahwa HTI pernah protes karena dimasukkan ke dalam ormas radikal dan teroris. Mereka beralasan bahwa selama ini HTI tidak pernah terlibat terorisme, tidak punya pasokan senjata, dan lain-lain, “Bohong!” Tegas Nasir Abbas.

Jika kita lihat sejarahnya di negara lain, aksi Hizbut Tahrir sudah sampai terlibat dalam kudeta, teror, dan serangkaian tindakan kekerasan, lantas di Indonesia mereka menutup-nutupi seolah mereka tidak pernah berbuat apa-apa yang membahayakan negara. Ini merupakan bentuk pengkhianatan sejarah.

“Kalau FPI, apakah sama dengan HTI? Mengingat di AD ART mereka tercantum tujuan untama menegakkan Hukum Syariat di Indonesia,”

“Berbeda,” jawabnya.

Jika FPI baru dalam tahap menegakkan hukum syariat, belum pada dasar negara. Sedangkan HTI jelas, mereka ingin mengganti hukum, ideologi, bentuk negara dan hal-hal terkait kenegaraan lainnya. FPI organisasi nasional, dan belum memiliki rekam jejak melawan negara, sedangkan HTI jelas sekali rekam jejak perlawanannya serta merupakan organisasi dari luar negeri.

“Lantas bagaimana dengan seruan-seruan FPI untuk menggulingkan kekuasaan Jokowi baru-baru ini? Apakah masuk dalam tindakan anti-NKRI?”

Kita harus membedakan dua istilah, yakni anti rezim dan anti NKRI. Anti rezim belum tentu anti NKRI, namun anti NKRI pasti otomatis anti rezim pula. Nah yang dilakukan FPI ini karena mereka tidak pro dengan rezim Joko Widodo, maka mereka protes keras dan selalu menyalahkan rezim. Sedangkan yang anti NKRI jelas: HTI, NII, JI, JAT, JAD, MMI dan lain sebagainya. Sehingga FPI baru dikategorikan sebagai ormas intoleran, belum radikal atau bahkan teroris. Namun jika FPI terus bergandeng mesra dengan HTI, ada kemungkinan tindakannya akan tak jauh dari mereka.