
Ramadan 2025 menjadi saksi baru bagi para mualaf yang baru memeluk Islam. Para mualaf ini mencari jalan spiritual untuk babak hidup selanjutnya.
Di Indonesia fenomena mualaf sering ramai tanggapan, terutama ketika dilakukan oleh artis atau influncer. Ribuan orang biasanya setoran kata-kata setuju dan cacian. Publik merasa bahagia, prihatin dan sedih. Publik bahkan menunggu penjelasan dari sang mualaf.
Ini terjadi kepada bintang film dewasa Jepang, bernama Rae Lil Black saat memutuskan mualaf. Publik tidak percaya kalau Rae Lil Black benar-benar mualaf. Publik menganggap Rae Lil Black hanya membuat konten dan sensasi semata.
Tuduhan itu dulunya juga menimpa Dian Sastro, Reza Rahadian, Dali Wassink, Roger Danuarta, Nathalie Holscher, Daniel Mananta, Deddy Corbuzier, Mahalini Raharja, Celine Evangelista, dan Richard Lee dan Bobon Santoso.
Orang-orang terus penasaran dan mengikuti berita-berita bagaimana mereka menjadi seorang muslim/ah dan merasakan Ramadan.
Orang menscroll Tiktok, IG dan media penabur berita berharap dapat penjelasan bombastis dari sang mualaf. Pada saat tidur, buka dan sahur, publik terus mempertanyakan kehidupan para mualaf. Publik mengamati busana, hijab, lipstik, jenggot dan jalan spiritual mualaf. Publik terus mengikuti performa hidup mereka.
Publik merasa kenyang saat dapat penjelasan dari si mualaf, terutama dari Rae: “Jadi, ketika saya meninggal nanti dan ditempatkan di surga, atau apakah dosa-dosa saya benar diampuni atau tidak, its not matter to you. Itu bukan urusan Anda apakah dosa saya diampuni atau tidak, pun apakah aku benar akan ditempatkan di surga atau tidak,” ungkapnya melalui video yang diunggah di akun TikTok pribadinya pada Jumat (7/3/2025).
Baca juga: Lelaki Tidak Bercerita, tetapi Langsung Syahadat di Bulan Suci, Namanya Bobon Santoso
Tren viral mualaf artis
Apakah fenomena keviralan mualaf ini baru terjadi belakangan ini?
Dalam penelusuran saya, fenomena mualaf sudah terjadi sejak adanya Islam. Di Indonesia mualaf menjadi tren keviralan baru terjadi sekitar 2013. Di tahun ini para mualaf menyatu dengan tren hijrah. Keduanya menjadi berita paling banyak dikonsumsi publik dari berita lain.
Misalnya ketika penyanyi Dewi Sandra yang awalnya berpakaian vulgar memutuskan untuk berhijab. Dan ketika Felix Siaw memutuskan untuk mualaf dan kemudian didapuk menjadi ustaz hijrah. Pada tahun-tahun berikutnya bahkan mereka dijadikan role mode baru di kalangan muslim artis: mualaf plus hijrah.
Fenomena mualaf ini terus menjadi tren.
Berita hidupnya seakan penting untuk umat. Saya melihat ada beberapa faktor yang menjadi alasan mereka mualaf. Pertama, populisme Islam dan gerakan Islamisasi. Kedua, karena munculnya kebosanan dalam monologis hidupnya sehingga mereka mencoba berpindah dengan mendekat pada nilai-nilai religius. Mereka mengalami kesadaran bahwa jalan hidup yang dipilihnya selama ini tidak benar, menjenuhkan dan jauh dari nilai-nilai religiusitas.
Ketiga, mualaf sebagai gaya hidup untuk menampilkan hidup yang lebih religius. Mereka memiliki tujuan dan pandangan bahwa berpindah agama adalah jalan keluar dari “derita jiwa” yang kini dipikulnya. Fenomena ini berangkali memberikan dampak positif karena mau belajar menjadi manusia religius. Tetapi juga berdampak negatif bila hanya menjadi peralihan atau migrasi sekadar untuk mencari validasi dan viral.
Keempat, karena terhimpitnya ruang personal. Ada banyak orang menjadi mualaf karena ingin menikah dengan pasangan yang Islam. Kita mudah melihat syarat menikah di kalangan masyarakat kita harus satu agama. Contohnya Mahalini Raharja.
Kelima, tehimpitnya penerimaan di ruang publik. Kita banyak melihat orang berpindah agama karena ingin merasa aman di kalangan “mayoritas” dan kebijakan pemerintah. Maka jalan keluar adalah berpindah.
Kita akan terkaget-kaget ketika melihat satu orang Islam bernama Ahmad Nurcholish telah menikahkan pasangan beda agama mencapai 1858 ribu. Banyak di antara pasangan ini memilih mualaf lebih dahulu baru menikah.
Ekspresi religius dan bisnis religi
Mengapa publik sangat tertarik dengan berita mualaf? Mengapa media sangat keranjingan mengabarkan para selebritis yang menjadi mualaf ini? Apa sesungguhnya yang dicari?
Kita telah melihat beberapa artis memutuskan menjadi mualaf. Kita juga melihat bagaimana media keranjingan mememberitakan. Ternyata di balik tren mualaf di kalangan artis ada daya jual tersendiri di media massa dan mata publik. Mualaf di kalangan artis menjadi pasar baru di dunia selebritas dengan menjadikan agama sebagai produk dagangnya. Produk dagang yang ditawarkan di antaranya produk halal yang meliputi makanan, make up, pakaian, ketenaran, kereligiusan, dan penerimaan oleh “mayoritas”.
Produk-produk halal yang awalnya hanya sebatas makanan merambah ke produk lain yang menekankan pentingnya halal dan persona religius. Halal dan religius saat ini tidak hanya sekedar menjadi label barang dan personaliti tubuh manusia. Namun juga berpengaruh untuk melihat sah tidaknya dan boleh tidaknya dalam penerimaan seseorang di publik.
Dalam kaca mata media, mualaf saat ini ditampilkan sebagai bentuk kepatuhan kepada agama dan cerminan dari kualitas manusia yang baik (high quality), suci, dan religius. Kemudian, masyarakat yang melihat ini percaya pada hal itu dan akhirnya bermai-ramai untuk menerima mereka. Bahkan andaipun mereka menjadi ustaz-ustaza (tanpa ilmu) atau memegang brand Islami, masyarakat akan percaya dan beralih pada brand yang dipakai si mualaf tersebut.
Mualaf artis dan influncer mendapat panggung di media terjadi salah satunya adalah karena ada sensasi, penawaran dan permintaan dalam pasar (Pippa Norris & Ronald Inglehart, 2011). Sehingga yang terjadi bukan religiusitas. Tetapi justru hanya komodifikasi agama yang menitikberatkan pada pakaian berlabel syari. Bukan lainnya.
Untuk menunjang keviralan dan modifikasi itu, para mualaf melakukan dua cara: Pertama, mereka ketika login ke Islam memilih ustaz-ustaz selebritis (punya pengikut banyak) sehingga mudah viral dan menjadi konsumsi publik. Kedua, para mualaf ini bisanya berkelompok dengan para komunitas hijrah dengan ragam tujuan dan misinya. Ini yang disebut Greg Feally dan Sally White sebagai ekspresi yang membisniskan moral dan agama.