Prioritaskan Amar Ma’ruf Ketimbang Nahi Munkar: Kritikan Atas Abdullah Azzam

Prioritaskan Amar Ma’ruf Ketimbang Nahi Munkar: Kritikan Atas Abdullah Azzam

“Nahi Munkar (mencegah kemungkaran) menggunakan tangan itu merupakan kewajiban pemerintah, mengubah kemungkaran dengan lisan merupakan kewajiban para ulama, mengubah kemunkaran dengan penolakan dalam hati merupakan kewajiban bagi orang-orang awam pada umumnya.”

Prioritaskan Amar Ma’ruf Ketimbang Nahi Munkar: Kritikan Atas Abdullah Azzam

Abdullah Azzam dalam risalah al-Amr bil Ma’ruf wan Nahy anil Munkar menjelaskan bahwa nahi munkar merupakan jihad melawan penguasa, menundukkan orang-orang non-Islam dan semua orang yang tidak menjadikan Islam sebagai acuan dalam berperilaku. Jihad yang merupakan cerminan dari nahi munkar ini dimaknainya sebagai qital atau perang. Beliau juga dalam beberapa karyanya yang lain menegaskan bahwa orang muslim yang tidak mau berperang sama saja muslim yang al-humqa, orang bodoh.

Memang terlalu fokus kepada nahi munkar dan mengabaikan amar ma’ruf bukan hanya kecenderungan tulisan-tulisan Abdullah Azzam, namun juga ulama-ulama besar sebelum beliau. Namun tentu dengan titik tekan yang berbeda, jika nahi munkar Abdullah Azzam berbasis pada penggolongan yang ekstrim, nahi munkar dipahami dalam arti sempit, seperti perang, dan yang ma’ruf hanya dirinya saja, sementara yang lain yang munkar. Sementara ulama sekaliber Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim dan ulama-ulama sunni lainnya, yang sangat dipertimbangkan adalah kemasalahatan dan bukan berbasis selalu dengan mengangkat senjata.

Seperti yang telah kita lihat pada pandangan Khawarij, Muktazilah, Asy’ariyyah, Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ternyata memang ulasan mengenai prinsip fundamental dalam Islam ini lebih banyak difokuskan kepada aspek kedua, yakni aspek nahi munkar, aspek yang sangat legal formal sementara ulasan mengenai amar ma’ruf jarang sekali terlintas dalam pemikiran-pemikiran mereka.

Padahal amar ma’ruf itulah yang lebih utama dan lebih asali daripada nahi munkar. Kalau kita gunakan istilah fikih, amar ma’ruf itu hukm al-asl dan nahi munkar ialah hukm al-far’. Ahli fikih memang lebih banyak membahas aspek yang kedua ini, yaitu aspek legal formal nahi munkar. Sementara aspek moralnya, yakni amar ma’rufnya tidak pernah menjadi perhatian utama, bahkan mungkin abai sama sekali.

Padahal kalau kita perhatikan al-Qur’an, kita dapat temukan anjuran untuk melakukan ma’ruf atau kebaikan ini ada pada dua puluh tujuh ayat, dan jika kita tambahkan lagi misalnya dengan ayat-ayat yang di situ disebut amar ma’ruf berbarengan dengan nahi munkar, maka jumlahnya ada tiga puluh tujuh ayat. Ini jelas jumlah penyebutan ma’ruf lebih banyak daripada jumlah penyebutan larangan untuk melakukan munkar. Larangan untuk melakukan kemunkaran disebut hanya ada pada tiga belas ayat al-Qur’an.

Hal demikian menunjukkan bahwa anjuran untuk melakukan yang ma’ruf atau yang baik itu adalah hukum asal sedangkan mengubah kemunkaran ialah hukum cabang. Dalam Ushul Fikih, yang cabang ini harus dikembalikan kepada yang asal. Ini sangat umum sekali dalam al-Quran. Apalagi kalau kita bandingkan ayat-ayat hukum dengan ayat-ayat akhlak atau moral, ayat-ayat akhlak disebut lebih banyak daripada ayat-ayat hukum, dan al-Quran ialah “kitab akhlak”, bukan sekedar “aturan-aturan legal formal, apalagi hukum pidana”.

Namun terlepas dari itu semua, al-Quran menganjurkan manusia untuk melakukan kebaikan dan amalan-amalan terbaik, amalan yang menyatukan bukan memecah belah. Demikian juga al-Quran menegaskan untuk menghindari keburukan dan perilaku paling buruk…secara lebih ringkasnya, semua anjuran itu terangkum dalam prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Prinsip ini sangat dituntut oleh al-Qur’an:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ، وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمْ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS: Ali Imran ayat 104)

Perintah dalam al-Qur’an ini berbentuk jamak (wal takun minkum), jadi tentu mengharuskan semua manusia, baik individu maupun masyarakat, untuk mengajak kepada kebaikan dan menyuruh kepada hal-hal yang baik dan yang terbaik. Adapun prosedur mencegah kemungkaran, Nabi SAW telah menjelaskan: “Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya, jika tidak bisa, ubahlah dengan hati, meski mengubah kemungkaran hanya menolak dalam hati termasuk ke iman yang lemah.”

Al-Qurthubi menjelaskan hadis di atas demikian:

قال العلماء: “الأمر بالمعروف باليد (واجب) على الأمراء (الحُكَّام)، وباللسان على العلماء، وبالقلب على الضعفاء، يعني عوامّ الناس؛ فإنّ معنى الاستطاعة: التمكّن من التغيير دون ضُرّ يلحقه، أو يلحق عموم الناس كالفتنة”.

 “para ulama berpandangan bahwa mengubah kemunkaran dengan menggunakan tangan itu merupakan kewajiban pemerintah, mengubah kemungkaran dengan lisan merupakan kewajiban para ulama, mengubah kemunkaran dengan penolakan dalam hati merupakan kewajiban bagi orang-orang awam pada umumnya. Makna istito’ah pada hadis ini ialah kemampuan untuk mengubah kemunkaran tanpa berakibat kepada kemudaratan atau kemampuan untuk mengubah kemunkaran tanpa mengakibatkan orang-orang terjerumus ke dalam konflik sosial berskala besar (al-fitnah).”

Ini tentu jika kemunkarannya tidak berasal dari otoritas politik yang sedang berkuasa. Adapun jika kemunkarannya berasal dari pemerintah, atau otoritas politik yang berada di bawah naungan pemerintah, kemunkaran ini bisa disebut juga sebagai kemunkaran sosial politik, kemunkaran yang dilindungi oleh rezim yang berkuasa. Untuk mengubah kemunkaran social politik ini, seseorang harus mendapatkan dukungan kekuatan social politik yang berimbang. Hal demikian, agar kita jangan seperti cucu Nabi SAW, Imam al-Husain. Beliau syahid di tengah jalan ketika hendak mengubah kemunkaran Yazid bin Muawiyah tanpa mempertimbangkan kekuatan politik lawan dan kekuatan politik yang mendukung dirinyanya. Akhirnya beliau gagal dalam melakukan revolusi total terhadap sistem yang ambruk saat itu.

Pandangan perlunya backingan yang kuat dalam mengubah kemunkaran rezim tertentu misalnya mendapat basis legitimasinya pada hadis nabi: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali dalam lindungan dan pembelaan dari kaumnya.” Imam al-Husain, cucu Nabi, tidak mempertimbangkan hadis ini dalam melakukan aksi revolusi.

Hadis di atas maksudnya seorang Nabi dalam mengubah kemunkaran yang ada pada umatnya tentunya sudah ada yang membela dan yang mem-backing perjuangannya. Nabi Muhammad misalnya dibacking oleh Bani Hasyim, terutama pamannya, Abu Thalib dan ketika suku Quraish masuk Islam, Nabi dibacking oleh suku Quraisy secara keseluruhan untuk mengubah kemunkaran di Jazirah Arab.

Nah, jika Nabi yang merupakan orang pertama kali yang diperintahkan untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar saja harus mendapat dukungan terlebih dahulu dari kekuatan social politik kabilahnya, apalagi orang-orang yang bukan Nabi. Mereka tentu harus membutuhkan kekuatan social politik berlebih untuk mencapai target dakwahnya. Adapun jika orang-orang tersebut tidak memiliki dukungan kekuatan politik, pastinya perjuanganya akan sia-sia dan akan mengalami kekalahan dalam memperjuangkan perubahan.

Dan biasanya nalar politik Sunni Islam selalu tidak membolehkan cara-cara mengubah kemunkaran yang akan mendatangkan mudarat yang lebih besar. Aksi-aksi jihad, sweeping dan seterusnya yang dilakukan oleh sekelompok ekstremis jelas sangat minim pembacaan terhadap literatur keislaman. Mengubah kemunkaran harus berbasis maslahat.

Negara Suriah hancur akibat ulah kaum yang mengatasnamakan dirinya sebagai mujahidin yang ingin mengubah kemunkaran Rezim Basyar al-Assad.  Dan jika ayat-ayat al-Quran lebih banyak seruan untuk melakukan yang ma’ruf, kenapa nahi munkar yang berimplikasi kepada gerakan jihad desktruktif ini yang malah diutamakan. Beberapa pakar terorisme mengemukakan bahwa gerakan-gerakan jihad yang ada saat ini mendapat inspirasinya dari pikiran-pikiran jihad Abdullah Azzam ini sehingga wajar di kemudian hari aksi terorisme ditujukan asal muasalnya dari sosok anggota Ikhwanul Muslimin ini.