Amar Ma’ruf Nyambi Mungkar?

Amar Ma’ruf Nyambi Mungkar?

Ya karena kita tidak tahu, kita tidak boleh sok tahu. Rasa sok tahu itu tampak dengan cara kita memaksakan cara pandang agama dan pemahaman kita atas syariat kepada orang lain. Apalagi kalau itu dipaksakan dengan kekerasan sebagai bonus tambahan.

Amar Ma’ruf Nyambi Mungkar?

Sore lengang. Santri-santri pesantren dekat angkringan Kang Jan masih sibuk mengaji. Pelanggan tinggal orang-orang kampung yang melepas lelah seusai bekerja. Suara obrolan sesekali terdengar renyah antara pelanggan dan penjual angkringan tengah baya itu.

Pukul 17, beberapa santri mulai keluar dari gerbang pondok. Seperti biasa, sinambi menunggu maghrib mereka akan duduk bercengkrama di angkringan Kang Jan. Nyaris tiada pengecualian. Santri senior pun tampak ikut menikmati suasana senja di angkringan Kang Jan.

Rutinitas depan pesantren ini telah terjadi bertahun-tahun. Sejak tahun 90anm Kang Jan sudah membuka warung angkringan di depan pesantren itu. Kelekatan santri dan Kang Jan pun bukan main-main. Beberapa santri yang sudah tamat terkadang masih ada yang kembali ke angkringan Kang Jan untuk sekedar menikmati kenangan sore.

Sore itu Siwa menghadap Kang Jan cerita baru. Ia bercerita soal kekerasan di beberapa daerah yang dilakukan oleh organisasi masyarakat Islam tertentu. Soal ini tentu menarik bagi seorang santri. Untuk santri yang mempelajari akhlaq, seperti Siwa, kejadian demi kejadian tersebut sangat menarik untuk dijadikan bahan perbincangan sore sambil menikmati segelas teh nasgitel. Setelah memesan minuman hangat dan meminta empat potong sayap ayam bakar Siwa mulai memancing suara Kang Jan.

“Kang, ada ormas Islam memukuli orang lagi di Jakarta,” pancingnya.Kang Jan masih diam dan sibuk mengipasi sayap ayam pesanan Siwa di atas pembakaran.

“Kok bisa yang kang ada Ormas Islam yang suka menyerang kelompok lain yang karena dianggap salah?” Siwa kembali memancing dengan pertanyaan.

“Kamu heran atau tidak tahu jawabannnya?” balas Kang Jan.

“Heran sekaligus tidak tahu,” balas Siwa sedikit tergelak.

“Kira-kira apa yang diperjuangkan oleh kelompok itu, Wa?” tanya Kang Jan.

“Ya saya sendiri tidak tahu, Kang. Setahu saya, sesuai ucapan ketua kelompok mereka, mereka mau menegakkan syariat Islam,” jelas Siwa.

“Heeem, syariat Islam yang mana Wa?” Kang Jan meneruskan.

Siwa tercengir menerima pertanyaan bertubi-tubi. Meski santri mempelajari dengan fasih kitab-kitab kuning, seperti Siwa, menjawab soal itu pun tetap tidak mudah. Siwa sangat mengerti bahwa pendapat tentang itu tidaklah tunggal. Masih bayak yang menyisakan perdebatan.

“Ya, syariat Islam versi mereka, Kang” jawab Siwa sekenanya.

“Kamu ini kok aneh, syariat Islam kok pakai versi segala,” tukas kang Jan.

“Maksud saya, orang kan banyak berbeda bendapat soal syariat. Nah mereka itu memperjuangkan syariat versi mereka kang,” jawab Siwa.

“Yang namanya Syariat itu ya tunggal Wa. Syariat yang ditegakkan Gusti itu satu. Nah yang versinya berbeda itu cara melihat. Istilah orang kerennya: perspektif. Artinya yang beragam itu bukan syariatnya, tapi cara pandang tentang syariat,” Kang Jan melanjutkan.

“Terus yang benar yang mana, Kang?” tanya Siwa.

“Lho, kok tanya. Yang benar ya yang dimiliki Allah” jawab Kang Jan sambil tersenyum simpul.

“Terus tentang tindakan ormas tadi bagaimana? apa itu berarti sesuai syariat?” Siwa memberondong dengan pertanyaan.

“Saya tidak tahu,” tukas Kang Jan.

“Kok tidak tahu?” Siwa mulai heran. Diskusi bersama Kang Jan memang selalu diselipi keheranan lawan bicaranya. Maklum, pria tengah baya itu sealu punya cara unik membicarakan hal-hal subtil.

“Lantas, siapa yang tahu penafsiran syariat mana yang benar?” Jawab Siwa. Di wajahnya bingung menggurat meski ia coba menyembunyikannya.

“Pertanyaanmu sudah menjawab semua obrolan ini, Wa,” jelas Kang Jan.

Siwa bertambah bingung. Kebingungannya berimbas pada segelas teh. Gelas besar bening wadah teh berulang-ulang ia pandang dan putar. Otak pemuda itu berulang-ulang mencoba memahami kata-kata Kang Jan.

“Maksudnya begini, Dik. Kesimpulan dari pertanyaanmu adalah kita sama-sama tidak tahu penafsiran atas Syariat mana yang benar dan tepat sesuai dengan Syariat Tuhan. Kita hanya bisa mengira. Menduga dan mencocokkan dengan pesan-pesan tuhan dalam Al-Qur’an dan hadist Kanjeng Nabi. Berarti kebenaran mutlaknya ada pada sang Khalik,” terang Kang Jan.

“Lalu,” potong Siwa.

“Ya karena kita tidak tahu, kita tidak boleh sok tahu. Rasa sok tahu itu tampak dengan cara kita memaksakan cara pandang agama dan pemahaman kita atas syariat kepada orang lain. Apalagi kalau itu dipaksakan dengan kekerasan sebagai bonus tambahan. Itu tidak tepat. Berbeda itu wajarkan?”

“wajar, Kang,” timpal Siwa.

“Ya yang tidak wajar adalah membuat perbedaan itu menjadi alasan untuk memaksakan pemahaman. Kalau memang mau menegakkan syariat, tentu jalannya tidak dengan menginjak-injak syariat. Contohnya ya dengan memukuli orang. Kalau niatnya amar ma’ruf, ya masa harus dicampuri dengan kemungkaran. Itu namanya amar ma’ruf nyambi mungkar,” jelas Kang Jan.

Siwa sedikit geli dengan istilah yang dipakai Kang Jan.

“Syariat Islam itu bukan soal hukum saja, ada akhlaq di dalamnya. Ada ihsan. Ada iman. Toh Kanjeng Nabi diutus untuk memperbaiki akhlaq, bukan untuk membangun style cara berpakaian,” lanjut Kang Jan.

“Maksudnya style berpakaian?” kebingungan siwa kumat.

“Ya, kita sering kali merasa paling Islam karena berjubah, berjengot dan berpakaian seperti orang Arab. Itu bukan inti agama. Kalau berjubah tetapi memaksakan pemahaman agama juga tidak tepat. Berjubah itu tidak mengugurkan kewajiban orang untuk berakhlaq dengan baik terhadap siapa saja,” Lanjut Kang Jan.

“Baiknya bagaimana, Kang?” tanya Siwa.

“Baiknya sekarang kau habiskan teh itu dan kembali ke pondok. Sebentar lagi maghrib. Ikutilah pengajian dengan baik agar kau bisa mengerti betul soal agama. Artinya, urusi agamamu dulu, baru urusan agama orang lain. Tata akhlakmu, baru kau boleh menata yang lain. Baiknya kita pahami agama dengan baik,” Kang Jan sedikit mengusir karena suara tilawah sudah mulai terdengar di masjid pesantren.

“Belajarlah dengan baik sampai kau mengerti bahwa iman itu harus disokong akhlak yang baik, bukan hanya jubah yang putih dan jenggot yang tebal. Agama itu soal hati. Karena itu hati harus bersih dari rasa sombong, termasuk rasa benar sendiri,” Kang Jan melanjutkan.

Siwa menenggak sisa teh di gelasnya. kepalanya masih berpikir. Kang Jan pun menerka bahwa Siwa belum sepenuhnya mengerti. Tapi Kang Jan yakin itu soal waktu.

*****

Senja menguning. Suara Azan terdengar. Angkringan Kang Jan kembali sepi. Sementara.
—-

Tulisan ini juga saya muat di blog pribadi http://kabartersiar.web.id