Kekeliruan Abdullah Azzam dalam Memahami Makna Jihad dalam Al-Qur’an

Kekeliruan Abdullah Azzam dalam Memahami Makna Jihad dalam Al-Qur’an

Kekeliruan Abdullah Azzam dalam Memahami Makna Jihad dalam Al-Qur’an

Salah satu konsep yang genuine Islam ialah konsep “Jihad”. Konsep ini sering keliru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “The Holy War” alias perang suci. Al-Mawdudi seperti yang dikutip oleh Abdullah Azzam dalam Majalah al-Jihad, mungkin juga karena pengaruh bacaannya terhadap karya-karya orientalis Inggris, menerjemahkan kata “Jihad” dalam pengertian ‘perang suci’. Tentu kata “Jihad” yang maknanya dikonsepsikan sebagai “perang suci” tidaklah tepat dan merupakan hasil terjemahan yang kurang teliti. Penerjemahan kata “Jihad” sebagai perang suci kebanyakan lahir dari tradisi orientalisme, bukan dari Islam. Bahasa Arab sendiri tidak menyediakan arti yang seperti itu.

Jika demikian halnya, lalu apa makna “Jihad” yang sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang Islam?

Dalam kamus-kamus bahasa Arab, terutama kamus Lisan al-Arab karya Ibnu al-Manzhur, akan kita temukan kata al-jahd dengan fatah setelah jim mengandung makna al-masyaqqah ‘usaha’. Jadi jika dikatakan dalam bahasa Arab, Ijhad jahdaka fi hadza-l amr, maka artinya ialah ublug ghayataka ‘Berusahalah untuk mencapai tujuanmu’. Sedangkan kata al-juhd dengan dommah setelah jim mengandung arti at-taqah ‘kekuatan’ atau ‘daya’. Lebih jauh lagi, menurut kamus-kamus Arab klasik tersebut, kata al-juhd ini tidak bisa digunakan pada kalimat ijhad juhdaka, jadi yang ada ialah ijhad jahdaka dengan fatah setelah jim.

Dalam al-Qur’an juga, kata “Jihad” selalu dalam bentuk nakirah. Kata “jihad” yang digunakan oleh al-Qur’an tidak pernah didahului artikel definit al, “al-Jihad”. Yang ada hanya “jihad”, bukan “al-jihad”.  Dengan kata-kata lain,  kata “jihad” selalu hadir dalam al-Qur’an dalam bentuk nakirah, yakni bentuk kata tanpa artikel definit al. Kata ini sebenarnya berasal dari verba Jaahada-Yujaahidu dengan bentuk denominatifnya (sebut saja masdarnya), “Jihadan”, yang biasanya selalu disertai dengan verbanya (seperti wajahidhum jihadan kabiran). Dalam al-Qur’an, kata “jihad” tidak hadir dalam bentuk masdar berpola mufa’alah.

Maksudnya, dalam al-Qur’an, tidak akan kita temukan masdar mujahadah dari verba jaahada-yujaahidu, yang artinya, mengindikasikan ada dua agen berpartisipasi aktif dalam melakukan sesuatu (yakni, menunjukkan arti ke-saling-an; saling perang, saling bunuh, saling bantu dst).

Dengan tidak ada bentuk mujahadah yang menunjukkan arti saling untuk kata kerja jaahada-yujaahidu, tentunya, verba kata “Jihad” ini maknanya hanya tindakan yang berasal dari satu pihak, yakni pihak muslim, karena pihak muslim berperang sebagai pembelaan terhadap diri atau berperang di jalan Allah. Jadi muqatil al-muslim atau “orang yang berperang membunuh muslim” tidak masuk ke dalam kategori kata jihad. Sebab, kata jihad hanya mengandaikan satu pihak yang melakukan aksi tertentu sedangkan kata mujahadah mengandaikan dua belah pihak saling melakukan aksi tertentu.

Dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Mekah, kata yang berkenaan dengan “jihad” itu sendiri disebut tiga kali. Menariknya, kata “Jihad” yang kita temukan pada ayat-ayat makkiyyah ini tidak ada kaitannya dengan ‘perang mengangkat senjata’, karena perang bukanlah metode dakwah Nabi saat berada di Mekah.

Dengan kata-kata lain, makna kata ‘Jihad’ pada fase pewahyuan di Mekkah mengandung dua kemungkinan makna; pertama, penyampaian dakwah dengan argumen yang kuat dan memuaskan. Sebut saja jihad di Mekkah ini maknanya ialah “perang dengan kata-kata” (al-hijaj wal qina), bukan “perang dengan senjata” dan kedua, menahan hawa nafsu dan keinginan-keinginan negatif (qam’u hawan nafs wa kabhus syahawat).

Kita coba lihat tiga ayat tentang “jihad” yang diturunkan di Mekah:

Sesuai dengan kronologi turunnya wahyu, ayat pertama yang berbicara mengenai jihad ialah firman Allah SWT yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:

فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ  جِهَاداً كَبِيراً

“Janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang kafir. Sebaliknya, jihadilah mereka melalui al-Qur’an dengan sebenar-benarnya jihad” (QS: Al-Furqan ayat  52).

At-Thabari menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

لا تطع الكافرين فـيـما يدعونك إلـيه من أن تعبد آلهتهم، ولكن جاهدهم جهاداً كبـيراً (جادلهم وأقم الحجة عليهم)، حتـى ينقادوا للإقرار بـما فـيه

“Janganlah kamu ikuti keinginan orang-orang kafir yang mengajakmu untuk menyembah tuhan-tuhan mereka tapi debatlah mereka dan sampaikan dengan argumen yang kuat sampai mereka tunduk mengakui kebenaran al-Quran.”

Ayat kedua yang masih dikategorikan sebagai ayat makkiyah dapat kita temukan di surat al-Ankabut ayat 2 yang bunyinya ialah:

وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ، إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

 “Dan barang siapa yang berjihad, sesungguhnya jihadnya untuk dirinya sendiri, dan Allah Maha Kaya dari alam semesta.”

Az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf menafsirkan ayat di atas sebagai berikut:

“وَمَن جَاهَدَ” نفسه في منعها مما تأمر به، وحملِها على ما تأباه “فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ” لها، لأن منفعة ذلك راجعة إليها، وإنما أمَر الله، عز وجل، ونهى رحمة لعباده؛ وهو الغني عنهم وعن طاعتهم”

 “Orang yang mengekang dirinya dari memperturut hawa nafsu dan menghindari diri dari keinginan syahwatnya sebenarnya ia hanya mengekang untuk dirinya sendiri. Sebab, keuntungan dari mengekang diri dari nafsu akan kembali kepada diri orang yang bersangkutan. ”

Lebih jauh lagi, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan:

وهذه الآية هي كقوله تعالى: “مَنْ عَمِلَ صَالِحاً فَلِنَفْسِهِ” أي من عمل صالحاً فإنما يعود نفع عمله على نفسه، فإن الله تعالى غني عن أفعال العباد

“Ayat ini sama dengan firman Allah lainnya yang berbunyi: ‘Barang siapa yang beramal salih, maka kebaikannya ialah untuk dirinya sendiri’, maksudnya, orang yang melakukan amalan salih, keuntungan amalannya ini akan kembali ke dirinya sendiri, karena Allah SWT tidak butuh amalan hamba-Nya. ”

Ayat ketiga tentang jihad yang turun di Mekah dapat kita temukan pada surat al-Ankabut ayat 69. Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

“dan orang-orang yang berjihad di jalan kami, akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami, dan sesungguhnya Allah akan selalu bersama orang-orang yang berbuat baik.”

Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir dalam masing-masing tafsirnya menafsirkan ayat di atas demikian:

الذين يعمَلون بما يعلَمون، يهديهم الله لما لا يعلمون

“Orang-orang yang mengamalkan ilmu mereka akan diberikan petunjuk oleh Allah tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui sebelumnya.”

Senada dengan tafsiran ini, kita temukan juga hadis Nabi yang berbunyi:

من عمِل بما علِم علّمه الله ما لم يعلم

“Orang yang mengamalkan apa yang sudah ia ketahui akan mendapat pengajaran dari Allah mengenai hal-hal yang tidak ia ketahui.”

Jadi, dalam tiga ayat yang diturunkan di Mekah, tidak kita temukan kata jihad dalam pengertian “perang mengangkat senjata”. Paling tidak, jihad di sini, mengandung tiga hal; pertama, jihad dalam pengertian “menyampaikan hujjah yang kuat” agar orang musyrik percaya; kedua, jihad dalam pengertian “mengekang hawa nafsu” dan ketiga, jihad dalam pengertian “mengamalkan ilmu yang sudah kita dapatkan”, karena ganjarannya ialah Allah akan mengajarkan kita ilmu yang belum kita ketahui sebelumnya.

Inilah makna “Jihad” dalam konteks perjuangan Nabi di Mekah. Sayangnya, tiga ayat di atas oleh Abdullah Azzam selalu dipelintir maknanya sebagai perang suci melawan orang-orang kafir. Pandangan ini tentu tidak berbasis pada penafsiran ulama-ulama salaf.