Siniar atau podcast di Youtube mulai menggantikan televisi dan radio. Penonton, pendengar hingga pembaca media massa telah banyak bergeser ke media sosial, di mana Youtube dan Tiktok sebagai alternatif utama mereka.
Para pendakwah Islamis populis, macam Felix Siauw, Khalid Basallamah dan kawan-kawan, lebih dahulu memanfaatkan ceruk pasar ini, ketimbang para ulama, kyai, hingga ustadz di kalangan Islam tradisionalis bahkan modernis. Mereka mulai membangun kanal-kanal Youtube sebagai fondasi utama dakwah mereka, lalu diikuti akun-akun TikTok atau Instagram sebagai lini depan pemasarannya.
Jika Hew Wei Weng, akademisi asal Malaysia, menyebutkan kreatifitas Felix Siauw dan kawan-kawan dalam media sosial dan gambar visual untuk menyebarkan ideologi HTI di kalangan anak muda Muslim Indonesia. Pendekatan dakwah Felix, menurut Weng, bersifat menghibur namun konservatif, santai namun dogmatis, dan bersifat personal namun politis.
Hasil amatan Weng atas dakwah Felix dan kawan-kawan tidak saja telah berkembang pesat, bahkan sudah melompat lebih jauh. Ketimbang menghadapi penolakan warga di berbagai daerah, Felix dan kawan-kawan malah membuat kelas-kelas khusus hingga konten-konten berbayar (Tak Murah Ya). Ceruk pasar atas kelas dan konten berbayar ini tidak kecil.
Penguasaan teknologi mungkin bisa jadi faktor penting, namun kemampuan dalam membuat konten yang sesuai dengan selera pasar jelas tidak dapat diabaikan. Felix dan kawan-kawan memiliki kemampuan membaca selera tersebut dan menyulapnya menjadi konten-konten “menarik.”
Beberapa hari terakhir, saya menonton banyak konten siniar yang digagas dan diisi, baik oleh mereka sendiri atau menyertakan beberapa pembicara tamu dalam beberapa tema khusus. Menariknya, proses normalisasi beragam narasi Islamisme, sebagaimana sudah diulas dalam kajian yang dilakukan Weng, masih tetap menjadi “semangat zaman” di setiap konten mereka.
Lebih jauh, di beberapa konten terakhir ini sisi komedi atau guyonan mulai dimasukkan. Felix Siauw dan kawan-kawan sepertinya menggenjot sisi menghibur dari dakwahnya di media sosial. Selain menarik audiens yang lebih luas, mereka sepertinya mulai memproduksi konten “menertawakan radikalisme agama.” Kok bisa?
***
Kanal Youtube “YNTV” yang dibangun oleh Felix dan kawan-kawan adalah pengembangan dari gerakan anak-anak muda telah dirintis lama sebelumnya. Gerakan “Yuk Ngaji” terus bertumbuh hingga hari ini, bahkan telah memiliki komunitas di beberapa daerah luar Jawa, seperti Palangkaraya dan Banjarmasin.
Felix kemudian menyulap gerakan tersebut menjadi sebuah kanal Youtube yang hingga hari ini cukup rajin, bahkan bisa terbilang banyak dalam memproduksi konten. Menariknya, beberapa konten yang saya konsumsi, mereka mulai membuat kreasi-kreasi baru dalam dakwah mereka dari apa yang dijelaskan oleh Weng di atas.
Akhir-akhir ini, Felix dkk. berkolaborasi dengan beberapa komika. Nama-nama besar seperti Ernest Prakasa hingga Bintang Emon pernah mampir dan membuat konten bareng. Di bulan Ramadhan ini, Felix juga menduplikasi apa yang pernah dilakukan oleh Deddy Corbuzier, Habib Ja’far al-Haddar, dan Onad dengan program Login-nya, dengan berkolaborasi dengan Young Lex dan Dr. Richard Lee.
Permintaan dan selera pasar bisa jadi pertimbangan utama kolaborasi Felix tersebut. Namun, politik Islamisme yang mereka usung sepertinya belum benar-benar hilang. Bahkan, lewat konten-konten bersama komika, mereka mulai menghadirkan wajah Islamisme yang lebih “fun” dan santuy.
Ada kajian para sarjana yang melihat fenomena di atas sebagai pergeseran ke sisi moderat dalam beragama di kalangan Islamis populis, macam Felix dkk. Poin sentral dalam kajian Weng terkait normalisasi atas radikalisme agama belum benar-benar terbantahkan. Terlebih, jika dilihat dari konten-konten mereka terkait demokrasi dan kehidupan modern sangat jelas usaha Felix dkk., dalam memformulasikan ulang narasi tentang politik Islamisme.
***
Perkembangan teknologi media telah menjadi bagian dari dinamika keberagamaan hari ini. Sepertinya hampir seluruh proses keberagamaan terkait dalam termediasi. Di mana ada peran media di hampir seluruh keberagamaan, termasuk Islam, masyarakat hari ini. Televisi, radio, hingga media sosial, berperan vital dalam ekspansi pesan-pesan agama.
Kehadiran media inilah yang turut menjadi variabel dalam perubahan wajah keislaman kita. Dengan kata lain, adopsi teknologi media baru biasanya menuntut untuk mengkonfigurasi ulang banyak praktik mediasi keagamaan tertentu. Adaptasi selalu menghadirkan negosiasi, tarik-menarik, hingga menghadirkan aktor-aktor baru dalam dinamika keberagamaan masyarakat modern.
Namun, kita tidak boleh mengabaikan begitu saja sisi masyarakat Muslim. Sebagai konsumen, mereka jelas memiliki “kemerdekaan” dalam memilih konten-konten keberagamaan yang dinilai “cocok” dengan selera mereka. “Pasar Agama” kata Robert Hefner, akademisi asal Amerika. Agama telah menjadi barang yang bisa dipilih, ditinggalkan, bahkan dicampur-campur.
Konten-konten siniar yang diproduksi oleh Felix dkk. jelas beberapa kelebihan, sehingga bisa mendapatkan engagement, atensi, hingga impressi lebih banyak dari konten-konten para ulama atau kyai lain. Selain alasan kanal Youtube mereka sudah memiliki ceruk pasar penikmat yang jelas, karena dibangun dari gerakan anak muda, konten-konten “YNTV” juga memakai simbol-simbol atau
Kita bisa melihat “Topi Luppy,” Blangkon, kaos bertulisan aksara Korea, hingga memakai istilah-istilah yang akrab di kalangan anak muda dan netizen. Islamisme hadir dalam perbincangan santai dan pembicara yang “asyik.” Posisi komika yang bersentuhan dengan dinamika Islamisme pun tidak alergi dibincang di konten-konten mereka.
Di tengah popularitas para komika yang sedang menanjak, beberapa pendakwah Islamis mulai memakai strategi komedi dicampur aduk dengan perbincangan dalam tema serius untuk meraup atensi dan impressi lebih banyak lagi. Selain itu, para komika ini juga mulai dekat dengan beberapa komunitas belajar agama kelas atas, sehingga perjumpaan mereka dengan para pendakwah Islamis populis, macam Felix dkk, jelas semakin sering.
Di titik inilah, kita bisa melihat usaha Felix dkk. dalam mengemas politik Islamisme dalam bingkai “santuy” dan “asyik.” Namun, apakah “Semangat Zaman” yang terpendam dalam politik Islamisme bisa benar-benar hilang? Sepertinya sulit. Sebab, transformasi media atas Islamisme belum menghilangkan, namun lebih pada menyembunyikan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin