Kisah Hijrahku Setelah Nonton Felix Siauw di Youtube

Kisah Hijrahku Setelah Nonton Felix Siauw di Youtube

Hijrah ternyata tidak melulu tentang yang cerah-mencerahkan.

Kisah Hijrahku Setelah Nonton Felix Siauw di Youtube
Ustad Felix Siauw latihan memanah. Olahraga ini juga sedang tren di kalangan umat islam, meskipun seharusnya perlul hadisnya perlu dikontekstualisasi.

Dalam sebuah permenungan, ingatan saya tetiba terlempar pada memori tiga tahun silam, ketika saya baru saja menjadi sobat hijrah. Meski latar belakang keluarga bukan dari kalangan yang agamis, saya selalu memiliki keinginan untuk, katakanlah, suatu hari nanti jadi orang yang lebih baik dalam segi agama.

Terus terang, saya sedianya selalu resisten terhadap perintah shalat atau mengaji dari orang tua karena toh hidup sudah cukup dengan jadi orang baik kepada sesama. Bagi saya waktu itu, urusan peribadatan seperti shalat dan mengaji sebatas perkara ritualitas, alias simbolis belaka.

Berangkat dari pengetahuan superdangkal perihal agama, saya tak pernah benar-benar memiliki pemahaman yang jelas tentang Islam itu sendiri. Bagi saya, Islam adalah perkara yang sesederhana rukun Islam dan rukun Iman. Saya menerima begitu saja semua aturan ritus dalam Islam sebagai bentuk dari Islam itu sendiri—tanpa pernah memahami esensi dari ibadah itu sendiri.

Mengenal Felix Siauw

Mungkin bagi sebagian besar sobat hijrah, bil khusus mereka yang rajin mengaji via Youtube atau media sosial lain, nama Felix Siauw tentulah akrab sekali. Dan, masyaAllah, lewat Felix Siauw-lah saya jadi terpesona sama kajian Islam di Youtube. Perasaan ini berbiak untuk kali pertama sewaktu saya nonton betapa ciamiknya Felix Siauw sempat mematahkan argumen Permadi Arya alias Abu Janda dalam adu debat di talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 5 Desember 2017 silam. Kala itu, tema yang diperdebatkan  seputar isu-isu dalam gerakan Islam akbar bernama Reuni 212 yang digelar di Jakarta.

Dalam pandangan saya, penceramah bernama asli Siauw Chen Kwok yang menasbihkan diri sebagai pemilik pengikut media sosial terbanyak dalam forum waktu itu tampak sangat menguasai materi, sementara lawan debatnya, Abu Janda, terlihat kalang kabut mengahadapi pertanyaan demi pertanyaan. Cakap, cerdas, bernas, dan santun, sekaligus berpenampilan sederhana, saya mengira bahwa pria kelahiran Palembang itu seperti representasi dari wajah Islam yang seharusnya.

Subhanallah, kekaguman pada sosok pria berdarah Tionghoa-Indonesia itu tak terhenti di layar kaca. Btw, terimakasih lhoh Bang Karni Ilyas.

Sejurus kemudian, saya lalu berselancar, melakukan ekspansi pencarian informasi melalui berbagai platform media sosial dengan sangat militan. Mulai dari konten di akun Instagram sampai video kajian Felix Siauw di Youtube pun saya simak dengan khidmat, dan kun fayakun, jadilah saya semakin digelimangi rasa kagum.

Lha gimana, di usia yang baru menginjak 15 tahun, pengetahuan keislaman Felix Siauw kabarnya telah sangat fasih, bahkan dalam menjelaskan segala macam hukum Islam dan sejarah kejayaan Islam—terutama kisah sang Penakluk Konstantinopel. Semua itu ditulis dalam bukunnya yang berjudul Muhammad Al-Fatih 1453.

Tentu saja, saya yang identitas keisalamannya telah ditentukan oleh konstruksi sosial sejak lahir pun merasa tertampar. Maka, di suatu hari yang biasa saja, saya memutuskan membeli buku itu setelah tak sengaja menjumpainya di sebuah toko buku bilangan Yogyakarta.

Dari buku turun ke hati, begitulah kiranya kisah hijrah saya bermula. Membaca buku itu, saya seperti diajak bersafari-ingatan, padahal saya tak punya pra-pemahaman tentang kejayaan Islam di masa lampau. Sejurus dengan itu, tumbuhlah semacam jiwa korsa yang secara ajaib menciptakkan rasa rindu terhadap kegemilangan Islam di dunia. Ah, andai pemimpin di negeri ini bisa sekaliber Al Fatih, maka bukan tidak mungkin jika Indonesia akan menjadi negara yang adidaya, pikir saya ketika itu.

Barangkali dengan memiliki kesadaran demikian, saya telah selangkah lebih maju dari sebelumnya. Betapa menyesalnya diri yang daif ini karena begitu banyak menyia-nyiakan waktu hanya untuk urusan duniawi yang remeh-temeh dan senda gurau. Maka, dengan niat menjadikan diri yang lebih baik dalam segi pengetahuan agama, hal yang saya lakukan selanjutnya adalah rajin mengikuti kajian via internet.

Ghirah Hijrah

Berselancar dari platform ke platform menelusuri jejak khazanah keislaman lewat ustaz setamsil Felix Siauw, saya seolah menemukan angin segar. Alhasil, saya pun menjadi pejuang hijrah dalam sekejap mata. Lewat tuntunan algoritma, saya tak sulit menemukan berbagai penceramah yang meneguhkan jalan hijrah saya. Dari kesemuanya, saya lalu menarik benang merah bahwa turut serta dalam meyerukan ajaran untuk kembali meluruskan akidah keislaman yang murni, seperti pada zaman Nabi, adalah penting.

Meski begitu, apa yang sempat saya anggap mulia dan “gue banget” ini tidak berumur panjang.  Saya tidak tahu apakah iman saya terlampau lemah sehingga berbalik arah, atau justru sebaliknya. Yang jelas, semakin saya menggeluti kajian keagamaan di internet, semakin saya merasa gelisah dan banyak mempertanyakan diri sendiri.

Segala aspek dalam hidup yang sebelumnya dijalani apa adanya, misalnya, mulai saya pertanyakan kembali kebenarannya, kebermanfaatannya. Saya merasa bahwa ada kenyataan yang bertolak belakang dengan Islam sehingga perlu dirubah. Kehidupan seolah-olah menjungkir-balikan nalar saya dalam memahami bagaimana dunia harus berjalan di satu sisi, dan ada semacam harapan terhadap perubahan di sisi lain. Ringkasnya, saya sempat berada di atas altar pamahaman bahwa saya yang paling benar.

Tak berhenti di situ, alam bawah sadar saya selalu berorientasi pada dosa, penghakiman di hari akhir, dan wajah-wajah orang tercinta yang terbakar di neraka. Sontak, hal ini kemudian melahirkan rasa frustasi yang terkadang berupa keinginan untuk menjadi martir demi menempuh jihad yang akan berbalas surga. Sebuah kematian yang romantis, bukan?

Dalam benak saya saat itu, mungkin inilah fase peralihan ‘hijrah’. Laku saya dalam menjalani keseharian pun berjalan dengan penuh pertimbangan baik dan buruk. Waktu haruslah dihabiskan dengan kegiatan yang bermanfaat.

Saya pun mulai menata ulang cara hidup dan ibadah saya, seolah-olah segala hal dalam hidup ini perlu diluruskan, dikoreksi. Tak ada ruang dialog, hanya ada benar dan salah. Kemajemukan terasa laksana medan tempur di mana saya adalah pejuang yang bertugas menyeragamkan dan membawa pada Islam yang murni.

Bahkan, pada paruh tahun kedua masa studi, saya memutuskan untuk sepenuhnya menerapkan syariat Islam secara “kaffah”. Artinya, akan ada konsekuensi baru jika saya keluar dari apa yang tidak sejalan dengan prinsip Islam murni. Salah satunya yang tampak adalah mengganti gaya pakaian sebelumnya yang tidak syar’i jadi serba panjang, tentu dengan pemahaman bahwa saya tidak ingin jadi permen yang tidak tertutup sehingga dikerubuti lalat. (Belakangan saya justru merasa sedih karena telah kelewat jahat mengibaratkan diri perempuan sebagai permen, ikan asin, dan objek-objek pasif lain)

Ketika saya merasa telah menemukan kebenaran sejati dan merasa telah menjadi lebih baik, maka tugas selanjutnya adalah dorongan untuk mengajak orang-orang terdekat, terutama orang tua agar mengikuti langkah yang sama. Maka, begitu terdapat celah, saya pergunakan waktu untuk menyiarkan dakwah baik secara frontal maupun tersirat. Debat kusir perihal agama menjadi begitu sering saya lakukan dengan siapa saja yang saya anggap salah. Tujuannya satu: mengalahkan lawan debat dan membuka mata mereka tentang kebenaran yang saya sampaikan. Tapi manusia mana yang akan terketuk hatinya dengan cara sebodoh itu? Dikalahkan dalam adu power, yang ada hanya gusar berat.

Musik tak lagi merdu di telinga, obrolan tentang duniawi terasa sebagai hal yang sia-sia, rasanya lingkungan sekitar jadi begitu asing dari cita-cita hijrah saya. Tidak ada dukungan yang memadai selain dari kumpulan ceramah dalam gawai. Pandangan saya terhadap dunia pun menemui titik di mana saya menilai semua hal secara hitam-putih, salah-benar, halal-haram, dan menang-menangan. Bagi saya, tidak ada kompromi dan ruang dialog untuk urusan agama, pokoknya harga mati. Ringkasnya, saya sempat berada di atas altar pamahaman bahwa saya yang paling benar.

Pada akhirnya, pemujaan yang terbangun dari sebuah praktik tanpa melibatkan buah pikir saya secara jujur agaknya hanya melahirkan fanatisme buta. Ghirah hijrah yang dipupuk algoritma media sosial adalah contoh nyata dari kegagalan saya memahami realitas dan mengenal diri sendiri, membiarkan suap demi suap dogma ditenlan bulat-bulat kemudian membentuk kepercayaan. Hidup semakin berjarak dengan realitas, semakin asing dan buntu.

Wa ba’du, saya pun mulai bertanya, apakah hijrah semacam ini yang Rasulullah maksudkan? Mengapa demikian ekslusif dan saklek? Bukankah klaim kemurnian Islam itu sendiri masih disampaikan dalam bentuk tafsir-tafsir?