#TanyaIslami: Sebagian Muslim Terkadang Lebih Toleran Kepada Non-Muslim, Ketimbang Sesama Muslim?

#TanyaIslami: Sebagian Muslim Terkadang Lebih Toleran Kepada Non-Muslim, Ketimbang Sesama Muslim?

Orang Islam itu kadang susah menerima orang Islam yang berbeda aliran, malah lebih toleran dengan orang-orang non muslim. Contoh yang paling kentara ialah beberapa organisasi islam yang gagah melindungi tempat ibadah agama lain pada saat peringatan tertentu namun kerap menolak pengajian-pengajian hanya karena berbeda pemahaman keislaman?

#TanyaIslami: Sebagian Muslim Terkadang Lebih Toleran Kepada Non-Muslim, Ketimbang Sesama Muslim?

Belakangan ini, saya sering merasa bahwa toleransi antar sesama umat Islam itu semakin menurun. Bukti yang bisa saya kemukakan di antaranya ialah orang Islam itu kadang susah menerima orang Islam yang berbeda aliran, malah lebih toleran dengan orang-orang non muslim. Contoh yang paling kentara ialah beberapa organisasi islam yang gagah melindungi tempat ibadah agama lain pada saat peringatan tertentu namun kerap menolak pengajian-pengajian hanya karena berbeda pemahaman keislaman?

Jawab:

Bersikap kasih sayang dengan sesama manusia merupakan sebuah kewajiban dalam Islam. Hal ini adalah sebuah keniscayaan mengingat tugas utama manusia di muka bumi ialah untuk menebarkan kasih sayang. Kasih sayang tersebut tidak hanya dengan sesama muslim, tetapi dengan sesama manusia dan bahkan sesama makhluk Allah.

Beberapa di antara kita ada yang memiliki pemahaman bahwa sikap umat Islam ialah keras terhadap orang kafir dan kasih sayang dengan sesama muslim. Dari pemahaman tersebut kemudian melahirkan sikap tertutup, hanya mau berkasih sayang dengan sesama muslim, dan kepada orang-orang non muslim berlaku keras.

Pemahaman semacam itu, biasanya ditimbulkan dari salah paham akan maksud ayat QS al-Fath ayat 29:

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ ٱللَّهِ ۚ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ أَشِدَّآءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ ۖ

 Artinya:

  “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.”

Tidak jarang ayat ini dijadikan sebagai pembenaran untuk membenci dan bersikap keras kepada non muslim meskipun mereka tidak mengganggu kita. Untuk memahami dengan paripurna ayat ini, sebaiknya kita menyimak asbabun nuzul atau penyebab ayat ini diturunkan sehingga tidak terjadi pemahaman yang serampangan.

Syekh ‘Alauddin Ali bin Ibrahim al-Baghdadi dalam kitabnya, Tafsir Khazin menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan terkait dengan peristiwa ketika Nabi hendak melakukan ibadah haji namun dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Quraisy. Artinya ayat ini diturunkan dalam kondisi perang, terdesak dan tidak aman. Sikap kafir Quraisy yang menghalangi ibadahnya Nabi dan para Sahabat kemudian menimbulkan reaksi dari kaum muslimin untuk menjaga diri.

Oleh karena itu, tidaklah tepat ketika misalkan kita menerapkan ayat ini dalam kondisi damai. Di negeri Indonesia yang damai ini tentunya kurang tepat jika kita menebarkan kebencian dengan berlandaskan pada ayat ini.

Dalam kitab Tafsir Khazin yang juga disebut dengan Lubabut Ta’wif fi Ma’anit Tanzil dijelaskan bahwa akhirnya, Nabi berdamai dengan kaum kafir Quraisy dalam bentuk perjanjian Hudaibiyah.

Mesti diingat juga dalam perjanjian Hudaibiyah tersebut, ada beberapa point yang menurut banyak ahli merugikan bagi kaum muslimin, yakni 10 tahun tidak boleh berperang, jika penduduk Madinah masuk Mekah tidak wajib dikembalikan namun jika penduduk Mekah masuk Madinah wajib dikembalikan. Nabi nyatanya menerima perjanjian tersebut karena yang terpenting bagi Nabi ialah terciptanya kondisi damai.

Ketika Nabi sudah memiliki kekuatan yang besar dan mampu menduduki kota Mekah, Nabi bisa saja membalas perlakuan orang-orang kafir Quraisy. Namun yang dijalani oleh Nabi ialah beliau memaafkan mereka dan bahkan memberikan perlindungan.

Dengan demikian, persepsi yang harus kita bangun adalah bagaimana caranya agar bisa toleran dengan semua manusia baik ia sesama muslim ataupun non muslim.

Terkait dengan kesan yang timbul seolah-olah sebagian kaum muslim lebih toleran terhadap non muslim sebenarnya berawal dari kondisi di Indonesia di  mana non muslim disini menjadi minoritas. Dalam hal ini kita harus memahami bahwa minoritas yang dimaksud ialah mereka yang secara objektif mengalami ketidakberuntungan di dalam masyarakat atau biasa disebut sebagai mustadh’afin. Mereka yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri misalkan karena kurang jumlah, maka yang demikian ini harus kita lindungi.

Hal ini berdasarkan pada sikap Nabi yang menandatangani Piagam Madinah, di mana dalam piagam tersebut disebutkan bahwa tidak ada agama yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan agama lain di hadapan negara. Seluruh agama tersebut diterima sepenuhnya sebagai bagian dari negara dan diperlakukan sama di hadapan hukum tanpa ada pembedaan sikap antara satu dengan lainnya.

Sehingga dengan demikian, kondisi ideal adalah ketika terjadi toleransi baik dengan sesama muslim maupun dengan non muslim. Untuk bisa menuju ke kondisi ideal tersebut, diperlukan sikap kedewasaan pada masing-masing individu bahwa kita semua tercipta dalam kondisi yang berbeda, dan bahwa perbedaan adalah sunnatullah.

Oleh karena itu, hendaknya kita tidak tenggelam dalam sikap fanatik akan sebuah pemahaman. Rasulullah Saw. sendiri pernah menyatakan bahwasanya perbedaan adalah sebuah rahmat. Artinya, kita harus menerima perbedaan tersebut sebagai sebuah karunia dari Allah Swt. agar kita bisa senantiasa mempererat tali silaturahim dengan sesama manusia.

Terdapat banyak sekali dalil maupun kisah yang menunjukkan persahabatan Nabi dengan non muslim. Khususnya sebagaimana yang tertera dalam piagam Madinah. Jika dengan non muslim saja kita dicontohkan untuk bersahabat, apalagi dengan sesama muslim dimana kita sama-sama terikat dalam persaudaraan sebagai satu umat.

Biasanya, perselisihan terjadi antara sesama umat Islam adalah karena perbedaan pemahaman antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Biasanya bahkan itu adalah persoalan yang hanya berupa cabangan syariat saja (furu’), bukan pokok keislamannya (ushul).

Terkait dengan perbedaan pemahaman keislaman khususnya, Imam Syafi’i setiap kali beliau dimintai pendapat tentang banyaknya selisih paham terkait masalah hukum, beliau dengan bijak menyatakan: “Saya benar, mungkin salah. Anda salah, mungkin benar”. Sikap semacam ini dikembangkan oleh Imam Syafi’i karena beliau mengathui bahwasanya kebenaran sejati hanyalah milik Allah Swt.

Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi shawab.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT