Hukum Politik Uang Pilkada Menurut Muhammadiyah

Hukum Politik Uang Pilkada Menurut Muhammadiyah

Muhammadiyah memberi pedoman penting terkait politik uang dalam Pilkada. Yuk simak

Hukum Politik Uang Pilkada Menurut Muhammadiyah
Bagaimana hukum memakai uang untuk politik seperti pilkada dan sejenisnya? Simak paparan dari Muhammadiyah berikut ini dan layak dijadikan acuan. Pict by Muhammadiyah.or.id

Bagaimana hukum politik uang untuk kepentingan pilkada dan sejenisnya, apakah diperbolehkan mengingat hal seperti itu ‘tampaknya’ dianggap lazim oleh masyarakat kita? Terkait hal ini, menurut Muhammadiyah, hukum bagi-bagi uang untuk kepentingan pilkada ini sama saja dengan Risywah. Dan tentu saja hal ini tidak diperbolehkan.

“Risywah memiliki dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Di antaranya adalah dapat menciptakan moral masyarakat yang munafik, menyuburkan budaya menjilat, serta mendidik masyarakat menjadi penipu,” bunyi pesan resmi di situs muhammadiyah.or.id

Berikut hukum lengkap terkait praktik suap ini dan sudah sepatutnya dijadikan pedoman bagi umat muslim:

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menerbitkan buku yang berjudul “Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah”. Buku tersebut menerangkan tentang korupsi secara umum serta korupsi dalam pandangan Islam, dampak-dampak tindak korupsi dan strategi pemberantasan korupsi. Perbuatan yang dilakukan oleh calon kepala desa dengan membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar masyarakat memilihnya pada Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan tindakan suap, dan hal tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Nama lain suap dalam bahasa Arab adalah risywah. Kata risywah berasal dari rasya-yarsyu yang memiliki beberapa makna yang saling berdekatan sebagaimana dikompilasi dalam kamus Lisan al-Arab (IV : 322-323).

Satu pendapat mengatakan bahwa kata risywah berasal dari kata risyaaun yang bermakna hablun, yaitu tali, dan rasyaaun dikatakan sebagai alladzii yutawassalu bihi ilal-maai (sesuatu/ tali yang dapat mengantarkan/ ember pada air). Risywah juga dimaknai sebagai ju’lun artinya hadiah, ada juga yang memaknai sebagai al-wushlah ila haajah bil-mushaana’ah, cara sampai pada satu keperluan dengan berbagai rekayasa.

Dari definisi tersebut, diperoleh pengertian bahwa ar-risywah adalah sesuatu berupa hadiah, komisi, pemberian, konsesi dan lain sebagainya yang diberikan oleh penyuap (ar-raasyii) yang mempertalikan antara dirinya dengan orang yang menerima suap (al-murtasyi) dengan bantuan perantara (ar-raaisy) untuk merekayasa sesuatu dalam rangka memperoleh sesuatu yang disepakati antar mereka yang terlibat.

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa permasalahan yang saudara tanyakan mengenai banyak calon kepala desa atau simpatisan yang melakukan beberapa manuver seperti bagi-bagi uang kepada calon pemilih dengan tujuan agar dipilih dapat dikategorikan sebagai perbuatan risywah.

Perbuatan risywah hukumnya haram berdasarkan beberapa dalil berikut:

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ

Artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.” [QS. al-Maidah (5): 42]

Kalimat akkaaluuna lissuhti secara umum sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya adalah memakan harta dari perbuatan risywah. Penafsiran ini sesuai dengan penjelasan Nabi Muhammad Saw dalam hadis dari riwayat Ibnu Jarir sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنْهُ عَنِ النَبِيِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ بِالسُّحْتِ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا السُّحْتُ ؟ قَالَ الرِّشْوَةُ فِى الْحُكْمِ

Artinya: “Diriwayatkan dari Umar ra., dari Nabi Saw., sesungguhnya beliau bersabda: Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht), nerakalah yang paling layak untuknya. Mereka bertanya: Hai Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?Beliau menjawab: Suap dalam perkara hukum.” [HR. Ibnu Jarir]

Dijelaskan pula dalam hadis lain dari riwayat Ahmad sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: لَعَنَ اللهَ الرَّاشِي وَ الْمُرْتَشِي

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Melaknat penyuap dan yang disuap.” [HR. Ahmad]

Selain dalil-dalil nash syar’i telah mengharamkan, Indonesia sebagai negara hukum juga telah menetapkan Undang-undang terkait larangan suap, baik bagi penyuap dan penerima suap. Undang-undang No. 11 tahun 1980 pasal 2 menyatakan bahwa: Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Undang-undang No. 11 tahun 1980 ayat 3 menyatakan bahwa barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).

Risywah memiliki dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Di antaranya adalah dapat menciptakan moral masyarakat yang munafik, menyuburkan budaya menjilat, serta mendidik masyarakat menjadi penipu.

Adapun sikap yang harus dilakukan adalah menolak uang tersebut dengan tidak menghiraukan ejekan atau perkataan dari orang lain yang menganggap sebagai orang yang sok suci. Jika setiap masyarakat sadar untuk menolak uang suap, maka kebenaran di antara manusia pun dapat ditegakkan.

*Selengkapnya, bisa juga klik di sini