Baru-baru ini kita mendapati selebaran online tentang maklumat panitia kampanye salah satu calon presiden. Ada empat poin yang disampaikan dalam maklumat itu, di antaranya adalah himbauan untuk menqadha shalat bagi peserta kampanye yang posisi kiblatnya tidak sesuai, duduk tanpa uzur syar’i, dan jemaah yang tidak berwudlu.
Di satu sisi kita melihat maklumat ini sebagai hal yang positif karena memosisikan shalat sebagai ibadah syar’i yang memiliki aturan bakunya, sehingga pelanggaran terhadap aturan berupa hukum fikih harus diganti sesuai tuntunan syar’i. Namun di sisi lain muncul kegelisahan mengingat acara di stadion Gelora Bung Karno (GBK) pada tanggal 7 April lalu merupakan agenda politik praktis. Apakah agenda politik praktis merupakan agenda yang bisa ditolerir hukum syariat?
Keadaan-keadaan yang disebutkan dalam maklumat tersebut menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita belum bisa memilah antara perkara yang bisa diringankan oleh syariat dan perkara yang tidak bisa diringankan. Namun bisa jadi sebagian masyarakat kita menganggap bahwa pagelaran pilihan presiden tahun ini seperti berada di medan perang sehingga mengambil beberapa kemudahan seperti halnya di tengah peperangan.
Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan mengingat pilpres hanyalah pesta politik lima tahunan. Semua yang lolos sebagai calon pemimpin memiliki kualifikasi yang baik. Apalagi pada tahun 2019 kita beruntung karena para ulama turut membimbing kedua calon presiden dan wakil presiden. Kedua kubu sama-sama didukung oleh orang alim yang bisa mengingatkan para calon pemimpin ini apabila melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Masalahnya adalah ada banyak orang yang tidak pantas disebut ulama, tetapi mengaku dirinya sebagai ulama dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Di antara “ulama” ini menyebar fitnah, sentimen negatif, ujaran kebencian, dan permusuhan dengan membenturkan masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, baik melalui forum pengajian atau pun postingan di media sosial. Ironisnya, mereka melakukan hal itu seolah-olah melaksanakan perintah agama. Apakah benar agama mengajarkan hal seperti demikian? Lalu apa sebenarnya tujuan polarisasi ini?
Semakin ke sini politik membuat akal sehat kita menjadi kabur. Orang tidak bisa membedakan mana politik keumatan yang berorientasi pada kemasalahan umat dengan politisasi umat, di mana umat hanya dijadikan objek politik. Para elite sibuk membangun citra dirinya sebagai juru selamat kepada umat yang merasa kurang percaya diri dengan nasib yang tengah menimpanya. Anehnya, umat yang tengah dipolitisasi merasa bahwa dirinya diperhatikan dengan setulus hati.
Politik semacam ini tentu sangat jauh dari ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa politik adalah sarana untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan. Politik hari ini menyeret kita ke sebuah situasi permusuhan yang jika tidak segera ditangani bisa menimbulkan perpecahan berkepanjangan. Padahal Islam membimbing kita pada keharmonisan, bukan perpecahan. Lalu apakah benar jika kita membawa stempel agama Islam untuk melakukan hal-hal yang memecah belah?
Di situasi seperti ini kita hanya bisa berharap agar hati kita selalu dilindungi oleh Allah SWT dari niatan-niatan tercela. Apapun yang kita lakukan semoga benar-benar dilandasi niat baik, bukan untuk mengikuti hawa nafsu sesaat. Karena sepenting apapun politik, jika ia tidak dilandasi semangat kemanusiaan, maka hanya akan membawa ke-madharat-an. Wallahua’lam.