Diceritakan dalam suluk Wujil Kanjeng Panembahan atau Sunan Bonang sedang berbincang dengan salah satu santri setianya kala itu, Wujil. Sunan Bonang menceritakan banyak hal tentang ilmu-ilmu Islam. Wujil pun berhasil menguasai semua itu dengan baik. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di hati Wujil meski sudah cukup banyak ilmu yang ia dapat dari Sunan Bonang.
Wujil merasa ilmu-ilmu yang telah didapat hanya bagian permukaan dari yang ia cari, ilmu rasa atau ilmu rahasia. Wujil meminta untuk diajarkan ilmu rahasia kepada Sunan Bonang. Terjadilah percakapan sangat panjang antara Sunan Bonang dan Wujil mengenai bagaian penting dari ilmu rahasia.
Di sela-sela perbincangan mereka, Sunan Bonang tiba-tiba meminta Wujil untuk memanggil Saptada, seorang santriwati perempuan yang baru saja kembali ke pondok dari tempat tinggalnya di Juawana, Pati. Lalu bertanyalah Sunan Bonang kepada Saptada mengenai kabar tentang dirinya. Kabar Saptada baik dan ia menambahkan jika melihat adik Sunan Bonang, yakni Syekh Malaya atau Sunan Kalijaga, sedang bermain tari topeng di Pati.
Mendengar hal itu, Sunan Bonang segera meminta Wujil untuk mencari bunga teratai. Bagian daun bunga teratai ditulisi beberapa pesan oleh Sunan Bonang dan diisi dengan bunga rembuyut yang dibentuk menjadi sumping atau “sureng-pati.” Sumping adalah hiasan telinga yang sering digunakan oleh orang yang bermain tari topeng dan bermain wayang. Kemudian Wujil diutus untuk mengirimkan semua itu ke Sunan Kalijaga di Pati.
Cinta dan Sebuah Perjalanan
Wujil tiba di Pati dan berhasil bertemu dengan Sunan Kalijaga. Diberikanlah bunga teratai kepada Sunan Kalijaga dan segera dibuka olehnya. “Sungguh sangat indah rangkaian sureng-pati ini. Sang Panembahan sungguh sangat menyanyangiku,” kata Sunan Kalijaga kepada Wujil.
Rangkaian bunga rembuyut yang diberikan kepada Sunan Kalijaga mengandung pesan tersendiri. Sunan Kalijaga menafsirkan hal ini sebagai nasihat bahwa segala macam perjalanan akan mencapai titik istirahat pada penghujung kematian. Sebuah titik akhir penyerahan seorang hamba.
Hati Sunan Kalijaga hancur. Ia bersedih ketika membaca pesan-pesan yang dituliskan Sunan Bonang untuknya di daun-daun bunga teratai. Ditulis dengan penuh kasih dan keindahan. Bunyinya seperti bait pada sebuah kakawin yang indah. Berulang-ulang pesan itu dibacanya tanpa rasa jemu barang secuil.
Kurang lebih, beginilah bagian penutup dari surat itu:
“Katiga wara dibya nungsung udan. Kadi puspita asehen sari dhuh sumitraningong iwir bramarengsun tan polih rume wonten puspita asehen sari bramara ‘ngrerengih arsa wruhing santun.”
Jika diartikan secara bebas, Sunan Bonang ingin mengatakan kepada Sunan Kalijaga demikian:
“Aku ibarat musim kering yang sangat mengharapkan hujan. Seperti halnya kembang yang penuh sari wahai sahabatku, aku ibarat seekor kumbang yang tidak dapat memperoleh bau wangi dari bunga yang penuh dengan sari. Meskipun ada kembang yang penuh dengan sari, namun kumbang, merintih, ingin mendapatkan tepung sarinya.”
Rangkaian bunga dan akhir pesan yang dikirim oleh Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga setidaknya memiliki dua makna utama.
Pertama, sikap Sunan Bonang yang mendukung cara-cara dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, baik melalui tari topeng ataupun permainan wayang saat itu.
Kedua, ungkapan rasa rindu Sunan Bonang yang telah lama tidak berjumpa dengan Sunan Kalijaga. Sunan Bonang mengharapkan kehadiran Sunan Kalijaga. Sungguh indah dua adab dan perilaku wali yang sedang diselimuti kabut kerinduan itu.
Syahdan, setelah selesai membaca pesan itu, Sunan Kalijaga meletakkan teratai itu lalu terdiam. Wujil agaknya penasaran dengan isi surat itu. Meski tidak mengeluarkan suara, Sunan Kalijaga dapat memahami keresahan Wujil. Dengan ringkas ia berkata, “ Gurumu mengutarakan tentang perjalananku ke mekkah.”
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga menceritakan kisah perjalananya menuju Mekah kepada Wujil. Dengan catatan jika Wujil harus menyampaikannya kepada Sunan Bonang dengan bahasanya sendiri. Semampunya.
Ketika hendak pergi ke Mekah, Sunan Kalijaga bertemu dengan Maulana Maghribi, salah seorang wali yang masih saudara Sunan Bonang dan memintanya untuk kembali ke tanah Jawa. Maulana Maghribi mengatakan, “Sebaiknya kembalilah, apa yang engkau cari tidak ada di Mekah. Mekah yang ada di barat itu hanyalah tiruan semata. Jika engkau meninggalkan Jawa, tanahnya akan menjadi kafir (artinya Sunan Kalijaga diminta untuk meneruskan dakwah Islam di Jawa).”
Maulana Maghribi hendak memberitahu Sunan Kalijaga jika sebenarnya tidak ada yang tahu dimanakah letaknya Ka’batullah. Ka’bah yang ada di Mekah hanyalah bangunan semata-mata. Tak ada orang yang dapat mencapai tujuan hidupnya jika tidak memiliki bekal yang cukup. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan keikhlasan dunia.
Ka’batullah itu berada di tengah-tengah dan gumantung tanpa cecanthe atau tergantung tanpa pengait. Jika ada satu orang shalat, maka hanya ada satu ruangan saja di Ka’bah. Jika ada dua, tiga atau empat orang shalat, maka hanya akan ada dua, tiga, atau empat ruangan saja. Bahkan jika ada sepuluh ribu orang shalat di sana, maka akan ada sepuluh ribu ruangan. Jika seluruh manusia di dunia sholat di sana pun akan tertampung juga. Ka’batullah itu adalah hatimu. Gusti Allah ada di hatimu.
Demikianlah yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga kepada Wujil. Selepas itu, Wujil bergegas kembali menemui Sunan Bonang. Dikarenakan diminta untuk meneruskan pesan Sunan Kalijaga kepada Sunan Bonang dengan bahasanya sendiri, berdasarkan kemampuannya sendiri, maka ketika ditanya oleh Sunan Bonang mengenai pesan apa yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga, Wujil hanya menjawab “Beliau hanya mengaturkan sembah.” Wujil tidak keliru. Sunan Bonang juga merasa amat bahagia.
Kerinduan Sunan Bonang terbayar tuntas tatkala Sunan Kalijaga berserta dua muridnya datang menemui Sunan Bonang di kediamannya. Kebetulan, saat itu sedang ada pagelaran wayang di dekat kediaman Sunan Bonang. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Sunan Bonang.
Mereka sempat membahas mengenai perjalanan Sunan Kalijaga menuju Mekah. Namun, tidak lama Sunan Bonang berkata:
“Kemarilah segera, Dinda. Aku rindu dan telah menantimu sejak lama.”
Keduanya saling berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, hidung beradu hidung, kaki beradu kaki.
“Mari kita memejamkan mata. Jangan ada keraguan dalam hatimu.”
Dan begitu saja, sekonyong-konyong mereka sampai ke Mekah. (AN)