Wang Tai-yu: Sunan Kalijaga dari Negeri Cina

Wang Tai-yu: Sunan Kalijaga dari Negeri Cina

Wang Tai-yu adalah sosok penting dalam persebaran Islam di Cina

Wang Tai-yu: Sunan Kalijaga dari Negeri Cina

Islam hadir di Cina melalui proses adaptasi tradisi. Upaya itu membawa Islam diterima oleh masyarakat yang telah lama menganut ajaran Konfusius.

 

Tahun 650 M, Saad bin Abi Waqqas berkunjung ke negeri Cina. Saad yang seorang sahabat Rasulullah membawa misi hendak memperkenalkan Islam. Yung-Wei, kaisar Cina waktu itu, menerima dan menyambutnya dengan hangat. Di bangsal istana, tanpa sungkan Saad menyampaikan maksud kedatangannya. Saad membeberkan pesan suci Islam. “Islam Tuhannya satu,” kata Saad lantang, “Dibawa oleh seorang nabi bernama Muhammad yang berbudi mulia.” Panjang lebar Saad berbicara tentang Islam. Kaisar menyimak dengan saksama. “Agama yang sangat baik,” kesannya.

Namun sebentar, terlintas di benaknya sejumput kekhawatiran: andai Islam hadir di sini akan menjadi ancaman bagi ajaran yang dianut rakyat Cina. Ajaran leluhur bisa tersingkir. Barangkali, terbersit di hati Kaisar Yung-Wei, seperti semboyan Julius Caesar: vini, vidi, vici. Islam bagai sekelompok prajurit yang akan datang, menyerang, dan menang.

Kaisar merenung. Keterangan Saad menggedor kesadarannya. Tak ada yang bertentangan antara nilai yang selama ini dianut kaisar dengan ajaran Islam. Bahkan, kaisar merasa Islam akan serasi bila disandingkan dengan Konfusius. Terjadi pertarungan batin pada diri Kaisar. Sedikit demi sedikit hatinya mulai melunak, meski kecemasan terus saja menyelimuti. Ia pun bertitah, “Aku menghormati agamamu, wahai utusan, maka aku izinkan engkau mendirikan tempat ibadah di Provinsi Chang’an.”

Entah kekhawatiran Kaisar Yung-Wei mewujud nyata atau tidak pada saat itu, tak banyak catatan sejarah yang bercerita. Rasa penasaran Kaisar Yung-Wei tetap menggema, benarkah Islam akan menjadi sosok penjajah bagi ajaran yang dianut rakyat Cina? Seribu tahun kemudian, baru kekhawatiran Kaisar Yung-Wei menemukan jawabannya. Pada abad 16 Masehi, Wang Tai-yu (1592-1658 M), salah satu ulama besar pada waktu itu, menunjukkan paras Islam yang ramah. Tak seperti serdadu bersenjata sebagaimana dibayangkan Kaisar Yung-Wei.

Wang, yang menyebut dirinya Orang Tua Hui Sejati (Hui, sebutan bagi muslim di Cina), tak pernah membuat fatwa Tao itu sesat ataupun Buddha masuk neraka, malah dengan asyik dan cerdik mencari titik temu. Ia berdialog, setiap hari, dari waktu ke waktu dengan penanya yang berbeda: muslim, penganut Tao, Buddha bahkan Konfusian.

Suatu ketika, demikian ungkap Sachiko Murata dalam Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina (2003), Wang kedatangan tamu dari pengikut Tao. Si pengikut Tao mengajukan pertanyaan kepada Wang, “Mengapa Chen Chu (Raja Hakiki/Tuhan) mencipta langit, bumi, dan sepuluh ribu hal?” Dengan singkat Wang menjawab, “Itu semua tercipta untuk manusia.” Tamu bertanya lagi, “Mengapa manusia diciptakan?” Wang menjawab, “Ketika Tuhan ingin memanifestasikan kehormatan-Nya yang Mahatinggi, Dia menciptakan manusia secara khusus. Inilah makna (penciptaan) secara umum.”

Jawaban Wang ternyata belum memuaskan dan tamu kembali bertanya, “Tuhan adalah Mahamulia dan Mahabesar, mengapa dia perlu memanifestasikan diri?” Wang menjawab, “Jika tidak ada langit, bumi, manusia, dan ruh-ruh, bagaimana Tuhan menjadi Tuhan dari sepuluh ribu hal? Menurut pernyataanmu tidak perlu bagi yang Mahamulia untuk memanifestasikan diri. Artinya akan mungkin pula bagi seseorang untuk menjadi raja tanpa menteri dan rakyat. Jika tidak ada orang-orang ini, siapa yang akan menjadikan dia raja?”

Wang terus berdialog. Dan murid-muridnya sadar bahwa dialog itu bagai tetes-tetes pengetahuan yang sangat penting. Perdebatan dan percakapan Wang kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi buku. Buku itu diberi judul Hsi-chen cheng-ta (Jawaban yang Benar tentang Kebenaran Sejati), diterbitkan tahun 1658 M oleh salah satu muridnya, Wu Lien-ch’eng.

Selain Hsi-chen cheng-ta, sebenarnya Wang punya karya besar yang ia tulis sendiri. Karya yang oleh Donald Leslie dalam Islam in Traditional China (1986) disebut sebagai tulisan pertama berbahasa Cina tentang Islam yang ditulis oleh seorang muslim. Para sejarawan lain sepakat, tulisan Wang ini adalah salah satu karya paling pokok dalam sejarah Islam Cina.

Cheng-chiao chen-ch’uan, atau Tafsir Hakiki tentang Ajaran Sejati, adalah karya monumental Wang yang terpanjang, terdiri dari dua volume dengan duapuluh bab. Wang lebih banyak bicara tentang ketuhanan, alam semesta, manusia, dan sedikit tentang syariat. Tak ketinggalan persoalan keseharian juga dibahas, seperti larangan makan babi yang menjadi ciri khas penganut Islam di Cina.

Pada buku itu, Wang menggambarkan Islam dengan cara yang membuat agama itu tampak cocok dengan ajaran Konfusian. Saat menjelaskan suatu masalah dia sering mengutip kitab klasik Cina dan kadang menggunakan pengertian ala Buddha. Wang mematut Islam untuk tetap ramah dengan ajaran tuan rumah.

Misalnya ketika ia bicara tentang binatang kurban (tsai-sheng), “Pengorbanan di Makkah pada musim haji adalah penting, karena sebagai penyebab kedekatan dengan Allah dan memungkinkan kita mengarungi samudra api tanpa batas. Konfusius berkata, ‘Wahai Tz’u, kau suka biri-biri, aku suka upacara’.”

Atau tentang judi dan minum (po-yin), “Ajaran sejati (Islam) melarang judi dan minum anggur karena merusak hati manusia. Setan memanfaatkan situasi dan menggoda mereka. Godaan setan mengikuti keinginan manusia. Kitab Klasik mengatakan, ‘Anggur adalah sumber semua kejahatan’.”

Cara Wang yang terkesan mencampuradukkan Islam dengan ajaran lain bukan tanpa kritik. Dalam kata pengantarnya di buku itu, Wang menulis bahwa ulama tertentu telah membaca manuskrip karyanya dan mencela dia karena terlalu banyak mengutip kitab-kitab klasik Cina dan masuk terlampau jauh dalam ajaran Tao dan Buddha.

Ia tak mengelak bahkan sependapat bahwa segala permasalahan dapat dirujuk dari sumber-sumber Islam. Tapi sumber-sumber itu sesuatu yang langka dan susah dikonsumsi orang-orang Hui. Karena, nyaris mustahil menulis bahasa Arab dalam aksara Cina dan sebaliknya, sehingga tulisan Cina tidak memungkinkan penerjemahan kecuali dengan cara yang sangat kaku bahkan aneh. Nama Muhammad, misalnya, dalam bahasa Cina ditulis dalam setengah lusin cara yang berbeda. Makanya untuk memudahkan, Nabi Muhammad biasa disebut sheng yang berarti ‘guru’, atau chih-sheng (‘mahaguru’), istilah yang biasa digunakan untuk menyebut Konfusius dan para guru agung yang mendahului. Al-Quran adalah ‘Kitab Klasik’ (ching), ‘Kitab Klasik Langit’ (t’ien-ching), dan ‘Kitab Klasik sejati dari Mandat Hakiki’ (shih-ming chen-ching). Sementara, para nabi dan wali-wali Allah akrab dipanggil para guru dan orang saleh (sheng-hsien), yang sebenarnya jamak dipakai oleh umat Tao.

Wang menyajikan konsep ajaran Islam dalam cara yang membuat orang Hui gampang memahami ajaran Islam. Wang juga mengaku tak sembarangan mengutip. Contohnya, sumber-sumber Konfusian menjadi referensi hanya pada permasalahan ajaran Islam yang tak berbeda dengan ajaran Konfusian, seperti mengembangkan kehidupan pribadi, mengatur keluarga, dan mengatur negara.

Mungkin itu hanya alasan Wang untuk membela diri. Tapi coba perhatikan sebuah sabda Nabi, “Seorang dai (pendakwah) harus bicara sesuai kemampuan dan pengetahuan kaum pendengarnya.” Dan Wang, sebagai dai, telah melakukannya. Ia dekati dan akrabi ajaran dan tradisi asli Cina. Yang digenggamnya erat hanya satu hal: asal tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sosok unik Wang, mengingatkan pada tokoh legendaris dari Jawa, Sunan Kalijaga, yang hidup dua abad sebelum Wang. Sunan nyentrik ini juga telah begitu pandai mendekati tradisi masyarakat setempat untuk menyebarkan nafas segar Islam. Meski tidak bisa dikatakan persis serupa, paling tidak Wang telah berhasil menepis kekhawatiran Kaisar Yung-Wei: Islam bukan agama penjajah, tak ada hasrat meminggirkan apalagi membumihanguskan ajaran lain. Islam yang membawa rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil ‘alamin, di tangan Wang tak sekadar slogan tapi kenyataan.

Syir’ah 30