Di akhir dinasti Ottoman, sebagian besar daerah di Timur Tengah telah dikuasai oleh beberapa negara penjajah seperti Inggris dan Perancis. Kedua negara ini telah menancapkan hegemoninya baik pada sektor ekonomi, politik, maupun budaya. Di waktu bersamaan, penjajahan tersebut telah menyebabkan kemunduran dinasti Ottoman sehingga lambat laun kerajaan ini mengalami kehancuran.
Negara-negara bagian Ottoman seperti Mesir telah berhasil ditaklukkan oleh Perancis. Masyarakat Arab telah berhasil melakukan pemberontakan dengan kerajaan Ottoman. Begitu juga dengan negara-negara lain di Timur Tengah yang coba diganggu oleh para penjajah asal Eropa lainnya. Keadaan ini di sisi lain mengakibatkan kemunduran umat Islam dari semua sektor, baik sektor pengetahuan, politik, ekonomi, maupun budaya.
Di Mesir dan Arab lahir sebuah organisasi yang mencoba membangun kembali Islam seperti era kejayaannya. Adalah gerakan Wahabi di Arab dan Salafi di Mesir yang coba membangun kembali Islam pada masa kejayaan.
Gerakan Wahabi didirikan oleh Muhammad ibn Abd al Wahhab (w. 1792 M). Gerakan Wahabi difokuskan pada pemurnian ajaran Islam atau yang biasa dikenal dengan istilah purifikasi/puritan. Pemurnian Islam yang dimaksud adalah memurnikan Islam dari bentuk mistik, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran Syiah, serta ajaran-ajaran yang bersifat bid’ah.
Terdapat tiga aqidah yang menjadi landasan teologis Wahabi sekaligus untuk menilai apakah Islam yang dianut oleh umat Islam non Wahabi murni atau tidak. Pertama, tauhid rububiyyah (pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb, penguasa sekaligus pencipta dunia); kedua, tauhid al-asma wa al-sifat (hanya membenarkan nama-nama dan sifat-sifat yang disebut dalam al-Qur’an tanpa disertai upaya untuk menafsirkan, dan tidak diperbolehkan untuk menerapkan nama-nama itu kepada siapapun selain Allah); ketiga, tauhid al ibadah (seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah).
Tauhid ibadah adalah prinsip teologi yang sering diperbincang manakala menyangkut nama Wahabi. Tauhid ibadah berimplikasi pada penerapan aqidah Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi. Apabila dalam hal ibadah ada hal-hal baru maka hal itu tidak diperbolehkan. Misalnya seperti pelarangan ziarah kubur, membaca doa disertai nama orang alim, tawassul, tahlil, dan masih banyak lagi yang intinya masih berkaitan dengan ibadah.
Maka dalam konteks ini bisa dipahami kenapa Wahabi pernah melakukan upaya penghancuran makam Nabi dan para sahabat di Madinah. Bagi Wahabi, keberadaan makam Nabi bisa mengantarkan umat Islam kepada jurang kemusyrikan. Apabila keberadaan makam Nabi masih tetap dipertahankan maka umat Islam bisa saja terjebak pada kemusyrikan lantaran ibadahnya melalui perantara Nabi tidak langsung ditujukan kepada Allah.
Sementara gerakan Salafi didirikan pada akhir abad ke 19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad Abduh (w. 1905 M), Jamal al Din al-Afghani (w. 1897 M), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 M), Muhammad al Syawkani (w. 1834 M), dan Jalal al-Shan’ani (w. 1834). Istilah Salafi dipergunakan dengan merujuk pada tiga generasi pertama Islam. Bagi kalangan Salafi, tiga generasi awal Islam merupakan Islam yang autentik. Tidak banyak percampuran maupun intervensi dalam Islam sehingga bagi Salafi patut untuk ditiru.
Gerakan Salafi berbeda dengan Wahabi terkait dengan penafsiran al-Qur’an. Jika Wahabi memahami al-Qur’an secara literal-tekstualis, sementara gerakan Salafi membolehkan menafsirkan al-Qur’an sesuai kebutuhan zamannya tanpa harus merujuk pada penafsiran al-Qur’an di masa lalu. Kaum Salafi juga dikenal sebagai pemikir yang mencoba merumuskan landasan dasar Islam dengan modernitas. Mengingat bahwa pada masa itu dunia Islam sedang dijajah oleh Barat yang ditandai dengan era modern. Pada posisi itu, kaum Salafi mencoba mengungkapkan keserupaaan antara teks-teks Islam dengan pranata-pranata modern seperti demokrasi, konstitusionalisme, dan berusaha keras untuk menjustifikasi paradigma negara-bangsa modern dalam Islam.
Pada dasarnya, antara Salafi dan Wahabi sebenarnya memiliki perbedaan tajam. Secara intelektualisme, Wahabi menolak upaya liberasi pemikiran sedangkan Salafi memiliki semangat liberasi pemikiran yang bertujuan untuk mengonstekstualisasikan ajaran Islam dalam era modernitas. Namun pada pertengahan abad 20 kedua gerakan ini dipersatukan melalui impian yang utopis yaitu sama-sama menginginkan masa kejayaan emas Islam, sehingga di era kontemporer saat ini istilah Salafi-Wahabi sering diidentikkan satu sama lain. Wallahhua’lam.