Serangkaian aksi terorisme akhir-akhir ini melibatkan unsur keluarga. Kasus pengeboman Surabaya Jawa Timur pada tahun 2018 merupakan aksi baru karena melibatkan satu keluarga. Padahal sebelumnya, baik dalam kelompok Jamaah Islamiyah (JI) maupun Negara Islam Indonesia (NII) peran wanita dan anak-anak hanya sebagai supporting system dan bukan aktor utama atau pelaku. Dalam sejarahnya, aktor utama aksi terorisme adalah laki-laki, berbeda dengan kejadian bom Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga yakni kepala keluarga, istri dan anak-anak. Aksi tersebut ditenggarai merupakan kepanjangan dari aksi islamic State of Iraq and syiria atau ISIS melalui JAD dibawah pimpinan Aman Abdurrahman.
Peran keluarga (khususnya perempuan dan anak-anak) dalam aksi radikalisme di era modern terlihat nyata sejak peristiwa intifadhah 1987 maupun 2000, walaupun jauh sebelum itu, perempuan banyak menjadi pemimpin dalam sebuah peperangan. Peristiwa intifadhah di Palestina berawal dari serangkaian aksi demonstrasi terhadap kebijakan Israel selapas memenangi perang enam hari pada tahun 1967. Peran perempuan Palestina selain melakukan demonstrasi, mereka juga aktif dalam menyuarakan para pemuda untuk berjuang melawan Israel.
Pola pelibatan perempuan dalam aksi jihad juga digunakan oleh kelompok teroris untuk memperkuat aksi dan serangan mereka. Al-Qaeda merekrut seorang perempuan untuk menjadi pelaku bom bunuh diri, hal ini disampaikan oleh Umm Osamah (tokoh Al-Qaeda), dimana ia menyerukan jihad bagi perempuan untuk membantu Al-Qaeda.
Sebuah fenomena menarik tentang radikalisme keagamaan, khususnya di kalangan anak muda, diungkapkan juga oleh Prof Oliver Roy, seorang ahli di bidang terorisme dan ‘jihad’ dari Prancis. Dari banyak pengamatannya yang menarik, Prof Roy menunjukkan para pelaku teror, termasuk dari kalangan muda yang paling rentan terbujuk rayu oleh kelompok-kelompok radikal, adalah golongan yang penghayatan agamanya kurang kuat. Mereka juga tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup. Umumnya perubahan atas diri anak-anak muda ini terjadi secara tiba-tiba. Dengan kata lain, ada fenomena born-again, yang dicirikan ayunan bandul dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya.
Fenomena terlibatnya anak-anak dan keluarga ini dikarenakan kelabilan cara berfikir dan belum matangnya dalam mengambil sikap, sekaligus memiliki mental yang temperamen dan semangat dalam beragama meluap-luap tanpa didasari dengan ilmu yang mumpuni. Diduga bahwa dalam segenap ketidakmatangan dan kejahilan mereka akan ajaran agama, anak-anak muda ini mendapatkan info-info instan yang menyesatkan dari guru-guru yang radikal, atau dari internet dan media sosial yang mereka akses. Di sisi lain, ada fenomena modern menyusutnya ketahanan keluarga di tengah masyarakat.
Problem terbesar ketahanan keluarga ini ialah berkembang pesatnya teknologi informasi dan derasnya arus informasi yang dihasilkannya jika dibandingkan dengan kemampuan keluarga dalam memberikan informasi alternatif sebagai bagian fungsi pendidikan yang harus diselenggarakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa institusi keluarga di zaman sekarang ini mendapatkan berbagai tekanan. Termasuk gempuran tuntutan ekonomi yang makin meningkat.
Gerakan radikalisme menjadi sebuah tantangan tersendiri untuk keluarga khususnya orang tua, diperlukan adanya kerjasama antara suami istri dalam tarbiyatul awlad atau pendidikan bagi anak-anak. Kerjasama antara ayah ibu dalam mendidik anaknya akan menjadi lebih efektif dalam menangkal faham radikalisme. Gerakan-gerakan radikal dan doktrin anti Pancasila yang ingin mengubah Pancasila menjadi syari’at Islam atau Negara Islam menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia. Peran keluarga dalam hal ini untuk melakukan kontrol terhadap apa saja yang dipelajari dan diserap oleh anak-anak.
Radikalisme juga tumbuh subur di sekolah, Hal ini menuntut peningkatan peran keluarga secara intens. Ayah yang merupakan salah satu tulang punggung ketahanan keluarga terpaksa menghabiskan banyak waktunya di luar rumah untuk bekerja. Hal ini terjadi bukan hanya di kalangan keluarga miskin, melainkan juga di keluarga kaya. Belum lagi makin beratnya kompetisi di dunia kerja atau di dunia bisnis pada umumnya. Tantangan yang bahkan lebih besar lagi ialah kenyataan bahwa sekarang sudah mulai lebih banyak kedua orangtua ayah dan ibu sama-sama bekerja. Kenyataan tentang makin besarnya tantangan terhadap kehidupan keluarga. Yakni, jika sebelumnya hanya ayah yang waktu dan energinya banyak tersita di luar rumah yang berakibat pada menyusutnya waktu bagi komunikasi dengan anak sekarang hal yang sama terjadi atas ibu.
Besarnya pengaruh negatif yang timbul dari pergaulan dengan teman sebaya juga membuat keluarga akhirnya terpaksa menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah. Sebagian masalah tentu saja teratasi, tapi justru di sinilah problem besar mengintai. tidak sedikit justru sumber-sumber pikiran radikal keagamaan itu datang dari pendidikan agama di sekolah.
Benih-benih radikalisme keagamaan tertanam ketika anak mendapatkan informasi keliru dari guru agama. Mungkin disebabkan keterbatasan wawasan guru, kesempitan pandangan, bahkan kadang-kadang kita tidak boleh terlalu naif juga adanya kelompok-kelompok radikal yang secara sengaja ingin menyusupkan pikiran-pikiran radikalnya lewat pengembangan lembaga pendidikan atau pengiriman guru agama dari kalangan mereka ke sekolah-sekolah. Ketidakmatangan anak menjadikan mereka sasaran.
Di sisi lain juga secara sengaja atau tidak ada kelompok-kelompok yang secara sengaja berusaha memasukkan pikiran-pikiran radikal, kenyataannya sebagian materi pengajaran agama, khususnya agama Islam di sekolah-sekolah itu secara sadar atau bisa menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya pikiran-pikiran radikal. Sebagai contoh, mari kita ambil pelajaran sirah atau biografi Nabi Muhammad SAW, khususnya di sekolah. Sadar atau tidak, biografi Nabi cenderung dipenuhi kisah-kisah peperangan.
Biasanya diceritakan ketika di Mekah Nabi ditindas, kemudian Nabi pun berhijrah ke Madinah. Setelah memapankan diri di Madinah selama kurang lebih setahun, pada tahun kedua setelah hijrah kaum Muslim di bawah pimpinan Nabi, terlibat dalam peperangan Badar melawan invasi kaum kafir Quraisy dari Mekah. Demikian seterusnya dikisahkan peperangan-peperangan hingga saat-saat terakhir kehidupan Nabi.
Pendidikan dalam keluarga merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter dan perilaku seorang anak. Pada umumnya pendidikan dalam keluarga dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai luhur yang berasaskan nilai-nilai yang nantinya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Pendidikan awal seorang anak didapatkan dari keluarganya. Tentu ayah dan ibunya harus berbagi tugas dalam mendidik anak dan mengarahkan anak. Pemahaman agama yang baik di dalam keluarga juga berperan sentral. Namun, pemahaman agama yang seharusnya ditekankan bukan hanya sekedar paham keagamaan yang bersifat normatif-formal (bersangkutan dengan ibadah) dan tekstual, namun pemahaman keagamaan yang bersifat kontekstual dan berimplikasi terhadap prilaku sosial. Sehingga seorang anak tidak hanya soleh dalam sisi normatif-formal (ibadah) namun juga soleh dalam sosial kemasyarakatan.
Dalam kontek saat ini, pemahaman radikal pada anak banyak variannya seperti; tindakan terorisme, tawuran, pelecehan seksual, bullying, pembunuhan atas nama agama, pelanggaran lain terkait norma agama dan sosial atau adat istiadat. Faktor pemicunya beragam dan keluarga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Karena itu, membentuk wajah surga keluarga sangat penting untuk menghindari potensi-potensi munculnya wajah neraka anak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa radikalisme Islam berkembang di sekolah-sekolah umum melalui guru agama dan kegiatan keagamaan, hal ini terjadi karena kontrol terhadap materi agama dan kerja guru agama tidak cukup kuat untuk menutup celah masuknya paham radikal. Maka, orang tua harus berperan aktif mendampingi anak ketika belajar di rumah dan mengontrol bacaan wajib dari sekolah, jika ditemukan hal ini maka ibu wajib melaporkan hal ini kepada pihak sekolah dan pihak-pihak berwenang lainnya.
Seorang ayah wajib mengontrol dan menyaring khutbah-khutbah Jum’at yang terlanjur telah diikuti oleh anak, karena belakangan ini khutbah jum’at khususnya di kota-kota besar tidak jarang berupa seruan tindakan keagamaan yang dapat dinilai menyuburkan intoleransi kepada yang berbeda paham dan atau agama. Menurut Machasin di ranah keluarga perempuan berpeluang besar membentuk kepribadian anak-anak, memberi bekal kepada mereka untuk memasuki kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat dan membentuk keluarga.
Selain ditegaskan al-Qur’an dan Hadis, pentingnya peran keluarga membentuk karakter anak juga disampaikan banyak pemikir muslim. Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin Miskawaih (320 H/ 932 M-412 H/1030 M) misalnya, baginya peran lingkungan keluarga dan masyarakat sangat menentukan model karakter anak. Hidup di lingkungan baik, anak akan baik. Tumbuh di lingkungan bermasalah, anak akan bermasalah. Karena itu, pola asuh orang tua terhadap anaknya penting diperhatikan. Dalam bahasa Sosiologi, hubungan orang tua-anak ini disebut “hubungan dalam” (kebalikan “hubungan dangkal” yang terjadi dengan pihak non-keluarga). Interaksi ini berlangsung terus-menerus tanpa batas, yang karenanya sangat membekas.
Oleh karena itu orang tua atau keluarga perlu menerepkan gaya pengasuhan yang demokrasi sehingga mampu menjadi media deredikalisme, Selain kerjasama dan kemitraan antara suami dan istri, diperlukan juga kontrol dan komunikasi antara suami dan istri kepada anak. Pendidkan dengan gaya demokratis adalah orang tua yang mengasuh anak-anaknya dengan kontrol serta kehangatan akan timbul. Orang tua mengarahkan aktivitas anak, memberikan dorongan, menghargai tingkahlaku anak dan membimbingnya. Anak diberikan kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri, akan tetapi anak harus disiplin sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama.