Jakarta, Islami.co – Yayasan Puan Amal Hayati (PAH) menyelenggarakan Bahtsul Masail untuk membahas isu Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Dengan mengundang para pakar, Bahtsul Masail ini bertujutan untuk membuka ruang dialog antar tokoh dan pemikir muslim, dengan menggali perspektif hukum Islam, memproduksi pengetahuan terkait upaya pencegahan, serta mendorong kajian keislaman yang menolak praktek P2GP.
Ketua yayasan PAH, Hj. Sinta Nuriyah Wahid menyatakan, perlu diungkapkan alasan-alasan logis yang menunjukkan bahaya dari praktek P2GP. Tujuannya tidak lain untuk menyadarkan masyarakat, sehingga praktek tersebut bisa dihentikan.
“Apabila praktek ini tidak dihentikan, kekhawatiran saya adalah terjadinya praktek-praktek ilegal dalam perbuatan itu. Sehingga, korban akan bertambah banyak tanpa ada yang bertanggung jawab,” tuturnya sesaat sebelum membuka kegiatan yang diselenggarakan di Griya Patria Guest House, Jakarta Selatan, pada Selasa (22/8).
Husein Muhammad, ulama yang concern pada isu hak-hak perempuan, memaparkan dalil-dalil yang terdapat dalam teks-teks keagamaan Islam, termasuk beragam pendapat ulama. Di antara dalil yang ia sajikan adalah dua buah hadis Nabi tentang praktek pemotongan bagian genitalia perempuan. Menurutnya, dua hadis itu menunjukkan sebuah proses transformasi budaya.
“Yang tadinya memotong habis, (kemudian hanya sebagian). Jadi, Nabi melakukan proses transformasi kebudayaan. Seharusnya kita melanjutkan (menjadi) tidak memotong,” paparnya.
Lebih lanjut, ulama kelahiran Cirebon ini mengutip pendapat Al-Hafidh Ibnu Mundzir (w. 309 H) yang menyatakan bahwa tidak ada satupun hadis yang dapat digunakan untuk melegitimasi praktek sunat perempuan. Karena hadisnya dinilai lemah. Ia juga mengutip fatwa Dewan Fatwa Mesir dan hasil Muktamar Ulama Dunia tahun 2006 yang melarang praktek tersebut berdasarkan pertimbangan medis.
Dr. Maria Ulfah Anshor, penulis buku Fikih Aborsi, menyampaikan penelitian yang pernah dilakukan tentang praktek P2GP. Dalam penelitian tersebut, salah satu pertanyaan yang diajukan kepada narasumber yang mempraktekkan adalah terkait tokoh yang memotivasi mereka melakukan praktek tersebut.
“Mereka menjawab tokoh agama, dari pengajian-pengajian yang mereka dapatkan,” ungkapnya.
Yang menarik adalah, ketika pertanyaan sebaliknya diajukan kepada narasumber yang tidak mempraktekkan, yakni terkait tokoh yang memotivasi mereka untuk tidak melakukan praktek P2GP. Jawaban yang didapatkan ternyata sama, yaitu tokoh agama.
“Jadi, bagi mereka yang menolak maupun yang menjalankan, argumentasinya adalah (tokoh) agama,” beber ulama kelahiran Indramayu ini.
Ditinjau dari aspek ideologi, Prof. Musdah Mulia berpendapat tradisi P2GP memiliki kaitan dengan ideologi radikal. Menurutnya, menguatnya tradisi tersebut di Indonesia berkaitan dengan menguatnya kelompok radikal.
“Kenapa? Karena mereka membawa ideologi bahwa menjadi Islam itu harus disunat,” terangnya.
Ia menceritakan pengalamannya menjumpai praktek sunat perempuan massal. Praktek tersebut ia jumpai di sebuah pesantren di Bandung, Jawa Barat, yang menurut penuturannya terafiliasi dengan kelompok radikal. Baginya, satu hal yang mengejutkan adalah adanya keterlibatan tenaga medis dalam prakteknya. Padahal, tidak ada institusi kesehatan yang mengajarkan tentang P2GP.
Mengingat betapa pentingnya upaya menghentikan praktek pelukaan genitalia perempuan, Musdah mengatakan perlunya pemerintah bertindak tegas.
“Saya pikir, satu-satunya jalan untuk menghentikan ini adalah keputusan dari pemerintah. Tegas terhadap praktek-praktek yang benar-benar melukai,” imbuhnya.
Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur`an (PTIQ), Dr. Nur Rofiah, menegaskan pentingnya menyadari perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki. Karena, banyak perbedaan mendasar di antara keduanya. Misalnya, secara anatomi dan fungsi reproduksi. Secara sosial, sunat perempuan diyakini secara berbeda dengan sunat laki-laki.
Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang masih sering diabaikan, ia menekankan pentingnya menyajikan perbedaan sunat perempuan dan sunat laki-laki secara komprehensif sebagai salah satu strategi dalam upaya menghentikan praktek ini.
“Strategi yang harus dibangun adalah memberikan perbedaan secara komprehensif dari A sampai Z, tidak hanya secara biologis tetapi juga secara sosial. Termasuk dalil-dalilnya,” tekannya.
Ia juga menekankan pentingnya mengajarkan materi P2GP kepada para mahasiswa kedokteran. Namun, materi yang diajarkan bukan terkait prosedur, melainkan bahayanya. Sehingga dokter dan bidan itu lulus dengan pengetahuan bahwa P2GP itu berbahaya.
Ditinjau dari aspek regulasi, Menteri Agama periode 2014-2019, Dr. (H.C.) Lukman Hakim Saifuddin, membeberkan beberapa regulasi terkait praktek Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan. Ia berkesimpulan, secara medis praktek tersebut bukanlah tindakan medis, karena prakteknya tidak didasarkan pada indikasi medis serta manfaatnya belum terbukti secara medis.
Sayangnya, secara keagamaan, terdapat Fatwa MUI No. 9A tahun 2008 yang mendukung praktek P2GP. Di dalamnya dinyatakan bahwa sunat perempuan sebagai pemuliaan bagi perempuan. Bahkan dinyatakan secara eksplisit, baik sunat laki-laki maupun perempuan adalah fitrah, aturan, dan syiar Islam.
Fatwa MUI yang disebutkan juga menunjukkan keragaman pendapat para ulama dalam memandang P2GP. Karena itu, menurut Lukman Hakim Saifuddin, perlu dijelaskan masing-masing konteks yang melatarbelakangi perbedaan pendapat tersebut.
“Jadi, kontekstualisasi dari masing-masing pendapat keagamaan terkait dengan sunat perempuan itu perlu dijelaskan. Karena hukum itu berubah-ubah sesuai konteksnya,” ujarnya.
Problem di lapangan tidak lebih baik. Sebagaimana dikisahkan oleh Atashendartini Habsjah dari Yayasan Kesehatan Perempuan, bidan sebagai tenaga medis sering mendapat pengusiran oleh warga ketika menolak untuk melakukan tindakan P2GP.
“Yang di atas, para elit bilang melarang. Tapi apa yang terjadi di bawah? Bidan diusir dari desa kalau tidak menyunatkan,” kisahnya.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, menguatkan pendapat Prof. Musdah Mulia terkait pentingnya ketegasan pemerintah. Menurutnya, meski dalam beberapa kebijakan yang sudah ada memuat klausul yang mendukung pelarangan praktek tersebut, semua itu masih tidak tegas. Karena, pada faktanya, masih ada tenaga medis yang terlibat.
“Dan prakteknya, beberapa dokter pribadi, sunat massal di Gorontalo, itu ada tenaga medis. Di Makassar itu sekarang juga ada sunat massal, ada orang medis, yang tidak ditegur sama sekali oleh kementerian Kesehatan,” terangnya.
Lelaki yang akrab disapa Kang Faqih ini juga menekankan pentingnya edukasi. Mengingat kesadaran akan bahaya P2GP masih kurang dan pengetahuan tentang anatomi tubuh perempuan masih minim.
“Jangankan laki-laki, perempuan saja (ada) yang tidak tidak tahu anatomi tubuhnya,” tambahnya.
Dalam rangka mengampanyekan serta mengedukasi bahaya praktek P2GP, Ustadz Ibnu Kharish berpendapat, narasi yang bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat muslim urban tentang P2GP adalah dengan menunjukkan bahwa Nabi tidak pernah mempraktekkannya kepada para putrinya.
“Kalau Imam as-Syafi’i mewajibkan, tapi bukti historisnya tidak ada satupun keluarga Nabi perempuan yang dikhitan,” jelasnya.
Sosok yang dikenal dengan panggilan Ustadz Ahong itu menambahkan, “Tapi kalau (untuk) teman-teman yang menggunakan nalar turats fikih, ada kaidah dari Syekh Wahbah az-Zuhaili, bahwa ketika ada pendapat fikih bertentangan dengan pendapat medis, maka yang didahulukan adalah pendapat ahli medis.”
Kaidah yang disebutkan itu sendiri dipakai oleh Az-Zuhaili dalam konteks haid. Namun, menurutnya, itu masih bisa dipertimbangkan untuk digunakan juga dalam konteks P2GP.
Tinjauan Ushul Fikih lebih lanjut dipaparkan oleh Kiai Mukti Ali Qusyairi. Menurutnya, karena persoalan hukum P2GP merupakan persoalan yang mukhtalaf fihi (hukumnya diperselisihkan), maka harus dilakukan tarjih.
“Kalau dokter di seluruh dunia mengatakan bahwa itu (P2GP) membawa mudharat, berarti ‘illat yang dibangun (dalam) narasi ulama (yakni) untuk mengontrol moralitas perempuan itu perlu dieliminir,” tuturnya.
Ia juga melakukan evaluasi terhadap pendapat Imam as-Syafi’i yang mewajibkan sunat perempuan. Sebagaimana diketahui, As-Syafi’i dalam menentukan wajibnya sunat perempuan menggunakan qiyas (analogi), yakni dengan menganalogikan sunat perempuan kepada sunat laki-laki.
“Sehingga, qiyas sunat perempunan kepada sunat laki-laki yang dilakukan oleh Imam as-Syafi’i itu adalah qiyas ma’a al-fariq, maksudnya meng-qiyas-kan sesuatu yang tidak sama,” tambahnya.
Terkait dengan qiyas, KH. Syaifullah Amin dari Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) mencoba menganalogikan praktek sunat perempuan dengan pemasangan tindik dan/atau tato. Ini dilakukan untuk memudahkan para muballigh dalam mengedukasi masyarakat.
“Satu usulan yang bisa kita pakai adalah meng-qiyas-kan sunat perempuan ini secara aulawi dengan tindik dan tato. Tindik itu dilarang kalau dia berbahaya, apalagi (sunat perempuan) yang dilakukan di area yang vital,” tandasnya.
Qiyas ini dilakukan sekaligus agar pengetahuan tentang bahaya sunat perempuan, yang konsekuensi jika menimbulkan mudharat adalah diharamkan, menjadi mudah dipahami oleh orang awam.
Dari berbagai pendapat maupun usulan yang diutarakan, forum sepakat bahwa praktek Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan adalah membahayakan. Selain itu, manfaat yang selama ini dinyatakan tidak dapat dibuktikan.
Forum juga sepakat untuk mendorong pemerintah bertindak lebih tegas dalam upaya menghentikan praktek P2PG. Hasil diskusi ini akan dirumuskan terlebih dahulu oleh tim perumus dari yayasan Puan Amal Hayati, untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut. [NH]