Khitan Perempuan: Ditinjau dari Dalil Agama dan Tradisi

Khitan Perempuan: Ditinjau dari Dalil Agama dan Tradisi

Khitan Perempuan: Ditinjau dari Dalil Agama dan Tradisi

Dalam bukunya berjudul The Rights of Women in Islam: An Authentic Approach, Haifaa Jawad, seorang pemikir Muslim berkebangsaan Irak-Inggris sangat menentang bagaimana seksualitas perempuan selalu dijadikan terbelenggu dalam berbagai adat kebiasaan di seluruh dunia. Sebagai contoh, janda-janda peninggalan Fir’aun dikubur hidup-hidup untuk memastikan bahwa mereka tidak dapat memiliki hubungan dengan laki-laki lain. Ada pula budak-budak perempuan pada masa Roma Kuno yang diperintah memakai cincin-cincin pada labia majora (bibir kemaluan) untuk mencegah mereka dari kemungkinan hamil.

Boleh dibilang, hingga saat ini operasi kelamin yang kejam dan tidak berperkemanusiaan terus terjadi di beberapa tempat berbeda di dunia yang dikenal sebagai khitan perempuan (female genital mutilation). Terdapat kontroversi dalam praktik ini dikarenakan merupakan sebuah tradisi lama yang dilakukan dengan alasan berdasar pada budaya leluhur ketimbang alasan kesehatan.

Khitan perempuan merupakan pemotongan/perusakan organ genital perempuan. Khitan ini berbeda dengan khitan pria karena khitan pria memiliki kemaslahatan pada aspek kesehatan dan disepakati pelaksanaannya. Beberapa kalangan Muslim menyebut bahwa khitan perempuan merupakan fitrah dan tidak wajib, namun yang menjadi persoalan adalah praktiknya dalam masyarakat.

Di sebuah negara tertentu, pemotongan bahkan mencapai tingkat yang paling ekstrem ketika dua sisi yang dikhitan dijahit bersamaan, sehingga hanya menyisakan sebuah lubang yang sangat kecil untuk darah haid. Kondisi pemotongan ini dinamakan infibulation dan merupakan kondisi paling berat dari praktik tersebut. Diperkirakan, lebih dari 80 juta wanita telah mengalami pemotongan alat kelamin di seluruh dunia dan sekitar 5.000 wanita rentan mengalami pemotongan alat kelamin tiap harinya.

Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, pemotongan alat kelamin/khitan perempuan meningkatkan potensi besar kematian ibu saat proses melahirkan dan resiko anak yang akan terlahir mati. Juga, beberapa wanita yang telah mengalami semacam operasi ini telah kehilangan hidup mereka karena pendarahan luar biasa yang dihasilkan dari goncangan akibat kehilangan darah yang berlebihan.

Saat ini, pemotongan alat kelamin perempuan dilaksanakan di lebih dari 20 negara. Di Indonesia, tepatnya pada tahun 2006 pernah diterbitkan surat edaran larangan bidan untuk mengkhitan perempuan, akan tetapi kemudian ditentang oleh MUI. MUI menganggap bahwa khitan perempuan merupakan makrumah (memuliakan perempuan). Surat edaran tersebut pun ditarik kembali dan direvisi pada tahun 2010.

Lantas, menjadi pertanyaan besar apakah pemotongan alat kelamin perempuan benar-benar sebuah praktik Islam yang didukung oleh al-Qur’an dan hadis? Atau ini hanya salah satu adat kuno yang telah mampu menerobos tradisi Islam dan kemudian dianggap sebagai sebuah ritual dalam prinsip Islam?

Pada dasarnya, al-Qur’an sama sekali tidak menyinggung khitan perempuan. Hal ini berarti tidak ada firman Tuhan yang ekslusif terkait praktiknya. Akan tetapi, terdapat beberapa hadis ataupun tradisi yang diduga menganjurkan tindakan khitan perempuan.

Salah satu hadis yang paling sering disebut adalah yang terkait Nabi melihat Umm Attiyah – seorang pengkhitan- yang kemudian memerintahkannya untuk “memotong sedikit saja dan tidak melakukannnya secara berlebihan karena itu lebih menyenangkan untuk para wanita dan lebih baik untuk suami”; “khitan adalah sebuah sunnah untuk pria dan makrumah (sebuah perbuatan yang mulia) untuk para wanita’; dan adakah sesuatu lain yang lebih baik daripada sebuah makrumah?”

Pengamatan yang lebih mendalam terhadap hadis-hadis terkait khitan perempuan mengungkap adanya perbedaan dan terkadang ada versi yang berlawanan. Selain itu, hadis-hadis tersebut secara umum dipandang sebagai hadis yang tidak shahih dan hadis-hadis lemah seperti dipaparkan oleh Mahmud Shaltout, mantan guru besar Universitas al-Azhar Kairo.

Dapat dikatakan bahwa khitan perempuan tidak memiliki landasan baik dalam al-Qur’an maupun sunnah. Syeikh Abbas, pimpinan Muslim Institute di Masjid Paris menguatkan pandangan ini: “khitan pria (meskipun tidak ada kewajiban) memiliki estetika dan tujuan kesehatan. Sementara, tidak ditemukan teks-teks keagamaan Islam yang dianggap mendukung khitan perempuan sebagaimana dibuktikan fakta bahwa praktik ini tidak dilakukan sama sekali di mayoritas negara-negara Islam. Dan jika memang masih ada orang-orang yang tetap melakukan khitan terhadap para wanita, ini kemungkinan dikarenakan adat-adat yang telah dilakukan sebelum masuknya orang-orang ini kedalam Islam.”

Praktik ini tidak lain hanya sebuah adat kuno yang telah dipadukan dalam tradisi Islam, dan seiring perjalanan waktu kemudan dilakukan dan diterima (di beberapa negara Muslim) sebagai sebuah perintah Islam. Hal ini juga didukung dengan beberapa argumen tentang beberapa isu yang tidak ada korelasinya seperti pengasingan, keperawanan, kesucian, kesopanan, dan poligami yang memicu atau menambah nilai dari praktik pomotongan alat kelamin perempuan.

Jadi, Islam sebenarnya tidak melarang khitan perempuan dan khitan ini bukanlah tradisi Islam. Khitan perempuan di beberapa daerah sudah dianggap sebagai kebiasaan yang sudah terinternalisasikan dalam diri masyarakat. Yang menjadi persoalan adalah adanya pemahaman yang berbeda antara masyarakat, ulama, dan pihak yang meyakini praktik ini sebagai syariat dan bagian dari adat. Hal ini seringkali bertentangan dengan keyakinan tenaga medis yang menganggap bahwa khitan tidak memberi manfaat dan lebih merugikan perempuan.

Terkait realita dalam masyarakat, peran yang lebih besar dari kubu tertentu akan menentukan sejauh mana tradisi ini terus berjalan. Wallahu A’lam.