Kisah Kecemburuan Sarah kepada Hajar: Bukti Tak Ada Istri yang Benar-benar Rela Dimadu

Kisah Kecemburuan Sarah kepada Hajar: Bukti Tak Ada Istri yang Benar-benar Rela Dimadu

Kisah Kecemburuan Sarah kepada Hajar: Bukti Tak Ada Istri yang Benar-benar Rela Dimadu

Siapa yang tak tahu sosok Hajar? Hajar adalah istri dari salah satu Nabi Allah, yakni Nabi Ibrahim AS dan sekaligus ibunda dari Nabi Ismail AS.

Dari keturunan keduanya, Allah mengutus mayoritasnya menjadi Nabi. Maka tak heran bahwa Nabi Ibrahim AS mendapatkan julukan Bapaknya para Nabi.

Hajar merupakan istri kedua dari Nabi Ibrahim AS, setelah Sarah. Namun sayangnya, Ibrahim belum ditakdirkan oleh Allah untuk dikarunia seorang anak dari Sarah. Sarah pun ingin mengutarakan keinginannya kepada Nabi Ibrahim AS. Pada saat itu Nabi Ibrahim menetap di salah satu daerah yang ada di negeri Baitul Maqdis selama 20 tahun.

Sarah pun berkata kepadanya suaminya, “Aku belum ditakdirkan memiliki seorang anak oleh-Nya, ku persilakan kau wahai suamiku supaya menikahi budakku ini, semoga saja dengan lantaran budak milikku ini Allah menakdirkan kita seorang anak darinya.”

Setelah Sarah mengizinkan Nabi Ibrahim untuk menikah lagi, maka beliau pun menikah dan Hajar pun hamil. Namun siapa sangka setelah kehamilan Hajar, posisinya di depan suaminya seperti terlihat lebih tinggi dari pada Sarah. Untuk pertama kalinya Sarah meluapkan api kecemburuannya.

Siti Sarah bergegas mengutarakan kecemburuannya kepada sang suami, lantas Nabi Ibrahim berkata padanya, “Silakan kau perlakukan Hajar seperti apa yang kau mau.” Ucapan itu terdengar oleh Hajar. Hajar pun ketakutan dan langsung melarikan diri.

Di tengah pelariannya, ia dihampiri seorang malaikat yang berkata kepadanya, “Wahai Hajar, janganlah kamu takut, karena Allah akan menghadiahkan dan memberikan kebaikan melalui jabang bayi yang kau kandung ini.” Setelah itu, Hajar disarankan oleh malaikat untuk menyampaikan berita gembira tersebut kepada suaminya.

Saat kembali, Hajar akhirnya melahirkan Ismail dan saat itu pula usia Nabi Ibrahim sekitar 86 tahun. Letupan api kecemburuan Sarah pun kian membesar dan ia meminta kepada suaminya supaya membawanya pergi. Ibrahim pun membawa pergi Hajar beserta anaknya, lalu mereka ditempatkan di sebuah lembah. Lembah tersebut saat ini menjadi  kiblat semua orang muslim dan setiap tahunnya ramai dengan lautan manusia untuk menunaikan rukun Islam yang ke 5 dari semua penjuru dunia, yakni Tanah Mekah.

Akan tetapi, setelah mereka berdua di tempatkan di lembah tersebut, Nabi Ibrahim beranjak pergi untuk meninggalkannya, tiba-tiba Hajar menarik baju sang suami seraya berkata:

“Ibrahim! Hendak pergi kemana engkau, sedangkan kau tak memberikan suatu apapun bekal untuk mencukupi keperluan kami?” ujar Hajar.

Ibrahim pun tetap tak acuh. Namun Hajar terus mendesak agar suaminya menjawab atas pertanyaan yang dilontarkannya, akan tetapi tetap saja Nabi Ibrahim tidak menjawabnya.

Siti Hajar pun kembali tanya pada suaminya, “Wahai suamiku, Apakah Allah yang telah mengutusmu untuk melakukan semua hal ini kepadaku dan anakmu?”

“Iya,” balas suaminya.

“Baiklah, aku yakin Dia tidak akan membiarkan kami terlantar seperti ini,” timpal Siti Hajar. Nabi Ibrahim pun bergegas untuk melangkahkan kakinya kembali untuk pergi meninggalkan mereka berdua.

Hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa sesaleha apapun seorang istri, bahkan saat dia sendiri yang membolehkan suaminya menikah lagi, maka dia sebenarnya tidak sepenuhnya ikhlas untuk dimadu.

Atas kecemburuan Sarah terhadap madunya itu, dalam kitab An-Nawadir, Syaikh Abu Muhammad bin Abu Zaid menjelaskan bahwa Sarah marah hingga bersumpah akan memotong tiga bagian dari tubuh Hajar. Pada saat Sarah bersumpah, Ibrahim lah yang menyaksikan dan beliau langsung menyuruh Sarah untuk menindik kedua telinga Hajar dan menyunatnya, hingga sumpah tersebut terbayar.

Dengan demikian, luapan api cemburu Sarah tersebut, menjadikan Hajar sebagai perempuan yang pertama kali disunat, ditindik, dan memanjangkan baju bagian belakangnya. (AN)

Wallahu’alam

Kisah ini disarikan dari kitab Qoshosul Anbiya’, karya Abu Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Quraisy Ad-Dimasyqi