Al-Quran kembali dibakar di Swedia. Pelakunya merupakan dua warga Swedia keturunan Arab, Salwan Momika dan Salwan Najem. Keduanya melakukan itu di luar gedung parlemen di Stockholm, Senin (31/7/2023).
Aksi pembakaran Al-Qur’an oleh Salwan Momika bukanlah yang pertama kalinya di Swedia. Sebelumnya, ada Rasmus Paludan (22/1/23). Aksi yang dilakukan politisi sayap kanan Swedia itu merupakan satu dari rangkaian demonstrasi yang terjadi di halaman Kedutaan Turki di ibukota Swedia, Stockholm.
Berbeda dengan Paludan, motif Salwan Momika tampak lebih ekstrem. Dengan membakar Al-Qur’an, ia hanya ingin menegaskan pentingnya kebebasan berbicara.
“Ini adalah demokrasi. Ini dalam bahaya jika mereka memberitahu kita bahwa kita tidak bisa melakukan ini,” ucapnya dilansir dari Arab News (30/6/2023). Salwan mengaku bahwa ia akan terus melakukan aksi serupa meskipun mendapat reaksi keras dan menerima ribuan ancaman pembunuhan.
Kabarnya, aksi unjuk rasa Salwan Momika yang diwarnai dengan pelecehan dan pembakaran Al-Qur’an itu telah mendapatkan izin dari Pengadilan Swedia. Izin pembakaran Al-Qur’an itu diberikan oleh Pengadilan Swedia dan kepolisian setempat pada Rabu (28/6/2023).
Menurut kebijakan, Swedia jarang sekali melarang sebuah aksi demonstrasi, termasuk aksi yang dianggap dapat menghasut negara lain atau “menghina” simbol suatu agama. Polisi pun menganggap apa yang dilakukan Salwan bukan sebuah masalah berarti.
Meski demikian, pemerintah Swedia sebenarnya mengutuk aksi pembakaran Al-Qur’an, dan pelecehan simbol agama tertentu secara umum.
“Pemerintah Swedia sepenuhnya memahami (bahwa) tindakan Islamofobia yang dilakukan oleh individu dalam demonstrasi di Swedia bisa menyinggung umat Muslim. Kami dengan tegas mengutuk tindakan tersebut, yang sama sekali tidak mencerminkan pandangan pemerintah Swedia,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Swedia, seperti dilaporkan oleh Straits Times, Minggu (2/7/2023).
Meski demikian, pemerintah Swedia menolak jika harus mengevaluasi Undang-Undang Kebebasan Berpendapat. Bersama dengan Denmark, Swedia mulai mempertimbangkan untuk mencegah penghinaan terhadap agama namun tetap tak mengubah fakta bahwa kebebasan berpendapat masih terjamin di sana.
Sejalan dengan itu, pemerintah Swedia juga memutar otak untuk melarang aksi pembakaran Al-Qur’an dan simbol-simbol agama lainnya di negaranya. Hal itu menyusul tren para ekstremis yang memanfaatkan aturan kebebasan berpendapat dalam demonstrasi untuk membakar Al-Qur’an.
Apa yang diupayakan Swedia ini tampak seperti dua premis yang saling berbenturan. Di satu sisi, Swedia ingin membatasi ekspresi warga negaranya dalam ranah interaksi antar agama. Namun di sisi lain, Swedia tetap menjamin kebebasan berekspresi.
Ambiguitas itu terlihat, misalnya, ketika polisi Stockholm mengaku sudah mencoba menghentikan aksi pembakaran Al-Qur’an sejak Februari lalu. Namun permintaan itu ditolak oleh pengadilan, yang mengatakan tindakan tersebut dilindungi oleh hukum Swedia.
Pengadilan administratif di Swedia memutuskan bahwa hak untuk berkumpul dan memprotes, dilindungi di bawah undang-undang konstitusional Swedia. Kecuali jika mereka menimbulkan ancaman keamanan yang nyata.
Kata kunci terakhir ini penting menyusul serbuan pengunjuk rasa yang membakar kedutaan Swedia di Baghdad, Irak pada Kamis (20/7/2023). Bagi pemerintah Swedia, keamanan nasional jauh lebih penting ketimbang soal kebebasan berpendapat.
Sebenarnya, hukum Swedia melarang aksi ujaran kebencian berdasarkan agama, etnis, kewarganegaraan, hingga orientasi seksual. Meski mengutuk, Swedia menilai aksi pembakaran Al-Qur’an tidak masuk dalam kategori ujaran kebencian dan sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi. Dan kembali ke poin utama, kebebasan berekspresi sangat dilindungi oleh hukum Swedia di bawah Undang-Undang Kebebasan Berpendapat.
Dahulu, Swedia memang memiliki pasal yang melarang segala bentuk penghinaan terhadap simbol agama di depan publik seperti Finlandia. Namun, Swedia mencabut pasal itu pada 1970-an dan semakin menegaskan diri sebagai negara sekuler.
Meski sekuler, Muslim masih tetap bisa hidup nyaman di negara Balkan itu. Swedia tidak mempunyai undang-undang khusus yang melarang menampilkan simbol-simbol agama di ruang publik. Perempuan mengenakan cadar bisa dijumpai di Swedia.
Faktanya, Islam adalah agama resmi kedua setelah Kristen di Swedia. Sebagai agama resmi, Islam sudah terdaftar dalam naungan Myndigheten for Stod Till Trossamfund, sebuah agensi pemerintah yang berada di bawah Kementerian Kebudayaan Swedia. Instansi tersebut merupakan instrumen untuk mewujudkan kehidupan beragama yang harmonis di Swedia melalui dialog dan edukasi.
Data tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ekspresi keagamaan Muslim sangat dilindungi dan dijamin oleh pemerintah Swedia. Muslim pada dasarnya dapat beribadah dengan nyaman tanpa intervensi dan intimidasi dari pihak manapun.
Ingvar Svanberg, dalam tulisannya Islam Outside the Arab World, menyebut bahwa Swedia inklusif untuk menyediakan tempat beribadah bagi komunitas Muslim. Masjid pertama di Swedia adalah Masjid Nasir yang dibangun pada 1976 di Gothenburg, kemudian disusul Masjid Malmo pada 1984. Setelah tahun 2000-an, pembangunan masjid menjadi lebih masif di Swedia, misalnya Masjid Stockholm, Masjid Umea dan Masjid Fittja.
Adapun jumlah Muslim di Swedia diperkirakan mencapai 810 ribu orang atau sekitar 8,1% dari total populasi pada 2016. Menurut survey dari Pew Research, jumlah Muslim diprediksi melonjak sampai 9,9 % dari populasi pada 2030 dalam skenario minimal imigran.
Barangkali, prediksi peningkatan jumlah Muslim yang signifikan itulah yang dianggap mengancam oleh Salwan Momika. Asumsi yang mendasari aksi tersebut adalah kekhawatiran jika (nilai-nilai) Islam akan “mengambil alih” Swedia. Oleh karena itu perlu adanya “deteksi dini” menurut kelompok konservatif Swedia itu.
Di tambah partai terbesar kedua di parlemen Swedia saat ini adalah Demokrat yang dikenal anti-imigran dan kritis terhadap Islam. Dengan kondisi politik seperti ini, setiap usulan perubahan UU Kebebasan Berpendapat tampaknya akan sulit dilakukan.
Terlepas dari apapun dalihnya, pelecehan terhadap simbol keagamaan tetap tidak bisa dibenarkan, namun juga tak bisa dihentikan. Bahkan isu keamanan nasional pun tidak dapat mengintervensi kultur kebebasan berpendapat di negara skandinavia itu.
Swedia tampak setengah hati dalam mengutuk aksi pembakaran Al-Qur’an. Artinya, akan ada Paludan dan Salwan yang baru di masa yang akan datang. Dan umat Muslim akan “dipaksa” siap dengan kasus-kasus itu.
Menimbang reaksi umat Muslim di penjuru dunia pasca pembakaran Al-Qur’an, Swedia harusnya memahami bahwa aksi seperti Rasmus Paludan dan Salwan Momika bisa menjadi trigger baru konflik antar identitas di Eropa. Konflik yang seharusnya tak perlu ada lagi di era negara bangsa.