Pasar Muamalah Itu Seperti Tukar Tanah dengan Avanza, Jadi Apa Masalahnya?

Pasar Muamalah Itu Seperti Tukar Tanah dengan Avanza, Jadi Apa Masalahnya?

Pasar Muamalah Itu Seperti Tukar Tanah dengan Avanza, Jadi Apa Masalahnya?
Foto: ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA

Apa sih yang membuat pemerintah begitu semongko menghadapi Inovasi Zaim Saidi? Apa kerugian negara yang diakibatkan oleh seorang Zaim sehingga harus dipidanakan karena mempelopori pembukaan Pasar Muamalah?

Padahal jika dilihat, apa yang dilakukan Zaim dan kawan-kawan tak lebih dari kegiatan transaksi jual beli biasa seperti yang sudah lumrah dilakukan orang-orang sejak lama dan menjadi tren tersendiri saat ini.

Pasar Muamalah di Depok sudah ada sejak 2014. Kabarnya, aktivitas pasar yang menjadikan dinar dan dirham sebagai alat transaksi ini hanya berlangsung dua pekan sekali dengan durasi kurang lebih 4 sampai 5 jam per hari.

Dari kesaksian pedagang pasar tersebut, menurut keterangan di berbagai media, jumlah pedagang dan pembelinya pun tak banyak. Hanya berkisar belasan orang. Pengunjung yang sekedar melihat-lihat justru jauh lebih banyak ketimbang yang benar-benar bertransaksi. Artinya, pelaku dan penikmat pasar ini hanya serupa komunitas kecil. Jadi, cukup heran melihat pemerintah kasak-kusuk bak ayam kebakaran jengger saat mengkasuskannya.

Bagi saya, aktivitas jual beli dengan dinar dan dirham tak lebih dari sekedar aktivitas tukar menukar barang seperti yang jamak dilakukan oleh masyarakat. Aktivitas ini bukan dimaksudkan untuk menggantikan ‘Rupiah’ sebagai alat pembayaran yang sah. Tapi sekedar menukar apa yang dipunyai dan membuat gampang jalannya transaksi.

Contohnya, dulu bapak saya pernah menukar sebidang tanah dengan sepeda motor dan satu unit televisi. Pernah juga saya melihat saudara saya menukar sekolam ikan mujair hasil ternaknya dengan sejumlah keramik lantai. Tetangga saya ada yang menukar singkong panenan dengan sepatu bola. Bahkan di beberapa daerah ada aktivitas jual beli di pasar tradisional yang sejenis dengan Pasar Muamalah.

Sebut saja Pasar Lewareja di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Pasar tersebut menggunakan Ikan sebagai alat transaksi. Jadi orang yang ingin membeli buah atau sayur di pasar tersrbut harus membayar dengan sejumlah ikan. Mereka membeli ikan dengan Rupiah lalu menukar ikan tersebut dengan barang lain yang mereka inginkan.

Ada lagi Pasar Papringan di Temanggung. Pasar ini menggunakan bilah bambu sebagai alat tukar dalam transaksi jual beli.

Apakah kegiatan-kegiatan tersebut bermaksud menggantikan fungsi Rupiah sebagai alat tukar? Tentu tidak! Mereka melakukan hal tersebut hanya di daerah mereka atau bertransaksi dalam lingkaran komunitasnya. Bahkan kegiatan tersebut sudah menjadi bagian tradisi mereka.

Begitu pun saya pikir yang terjadi dalam Pasar Muamalah. Kegiatannya kan cuma menukar dinar atau dirham dengan madu, karpet permadani, peralatan ibadah, parfum, perhiasan, perabotan, makanan, serta barang-barang lain yang dijajakan dalam pasar tersebut. Toh, penukarannya juga tidak dilakukan secara serampangan. Nilai dinar dan dirham dikonversi dulu ke nilai Rupiah baru kemudian terjadi kesepakatan harga dengan penjual dan pembeli.

Misalnya, ada penjual yang membawa sajadah dari Turki. Harganya sekitar 1 juta. Kalau kurs 1 dinar adalah 3 juta, dan 1 dirham sama dengan 100ribu, berarti ketika dikonversi ke dinar, harganya kurang lebih jadi sepertiga dinar. Orang yang punya 1 dinar bisa mendapatkan 3 buah sajadah turki. Jika ia hanya membeli satu, ia bisa mendapatkan kembalian 2/3 Dinar. Ia akan memperoleh kembalian 1/2 keping dinar plus 5 keping dirham. Atau 1/2 keping dinar plus 1/4 keping dinar.

Lantas bagaimana kalau tidak punya kembalian? Ya paling banter harus membeli barang sejumlah pecahan terkecil dinar dan dirham yang dimiliki. Pedagang Pasar Lewareja pun biasa menambahkan buah dan sayur ke keranjang pembeli apabila ikan yang mereka belanjakan nilainya lebih banyak dari buah atau sayur yang dibeli. Bahkan, sekelas retail modern semacam alfamart pun pernah melakukan. Mereka menukar kembalian Rupiah dengan sejumlah permen.

Bukankah ini juga sama dengan kegiatan peternak Cupang yang sudi menukar puluhan Cupang super dengan satu Indukan premium. Sama juga dengan orang Betawi yang mau tukar tambah tanah 20 meter di Jakarta dengan satu unit Avanza Veloz.

Lalu masalahnya apa?

Apakah pemerintah khawatir kegiatan ini membesar lalu terjadi denominasi Rupiah? Atau khawatir jika kegiatan ini akan mempengaruhi nilai tukar rupiah? Ya Allah, Pak/Bu. Kan liat sendiri transaksi di Pasar Muamalah repot begitu. Makanya tidak heran selama hampir 20 tahun terselenggara, pasar ini hanya diminati oleh kalangan tertentu saja yang jumlahnya segitu-segitu saja.

Masyarakat pastinya berpikir ulang untuk mengikuti kegiatan transaksi di pasar ini. Punya uang, dibelikan dinar lantas koq langsung digunakan lagi? Sudah bagus punya Dinar untuk investasi koq malah ditukar dengan barang yang bisa habis pakai? Ya mending langsung pakai Rupiah saja.

Dengan demikian, sepertinya para pelaku ekonomi di pasar Muamalah lebih mengedepankan hobi dan aktualisasi beribadah mengikuti sunah Rasulullah. Mereka hanya komunitas kecil yang ingin sekedar merasakan bagaimana rasanya bertransaksi di pasar ala zaman Rasululullah yang dulu memakai sistem barter dan menggunakan dinar-dirham untuk bertransaksi. Mereka ingin merasakan sensasi tersebut sambil berharap medapat pahala karena merasa bertransaksi sesuai syariah dan menghindari riba. Bukan karena ingin meninggalkan Rupiah.

Lagipula untuk memiliki dinar dan dirham untuk transaksi, para pelaku Pasar Muamalah juga membeli produk dinar dan dirhamnya. Mereka menukar uang Rupiahnya dengan dinar dan dirham yang khusus dipakai dalam komunitas mereka bernama Wakala. Mereka pun sudah membayar pajak ke negara saat membeli produk dinar dan dirham tersebut. Dan nantinya bukan tidak mungkin penjual yang menerima dinar dan dirham dari pembeli akan menjualnya kembali ke pihak antam, pusat grosir emas di Cikini atau ke toko perhiasan demi mendapat Rupiah.

Atau pemerintah khawatir orang-orang akan meninggalkan transaksi dengan uang rupiah? Ya ampun, Pak/Bu. Coba lihat deh. Zaman sekarang banyak orang yang tidak memakai nilai mata uang buat jajan.

Di marketplace, kita bisa belanja pakai poin. Saat baca novel digital, kita bisa bayar pake koin. Main games berbayar juga bisa pakai bitcoin. Makan di mall atau di tempat wisata, ada yang pakai kartu-kartuan. Bahkan, VTUBE nantinya akan menjadikan View Point-nya sebagai alat tukar.

Apakah semua kegiatan tersebut salah dan berbahaya bagi nilai Rupiah? Jika iya, kenapa tidak dilarang? Jika tidak, jadi apa salahnya orang belanja dengan pakai dinar dan dirham? Toh, untuk mendapatkan poin, koin, kartu, dinar dan dirham tersebut juga sama-sama harus menukarnya terlebih dahulu dengan sejumlah rupiah dalam jumlah tertentu. Artinya Rupiah tetap digunakan dan tidak ditinggalkan.

Atau pemerintah keberatan dengan laba 2,5% yang ditarik Zaim saat transaksi penukaran Rupiah ke dinar/dirham? Loh, bukankah yang namanya jual-beli kan pasti ada labanya? Asalkan dilakukan dengan keikhlasan dan keridhoan antara penjual dan pembeli, maka laba yang didapatkan adalah sah dan halal.

Atau pemerintah khawatir kalau praktik di Pasar Muamalah itu sama dengan praktik jual beli di zaman kekhalifan sehingga khawatir menyuburkan bibit-bibit pendukung khilafah yang berpotensi menggoyang Pancasila?

Kalau memang begitu ya bilang ajah terus terang, Bapak/Ibu. Tidak usah belibet beralasan dengan pelanggaran hukum, potensi resesi, denominasi, nilai tukar, inflasi, krisis dan lain semacamnya. Cukup katakan bahwa pelarangan pasar muamalah itu demi melawan narasi “Khilafah adalah solusinya”.

Tentu hal tersebut bakal lebih mudah dipahami banyak orang.