Labelisasi syariah belakangan ini sepertinya sudah menjadi trend bagi sebagian masyarakat kita. Mulai dari muncul perda syariah, bank syariah, wisata halal/syariah dan yang paling mutakhir adalah kebijakan parkir syariah di Depok. Praktiknya, pemisahan area parkir antara wanita dan pria seperti foto area parkir RSUD kota Depok yang ramai dibicarakan warganet
Terkait “parkir syariah” ini, setelah saya mengulik beberapa berita, ternyata kebijakan yang demikian sudah diterapkan oleh pemerintah kota Depok sejak tahun 2017. Selain itu, ternyata parkir model serupa juga telah diterapkan di beberapa lokasi seperti kantor instansi pemerintah dan pusat perbelanjaan. Tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan semboyan kota depok sebagai friendly city, khususnya untuk wanita.
Secara khusus, alasan yang disampaikan adalah untuk memberikan kemudahan selain kaum hawa untuk memarkir kendaraannya juga bagi penjaganya. Alasannya, kalangan “emak-emak” seringkali lupa membawa kunci motornya karena saking terburu-buru untuk mengambil antrian layanan Rumah Sakit.
Jika dilihat dari tujuannya, tentu baik. Namun, di sisi lain sejauh penalaran saya alasan tersebut belum merupakan alasan yang kuat untuk menerapkan kebijakan pemisahan parkir antara ladies and gentleman.
Jika alasannya hanya soal mempermudah para petugas keamanan parkir, karena dalam banyak kasus emak-emak sering lupa membawa kunci motornya. Agaknya wabah lupa meninggalkan kunci yang tetap menempel di motor tidak sediskriminatif itu, kisanak. Adam dan Hawa sama, sering “pikun” saat dalam kondisi tergesa-gesa, apalagi kasusnya soal kunci motor.
Saya sendiri yakin bahwa para pembaca yang budiman tentu juga pernah mengalami hal yang demikian. Apalagi saya sendiri; kalau soal lupa kunci motor, bisa jadi saya berada di dereran terdepan jutaan kaum adam yang sering pikun.
Di sisi lain, fakta bahwa kota Depok yang menjadi salah satu kota yang getol mencanangkan perda syariah juga tidak bisa dipungkiri semakin menjadi menguatkan hal ini dengan isu agama. Meskipun dalam argumentasinya, pihak pemerintah pemkot tidak lantas menyebut program ini sebagai program syariah, melainkan friendly city. Namun, tetap saja asumsi publik yang terbangun akan mengaitkannya dengan pencanangan perda syariah tersebut.
Lebih lanjut, fakta bahwa kota Depok merupakan basis massa dan simpatisan “Partai Tarbiyah” juga semakin menguatkan bahwa kebijakan pemisahan area parkir berdasarkan gender tersebut tidak bisa lepas dari persoalan agama yang lebih mengedepankan simbol dan formalitas dalam mengejawantahkan ajaran Islam dalam kebijakan publik ini.
Menurut hemat saya, jika alasan yang digunakan memang murni untuk mendukung program friendly city, khususnya dalam hal parkir-memarkir, ada banyak langkah yang bisa diambil oleh pemkot Depok.
Misalnya, dengan lebih meningkatkan pelayanan dari pihak keamanan penjaga parkir, lebih ramah dan meningkatkan tingkat keamanan. Bahkan, kalau bisa digratiskan saja karena, setidaknya dari sudut pandang pelanggan, ini adalah puncak dari pengertian friendly (keramahan) itu sendiri.
Sedangkan, untuk mengatasi fenomena emak-emak yang sering lupa meninggalkan kunci, alangkah lebih baiknya jika solusi yang diberikan juga tidak melupakan sisi tarbiyah (edukasi). Misalnya, dengan menempel banyak papan do’a supaya tidak mudah lupa seperti dalam Q.S. Al Baqarah (2): 286;
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Tuhan kami, semoga Engkau tidak menghukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”
Atau seperti doa yang diajarkan nabi Rasuslullah saw ketika datang seorang yang mengadu kepada beliau terkait dirinya yang sering lupa, kemudian beliau mengajarkan kepada orang ini sebuah doa sebagai berikut;
ااَللَّهُمَّ اجْعَلْ نَفْسِيْ مُطْمَئِنَّةً، تُؤْمِنُ بِلِقَائِكَ، وَتَرْضَى بِقَضَائِكَ
“Ya Allah, jadikan jiwa kami menjadi tenang, beriman akan adanya pertemuan dengan-Mu, dan rela atas garis yang Engkau tentukan.”
Dengan demikian, pemerintah kota Depok tidak perlu repot-repot membuat kebijakan semacam parkir syariah yang faktanya cukup menimbulkan pro dan kontra di kalangan warganet. Mudah, bukan? Wallahu a’lam.
Ahmad Aminuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.