Maraknya Pelabelan Halal, Agama Sebagai Komoditi Komersial, dan Resiko Penipuan Berkedok Syariah

Maraknya Pelabelan Halal, Agama Sebagai Komoditi Komersial, dan Resiko Penipuan Berkedok Syariah

Maraknya Pelabelan Halal, Agama Sebagai Komoditi Komersial, dan Resiko Penipuan Berkedok Syariah

Belum lama ini kita dikejutkan oleh berita penipuan perumahan berkedok syariah, pelakunya oknum ustadz dan korbannya hingga ribuan orang. Sebenarnya tidak perlu terkejut sih, karena mirisnya berita semacam ini bukan sesuatu yang aneh lagi. Seiring meningkatnya semangat berislam masyarakat, kapitalis dan oportunis melihat agama sebagai komoditi alias barang dagangan. Mulai dari penipuan jasa umrah dan haji yang menipu puluhan ribu jamaah, obat-obatan herbal dengan klaim sunnah nan islami yang mengklaim bisa menyembuhkan segala penyakit, aksesoris kesehatan, dan masih banyak lagi pokoknya. 

Para pendulang keuntungan ini faham betul bahwa muslim Indonesia adalah pasar yang sangat potensial dan pelabelan halal bisa menjadi obsesif. Bukan hanya makanan, produk kecantikan seperti lotion untuk wanita muslimah dan sampo khusus muslimah berhijab, jilbab halal, hingga kulkas sekarang berlabel halal loh, tempat wisata juga. Jangan aneh kalau di masa mendatang mungkin furniture dan alat elektronik juga akan berlabel halal.

Komersialitas agama bisa jadi adalah sebuah bentuk kapitalisme baru, selebriti bisa menjual mukena seharga 4 juta, atau jilbab syar’i yang fantastis harganya, koperasi yang didirikan atas sentimen agama, belum lagi komersialisasi dakwah, mulai dari ustad bertarif layaknya penyanyi ibukota dan kaderisasi ustad seleb. 

Komodifikasi agama Islam ini bisa membuat ilusi bahwa islam itu syiar, ramai dan digandrungi. Kalau ada yang syar’i, Islami dan halal, kenapa pilih yang tidak? Ya kan? Muslim belanjanya harus di tempat yang muslim juga dong saling mendukung, apalagi kalau yang jual ustad-ustad gitu, lebih berkah deh. Padahal fenomena ini rawan sekali dimanfaatkan oknum yang tidak bertanggung jawab dan jahat. Berbelanja dengan alasan agamis boleh saja, tapi jangan lupa akal sehatnya dipakai juga, tetap harus waspada, kalau janjinya terlalu manis biasanya memang mencurigakan, jangan mudah terbuai dengan kutipan ayat dan hadis yang dikutip mentah-mentah oleh oknum ustad-ustad yang lagi jualan, rasanya seperti seperti sedang beribadah, berjuang di jalan Allah, eh ternyata tertipu, kan sedih. 

Sebagai konsumen, kita adalah pengontrol pasar, kita adalah demand, menjadi konsumen yang cerdas adalah keharusan, jangan sampai penipuan berkedok syariah ini berulang terus, kesannya kan umat muslim jadi mudah terpedaya dan terbius oleh embel-embel halal dan syar’i. Memang tidak ada yang salah jika ingin berbelanja barang-barang berlabel halal dan syar’i, tapi harus substansial dong, restoran harus halal deh, tapi masa iya kulkas harus berlabel halal juga? Kalau kulkasnya dipake nyimpen daging babi dan khamr kulkasnya tetap halal? Eh gimana sih? Bingungin kan?

Allah sudah memperingati orang-orang yang semacam ini beberapa kali di dalam Al-Quran dengan bahasa “Jangan menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah” di antaranya QS Al-Baqarah ayat 41.

وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

“Janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit, dan bertaqwalah hanya kepada-Ku.” (QS. al-Baqarah: 41)

Ayat-ayat yang isinya mirip juga ada di QS Ali Imran :199 dan Al-Maidah:44. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, harga yang murah di sini adalah untuk meraup keuntungan dunia. Tapi ini tidak ada hubungannya dengan jualan mushaf ya, tidak juga ada hubungannya dengan profesi guru mengaji, karena Nabi bersabda sebaik-baiknya upah adalah upah dari mengajar Al-Qur’an.

Intinya, Agama jangan dijadikan komoditas komersial untuk memeras yang naif, Agama harus tetap subur esensinya di jiwa sehingga memproyeksikan kebaikan di keseharian kita. Semoga Allah melindungi kita semua ya.

Wallahu a’lam bis shawab